MOJOK.CO – Jas hujan ponco, atau ada juga yang menyebutnya jas hujan kelelawar memberikan pengalaman mobat-mabit tak terlupakan.
Ketika orang-orang mulai meromantisasi hujan, jujur saja saya termasuk orang yang muak. Saya tahu hujan itu mengandung suasana asyik, bahkan kata seorang kawan binal saya, orang yang bilang hujan-hujan enaknya makan bakso belum pernah merasakan enaknya kelon. Punten, bodo amat. Yang jelas saat hujan dan saya sedang ada di luar rumah, mau nggak mau saya harus rela kehujanan. Di masa perjuangan dulu, penangkal hujan yang sudah paling maksimal ya cuma payung dan jas hujan ponco atau jas hujan kelelawar.
Dulu ketika SMP, bapak saya adalah tipe orang yang mungkin terlalu mager. Blio jarang mau mengantar saya ke sekolah, tapi memberi mandat pada karyawan toko blio yang sejak pagi sudah standby. Saya ingat betul namanya Mas Muh, dia selalu mengantar saya ke sekolah dan saya pun bebas request. Mau ngebut, mau muter alun-alun dulu biar bisa salim sama guru, atau mau lewat belakang sekolah biar bisa beli cilok sebelum masuk. Dalam masa-masa itu, beberapa kali saya harus bersiap menghadapi malas sekolah karena hujan. Ndilalah, bapak saya memang agak pelit, nggak mau ngeluarin mobil cuma demi nganterin anaknya biar nggak kehujanan. Kata blio: bisa pake jas hujan ponco sambil boncengan. Iya bisa sih… ya tapi. Hash.
Saya yakin bukan cuma saya di dunia ini yang malas kalau diboncengin pas hujan deras dan pakai jas hujan ponco. Gimana ya, sampai tujuan bisa tetap basa gitu lho. Selain itu, masa-masa menyelubungi diri dengan sayap kelelawar jas hujan itu beneran bikin siapa pun berkontemplasi. Melamun dan membayangkan bagaimana seandainya ini adalah upaya penculikan dari bapak-bapak brewok yang sudah menunggu di dalam mobil Jeep. Krukuban jas hujan ini memang peristiwa abstrak.
Di dalam sana gelap gulita, kita bukan cuma nggak bisa melihat jalanan seperti saat kondisi terang, melainkan kita juga nggak bisa dengar apa-apa selain suara hujan dan suara jas hujan yang mobat-mabit terbawa angin. Sesekali, ujung jas hujan ponco yang tebal itu menampar-nampar kaki sampai pedas. Aduuuh, rasanya pengen diusap-usap buat mengurangi sakitnya, tapi kok gerakan terasa terbatas saat itu.
Selain serasa “dibutakan” dan “ditulikan” jas hujan ponco telah punya andil besar dalam membuat leher kecengklak. Nggak tahu kenapa kalau nggak menunduk kok nggak bisa. Padahal, saya bisa saja memilih tegak dengan risiko punggung bakal terkenal percikan air lebih banyak. Saya juga bisa sedikit melengkungkan punggung ke depan biar leher saya nggak ikutan spaning. Masalahnya begini, saat dibonceng pakai jas hujan ponco kedua tangan kita harus aktif memegangi bagian “sayap kelelawar” biar nggak menggila mobat-mabitnya. Semua daya upaya ini dilakukan agar kita nggak kebasahan nantinya. Dalam kasus saya yang lagi pakai seragam, ini jadi hal yang cukup krusial. Maklum lah, kalau Senin, seragamnya juga bakal dicantolin dan dipakai lagi besok.
Akibat posisi menunduk di dalam jas hujan ponco, penglihatan kita terbatas seputar jalan, sepatu, dan footstep belakang motor yang dramatis. Sesekali kalau hujannya terlalu deras, saya perlu membungkus sepatunya ke dalam tas kresek lalu mengenakan sandal jepit. Kalau salah perkiraan dan nekat pakai sepatu, sepanjang ikut pelajaran di kelas saya harus rela bertahan pakai sepatu basah. Nantinya sepatu basah itu juga akan menghasilkan wewangian kaki nan semerbak. Ya Tuhan, seketika itu saya pengin ngambek ke bapak saya yang nggak mau nganterin pakai mobil.
Jangan tanya kenapa saya nggak naik angkutan umum atau bus. Naik angkutan umum nggak bisa langsung sampai sak jeg sak nyek di depan sekolah. Saya juga perlu jalan lumayan jauh dulu. Jalurnya nggak sesuai memang. Nah, saya kan jadi perlu bawa payung yang bakal menyumbangkan beban lumayan ke tas saya yang isinya sudah buku-buku cetak berat ditambah kotak pensil bertingkat itu. Nggak maulah saya. Mending naik motor, biar lebih efisien nggak terlambat juga. Jujur saja saya memang semalas itu dan sering berangkat sekolah mepet bell jam masuk. Atas alasan inilah jika hendak berangkat sekolah dan hujan deras, mau nggak mau saya harus rela bergumul dengan jas hujan ponco lagi dan lagi, sampai saya jadi siluman kelelawar.
Sekarang, inovasi jas hujan sudah terlalu canggih. Bahkan kita bisa aja beli jas hujan kang becak yang harganya cuma goceng. Kalau bapak-bapak nggak mau ngeluarin mobil karena PR mencucinya nanti, anak-anak sekarang bisa naik ojol, aksesnya juga kelewat mudah. Dulu mah, boro-boro yah. Punya jas hujan ponco saja sudah syukur. Jas hujan legend itu bahkan dipertahankan betul, kalau sobek dilakban lagi, kalau lumutan dicuci sampai bersih. Ada masa si kelelawar jadi penyelamat orang-orang menerjang derasnya titik air.
BACA JUGA Membandingkan Jenis-jenis Jas Hujan: Mana yang Terbaik? dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.