MOJOK.CO – Gus Muwafiq dilaporkan oleh DPP FPI akibat ceramahnya saat Mualid Nabi di Purwodadi. Pihak DPP FPI menilai ada muatan “penistaan agama”.
Geger persoalan ceramah Gus Muwafiq di Purwodadi, Jawa Tengah, mengingatkan saya dengan peristiwa ketika saya masih mondok.
Dulu sekali, ketika masih kecil dan hidup di pesantren, saya pernah beberapa kali dapat giliran untuk maidhoh hasanah. Semacam ceramah atau khotbah di hadapan teman-teman sendiri.
Bukan, bukan karena saya lebih ‘alim ketimbang teman saya yang lain, melainkan karena memang tiap beberapa bulan setiap santri akan ditunjuk untuk khotbah. Dapat giliran belajar dakwah secara langsung gitu.
Di hadapan ratusan santri, tak mudah menguasai diri dari rasa gentar. Kaki jadi gemetaran ketika sudah naik mimbar. Terutama ketika menyadari ada banyak pasang telinga menunggumu bicara.
Pertama kali saya dapat giliran—seingat saya—adalah ketika saya masih berusia 12 tahun. Masih kecil sekali. Bahkan saya tak ingat apakah saya sudah mimpi basah atau belum saat itu.
Hal tersulit dari ceramah di hadapan santri yang notabene merupakan teman sendiri adalah bisa konsisten untuk menarik perhatian. Sebab, acara semacam ini bisa berlangsung berjam-jam.
Lumrah kalau kemudian santri yang mendengarkan jadi bosan bukan kepalang. Ada yang memilih ngobrol dengan teman di sampingnya, kadang ada yang asyik jajan, kadang malah ada yang tidur sekalian.
Ketimbang menjaga isi ceramah bisa benar, lebih susah sebenarnya untuk bisa membuat temanmu mau mendengarkan ceramahmu. Sampai kemudian, seorang kawan (kakak kelas jauh sebenarnya) punya cara aneh.
Kawan saya yang dapat giliran ceramah ini kebetulan sedang menceritakan kejadian Isra’ Mi’raj. Karena sadar bahwa sulit sekali membuat ratusan santri di hadapannya memperhatikan, maka ia melakukan hal yang belum pernah dilakukan santri-santri sebelumnya.
Tiba-tiba dia menceritakan kisah Isra’ Mi’raj jadi ala cerita Srimulat. Dialog antara Malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad dibikin jadi kayak dialog antar pelawak. Komplit dengan ledekan-ledekannya.
Terang saja cerita ini segera memancing ratusan santri untuk mendengarkan.
Mereka yang tidur tiba-tiba bangun, mereka yang tadinya ngobrol dengan temannya mendadak memerhatikan ceramah. Semua jadi tertarik. Bahkan ustaz-ustaznya juga. Tawa segera menghiasi ceramah kala itu. Suasana lalu jadi cair dan menyenangkan.
Beruntung, pada saat itu belum ada video hape. Boro-boro video hape, yang punya hape saja bisa diitung jari. Internet dan Youtube memang sudah ada, tapi itu benar-benar teknologi yang belum tergapai. Masih jauh banget.
Saya membayangkan jika pada saat itu sudah ada yang merekam, lalu iseng menguploadnya ke Youtube seperti zaman sekarang, teman saya itu paling-paling sudah diperkarakan, dipersekusi ramai-ramai, atau malah—yang lebih buruk—dilaporkan ke polisi karena dugaan penistaan agama.
Hal yang belakangan juga sedang dihadapi oleh penceramah kondang Gus Muwafiq.
Karena ceramahnya yang mengisahkan masa kecil Nabi Muhammad dianggap kelewatan, DPP Front Pembela Islam (FPI) akhirnya benar-benar melaporkan Gus Muwafiq ke Bareskrim Polri.
“Laporan ini ditujukan kepada Ahmad Muwafiq terkait dugaan penistaan agama. Sebagaimana masalah 165a KUHP yang sekiranya terjadi di daerah Purwodadi pada saat acara Maulid Nabi pada tanggal 6 November 2019,” kata kuasa hukum DPP FPI.
Dari laporan itu, jelas bahwa Gus Muwafiq dianggap FPI telah melecehkan agama.
“Sebenarnya statement itu kan bahasa Jawa, kita singkat saja Rasulullah SAW itu dikatakan dekil, nggak diurus, rembes. Rembes itu kan kalau orang Jawa ya macam-macam, ada ‘umbelen’ dan sebagainya,” tambah kuasa hukum DPP FPI.
Sebelum adanya laporan polisi dari FPI ini, Gus Muwafiq sebenarnya sudah menyampaikan permintaan maaf ke publik.
