Kalau suatu saat, Anda bertemu saya dan kebetulan saya pas pakai sandal jepit, maka cobalah lihat jempol kaki kiri saya, niscaya, Anda tidak akan menjumpai kuku yang terpasang di sana. Yak, saya tak mempunyai kuku jempol kaki sebelah kiri. Kuku jempol saya berhenti tumbuh sejak saya kecil.
Ada sejarah panjang yang penuh dengan kebohongan terkait dengan muasal raibnya kuku jempol kaki saya ini. Saya tak tahu pasti kapan terjadinya peristiwa itu, yang jelas, kalau tak salah ingat, saya masih kelas 2 atau 3 SD.
Kejadiannya Bermula saat tersandung potongan dahan kayu tajam, saking kerasnya sandungan saya waktu itu, kuku jempol kaki saya sampai njeplak separoh. Perih sekali, Saya menangis sejadi-jadinya. Bukan soal cengeng, tapi percayalah, seorang SBY pun kalau berada dalam posisi saya di usia yang sama, beliau pasti akan menangis sejadi-jadinya juga seperti saya, bahkan mungkin lebih keras.
Saya kemudian pulang dengan tangis yang masih menyertai.
Di rumah, Emak saya kaget setengah mati, emak juga nampak sangat cemas, begitu melihat banyak sekali darah yang keluar dari sela kuku jempol kaki saya. Emak saya kemudian membasuh kaki saya dengan air hangat, rasa perih di sela kuku jempol terasa semakin pilu, namun kemudian sakitnya mulai mereda.
Setelah kering, sakit di bagian kulit bawah kuku saya hilang, namun rasa sakit itu akan muncul lagi tiap kali ujung kuku saya yang njeplak setengah itu mengenai sesuatu. Saya perlu waktu ekstra untuk memakai kaus kaki.
Emak saya kemudian punya gagasan gila untuk menghilangkan rasa sakit tersebut, gagasan yang terlalu spartan, sangat Barbar: “Copot saja kukumu sekalian, daripada cuma njeplak setengah seperti itu!”.
Mungkin emak saya adalah tipe perempuan yang perfeksionis dan total, beliau tak pernah rela melihat sesuatu yang setengah-setengah.
“Tapi nanti sakit, Mak!”, kata saya setengah merajuk.
“Yo sakit tapi kan cuma sekali, setelah itu nggak lagi, daripada kukumu sakit terus tiap kali kena sesuatu, mending mana? lagipula, nanti kalau sudah dicabut seluruhnya, toh nanti bakalan tumbuh lagi!”
“Bener, mak, bakal tumbuh lagi?”
“Iya, nanti tumbuh lagi!”, jawab emak penuh kepastian.
Demi mendengar kepastian itu, saya akhirnya menuruti ide barbar emak, kuku jempol yang telanjur njeplak itu dicopot seluruhnya oleh emak, sakitnya luar biasa, tapi begitu dicopot lalu dibersihkan lukanya. Rasa sakitnya pun beringsit menyingkir. Lega rasanya, setidaknya kini, saya bisa memakai kaus kaki dengan cepat.
Waktu pun berlalu, saya dengan setia menunggu kuku jempol saya tumbuh, saya terus menunggu, menunggu, dan menunggu. Menunggu sampai kuku jempol saya tumbuh, seperti yang emak katakan. Saya ditipu Emak saya sendiri.
“Mak, kok kukuku nggak tumbuh?” tanya saya pada Emak setelah beberapa minggu kuku saya belum juga tumbuh. Dan jawaban dia sungguh sangat khas politisi: “Tunggu saja, nanti juga tumbuh.”
Tiap kali ditanya, jawabannya selalu saja diulang.
Pada kenyataannya, sampai bertahun-tahun kemudian, si kuku tak jua tumbuh. Saya akhirnya mencoba untuk realistis. kesuburan jempol kaki saya sudah mati. Kuku saya sudah tak mungkin tumbuh.
Suatu saat, saya sempat iseng protes sama Emak saya, dan kata dia, tidak tumbuhnya kuku jempol kaki saya justru bagus dan harus disyukuri, sebab saya jadi nggak perlu memotong kuku jempol kaki. Lebih dari itu, ia juga bisa menjadi penanda ciri-ciri kalau suatu saat saya jadi gila dan kemudian hilang entah kemana.
“Dicari, lelaki dengan gangguan mental. Ciri-ciri: Tampang agraris, mulut progresif, tinggi 160 cm, perawakan kurus, dan tidak punya kuku jempol sebelah kiri. Terakhir hilang di sekitaran Pal Bapang memakai kaos warna putih bergambar jamu buyung upik.”
Modiaaaaaaaaar.