Begitu banyak naskah negatif tentang KKN di Mojok semakin menegaskan opini saya bahwa memang KKN itu sudah obsolete dan dipikirkan lagi, apakah perlu dilanjutkan atau tidak. bahkan dibilang tidak berguna pun ya nggak terlalu ekstrem sih.
Sebab, dari yang saya alami dan dengarkan, memang kelewat banyak dramanya ketimbang manfaatnya.
Apakah KKN bermanfaat? Jelas. Jelas sekali. Banyak desa yang terbantu, banyak desa yang keluar dari masalah yang menghantui, semua karena ilmu mahasiswa yang datang. Nah pertanyaannya, ada berapa desa? Dan, apakah tiap jurusan bisa memberi sumbangsih pada desa yang didatangi?
Saya pernah KKN, dan jika ditanya apakah berguna, ya saya akan bilang, berguna. Tapi kalau dibilang desa tempat saya KKN dulu terbantu banget atau kelompok kami jadi life changer buat mereka, nah, saya sih dengan pede bilang nggak. Nggak ada kelompok kami pun itu desa akan jalan-jalan aja. Justru kami, saya juga termasuk, belajar kelewat banyak dari mereka.
Tapi, kenapa saya bilang KKN itu nggak perlu dilanjutin?
KKN mending dihapus aja, karena…
Pertama, karena kampus sendiri sekarang tak berfokus pada pengabdian, tapi bagaimana mencetak pekerja sesuai kebutuhan industri. Sekalipun kampus-kampus masih gagap mengejar zaman, tapi terlihat bahwa mereka condong merespons pasar ketimbang fokus ke pengabdian.
Menurut saya, 45 hari waktu KKN itu mending dialihkan buat magang. Walau sudah ada makul magang, mending ditambah sekalian aja. Toh, keluhan penyedia kerja sekarang adalah lulusan masih tidak siap untuk bekerja kan? Ya sekalian diturutin aja. Wong fokusnya udah pasar. Mojok pernah membahas ini, sila klik artikel di bagian akhir tulisan ini.
Kedua, sepengalaman saya, kampus juga tidak begitu aktif dalam menentukan target KKN. Berkaca dari pengalaman saya, saya dapat desa KKN itu karena itu satu-satunya desa yang tersedia. Bukan karena kebutuhan, tapi karena dari 5 desa yang tersedia, cuman itu yang belum diambil. Lha kan aneh, kami-kami dikumpulin, terus dilepas sendiri suruh milih. Lha kalau mereka ternyata nggak butuh kami, terus ngapain KKN?
Kenapa itu saya jadikan alasan untuk tidak perlu melanjutkan program ini, karena kalau kampusnya aja nggak peduli, ngapain bikin program?
Toh, laporan yang kami buat dulu, per individu, cuman ditumpuk dan belum tentu dicek. Progress KKN juga tidak dicek. Berdampak atau tidaknya juga nggak dicek. Ya terus buat apa dijalankan?
Oke, mungkin itu hanya satu kasus di antara seribu. Tapi saya nemu kasus-kasus yang mirip di kemudian hari, yang bikin saya yakin, kalau program ini lama-lama cuman dianggap formalitas. Kek mana urusan nanti, selama tidak ada yang celaka, dianggap sukses.
Mentalitas yang keliru
Mentalitas mahasiswa yang menganggap mereka adalah savior jadi alasan kenapa saya menganggap mending tinjau lagi KKN ini lanjut atau tidak. Jujur saja, sebagai orang kampung, saya ketawa melihat bagaimana orang-orang ini menganggap bahwa orang desa itu butuh diselamatkan atau dikenalkan pada hal-hal modern, seakan-akan mereka lah kaum terpilih yang terpapar peradaban.
Padahal, sekalipun orang desa tidak modern, bukan berarti mereka tidak bisa apa-apa. Saya masih terkekeh tiap kali teringat kelompok saya mau mengajari pembukuan keuangan ke warga, padahal warga sudah melakukannya bertahun-tahun, dengan rapi, dan amat canggih.
Baca halaman selanjutnya