Dalam video klarifikasi tersebut, Gus Muwafiq malah mengaku merasa senang karena diingatkan oleh banyak kaum muslimin. Begitu banyak orang yang menegurnya. Itu jadi tanda bahwa warga Indonesia begitu cinta dengan Nabi Muhammad.
Meskipun sudah meminta maaf secara terbuka, agaknya FPI masih tetap akan memproses laporan ini ke pihak berwajib. Sebuah langkah yang tetap harus dihormati, sebagai warga negara yang baik dan taat hukum. Apalagi ketaatan hukum FPI ini sudah terbukti sampai lintas negara. Langsung dicontohkan oleh pemimpinnya lagi.
Sebagai sesama warga negara, mau bagaimanapun saya menghormati ketersinggungan FPI soal Gus Muwafiq. Bagi FPI, hal ini mungkin sebuah penghinaan, meski ada pula yang merasa itu adalah cara “membumikan” sosok Nabi, sehingga terasa dekat dengan manusia biasa seperti kita.
Apa yang dilakukan Gus Muwafiq dengan mengisahkan masa kecil Nabi Muhammad sambil menarik kedekatan sosial kultural jamaahnya ini, saya rasa benar-benar mirip dengan cara kakak kelas saya dulu ketika khotbah di hadapan teman-temannya sendiri.
Kakak kekas saya ini jelas tak ada maksud menghina Nabi Muhammad atau Malaikat Jibril. Sebab yang disasar adalah substansi riwayatnya. Kemasan ini digunakan karena melihat jamaah di hadapannya sudah mulai bosan. Barangkali ini cara yang sama yang dilakukan Gus Muwafiq.
Dalam konsep pengajian di kampung-kampung, saya tahu (karena saya juga orang kampung) tidak semua jamaah yang hadir memang ingin dapat ilmu. Ada pula yang hadir karena persoalan nggak enak udah diajak sama tetangga sendiri.
Pada akhirnya, begitu sampai lokasi pengajian, pikirannya mblayang ke mana-mana. Kadang malah cuma pindah tempat ghibah saja. Tadinya di teras rumah, lalu pindah di lokasi pengajian.
Bukan tidak mungkin acara yang tadinya dikonsep majelis ta’lim, malah berubah jadi majelis ghibah, karena penceramahnya membosankan dan jauh dari realitas sosial yang dialami oleh warga sekitar.
Barangkali dengan cara-cara semacam itu lah, ceramah Gus Muwafiq malah jadi terasa dekat dengan masyarakat—meski belakangan baru diketahui ceramah begitu berbahaya karena bisa juga ditafsirkan sebagai penghinaan.
Sama seperti masalah yang dialami Gus Muwafiq. Seusai ceramah, kakak kelas saya waktu itu juga segera dipanggil oleh ustaz Pondok. Bahkan seorang ustaz paling dihormati sampai naik mimbar begitu kakak kelas saya ini selesai ceramah. Kakak kelas saya ditegur di hadapan ratusan santri. Dibilang ada baiknya memahami siapa yang menjadi jamaahnya.
Jika itu sesama santri—kata Ustaz saya—barangkali tidak terlalu masalah karena sama-sama tahu ilmunya. Tapi kalau itu disampaikan di khalayak umum, dengan konstelasi massa beragam latar pendidikannya, ceramah seperti itu baiknya jangan disampaikan. Karena bisa saja orang lain salah tangkap. Lebih berbahaya lagi kalau ada orang lain yang tersinggung.
Pada akhirnya teman saya itu meminta maaf karena dianggap sudah melakukan ceramah yang “berbahaya”. Meski kami (pendengarnya) menyadari, baru kali ini ada ceramah sesama santri yang kami dengar dari awal sampai akhir dengan begitu antusias. Seingat saya, tak ada satupun teman saya yang ketiduran waktu itu.
Ternyata, bisa toh ceramah dibikin lucu, menarik, dan seperti dekat begitu?
Saat itu, kami yang mendengar ceramah kakak kelas ini seperti manusia goa zaman pra-sejarah yang baru menemukan api. Benar-benar terkagum-kagum. Toh, meski “salah”, si kakak kelas ini langsung populer di pesantren kami.
Penemuan “api” ini juga bikin ustaz kami buru-buru mewanti-wanti. Kami diminta berhati-hati dengan “api” yang baru kami temukan itu.
Ada manfaatnya memang. Bisa bikin semarak, bisa bikin hangat, tapi tetap saja penggunaannya harus bijak. Sebab, hal begini bisa bikin orang lain terbakar.
Terutama untuk mereka yang pada dasarnya memang mudah terbakar.
BACA JUGA Dari Gus Karim sampai Gus Muwafiq, Cerita Perjalanan Sowan Kiai atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.