MOJOK.CO – Kalimat “Aku pengin mati” seolah normal-normal saja di tengah society, baik untuk dituliskan di media sosial atau diucapkan secara langsung. Duh!
Di bangku SMA, seorang laki-laki menelepon saya. Saya terkejut setengah mati waktu laki-laki yang menelepon ini, kakak dari seorang kawan—namanya Lita—memberi tahu bahwa Lita baru saja masuk rumah sakit karena upaya bunuh diri. Kabarnya, beberapa hari terakhir, ia tak mau keluar kamar dan menolak makan.
“Aku kira dia baik-baik saja. Aku dengar dia suka menelepon seseorang. Itu kamu?”
“Iya,” jawab saya, gemetaran. Lita selalu menelepon untuk bercerita tentang betapa jahatnya hidup padanya saat itu. Usianya masih belia—kelas 9 SMP—tapi sudah terlibat dalam hubungan abusive dengan pacarnya.
“Kemarin siang aku nggak dengar apa-apa. Aku dobrak saja pintunya dan tangannya sudah berdarah,” tambah laki-laki di ujung telepon, setelah saya bertanya lagi apa yang terjadi.
Beberapa kali, Lita berkata, “Aku pengin mati,” dan secara mati-matian pula saya membesarkan hatinya untuk tidak benar-benar melakukan hal tersebut. Kami tidak berada di kota yang sama, jadi satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah menemaninya lewat telepon.
Saya ingat, patah hati saya tahun lalu juga sangat mengguncang jiwa, sampai-sampai yang bisa saya katakan selama beberapa hari hanyalah, “Aku pengin mati, beneran, aku pengin mati,” sambil menolak makanan apa pun yang disodorkan kawan saya. Dan, saya mengatakannya sepenuh hati—saya merasa bahwa mati adalah cara terbaik untuk mengakhiri penderitaan.
Lita, saya, dan banyak orang lain di luar sana memang pernah merasakan itu: jatuh di lorong gelap yang seperti tanpa ujung dan tidak ada harapan untuk bangkit. Meski banyak orang bersedia datang membantu, kami merasa tak ada tali untuk dipanjat keluar dari jurang. Pada titik ini, mati terasa jauh lebih masuk akal daripada melanjutkan hidup yang penuh sakit hati.
Tidak perlu patah hati untuk menjadi rapuh dan sekelam itu. Di luar sana, kalau kita mau membuka mata, ada banyak kasus depresi yang mendorong orang merasa ingin mati. Masih ingat kasus bunuh diri member SHINee, Jonghyun, kan? Atau, General Manager JKT48, Jiro-san?
Naaaah, masalahnya, sekarang ini, kalimat “Aku pengin mati” seolah menjadi santapan yang normal-normal saja di tengah society, baik untuk dituliskan di media sosial atau diucapkan secara langsung. Capek kuliah, langsung pengin mati. Nggak bisa nonton konser Blackpink, langsung pengin mati. Gebetan nggak balas chat, pengin mati juga.
Maksud saya, bukankah perasaan “ingin mati” itu candaan yang sama sekali nggak enteng dan lucu?
Sebuah penelitian dari The American Foundation for Suicide Prevention menyebutkan bahwa ada 117 orang mati bunuh diri setiap harinya. Selain itu, ada pula 25 kasus percobaan bunuh diri yang terjadi pada masa yang bersamaan.
Angka di atas menunjukkan bahwa setiap harinya, ada banyak sekali orang terdampak dengan fenomena bunuh diri. Hal ini pun mulai menjadi sorotan di Indonesia. Beberapa minggu lalu, misalnya, lini masa dikejutkan oleh kasus bunuh diri seorang netizen yang diketahui menuliskan kesedihannya di akun Twitternya.
Kesehatan mental dan bunuh diri sering kali menjadi topik yang tak populer untuk dibicarakan. Rasanya, perbincangan tentang hal tersebut adalah sesuatu yang tabu dan mengerikan, sampai-sampai lebih baik disembunyikan dalam-dalam, padahal bisa saja beberapa di antara kita butuh berkomunikasi lebih jauh.
Riskannya bunuh diri dari keadaan “Aku pengin mati” bagi orang-orang yang berada dalam masa-masa depresi atau kesehatan mental yang tidak stabil mestinya membuat kita jadi paham bahwa jokes bunuh diri tak punya nilai lucu sama sekali.
Apa, coba, manfaatnya mengeluh dan bilang “ingin mati” cuma karena artis idolamu digosipkan pacaran sama model??? Apa pula faedahnya ngomel-ngomel dan bilang “pengin mati” waktu kamu kehabisan tiket nonton premiere film yang sudah lama kamu incar???
Pada taraf yang lebih jahat, ada juga orang-orang yang tega melempar jokes-nya ke orang lain dengan bunyi semacam, “Aneh banget, sih, kamu. Mati aja sanah” dan sebagainya. Duh, memangnya kamu sudah benar-benar memahami kondisi psikis si penerima jokes-mu kalau dilempar kalimat seperti itu??? Apakah itu bijaksana, hey, Manusia-manusia budiman???
Ingat mati memang perlu, tapi, FYI aja, merasa ingin mati hanya karena lelah pada hal-hal sepele, atau menyuruh orang mati hanya karena cara pandangnya berbeda dengan kita (hah, kita???), sungguh menjengkelkan untuk didengar.
Maksud saya—memangnya kamu sudah tahu rasanya kehilangan orang terdekat karena kematian??? Hmm??? Sudah belum???
Kalau belum, biar saya beri tahu: rasanya sakit sekali.
Jadi, yaah, daripada melestarikan rasa sakit hanya karena jokes yang tidak lucu dan bisa berpotensi mendorong orang lain untuk benar-benar bunuh diri, kenapa tidak mengunci mulut dari kata-kata sampah semacam itu? Plus, kalau kamu lagi capek banget sampai umub, alih-alih menekankan diri untuk “merasa ingin mati”, kenapa kamu tidak mengalihkannya ke hal lain??? Misalnya, ingin… ingin menikah, gitu???
Yah, paling-paling nanti kamu juga tetap bakal diceramahi—ceramah soal rintangan-rintangan hidup yang menanti selepas ijab kabul. Mamam~