MOJOK.CO – Narasi kampanye hitam yang dilakukan anggota PEPES menunjukkan bahwa emak-emak lebih mudah baper untuk masalah politik. Benarkah demikian? Bapak-bapak bagaimana?
“Moal aya deui sora azan, moal aya deui nu make tieung. Awewe jeung awene meunang kawin, lalaki jeung lalaki meunang kawin.”
Kalimat di atas kurang lebih berarti: “Suara azan di masjid akan dilarang, tidak akan ada lagi yang memakai hijab. Perempuan sama perempuan boleh kawin, laki-laki sama laki-laki boleh kawin.” Kemarin (25/2) kembali kontestasi politik diwarnai kampaye hitam. Kali ini, yang menjadi pusat perhatian adalah emak-emak yang konon anggota PEPES (Partai Emak-emak Pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno) ketika berkunjung ke rumah-rumah warga.
Kalimat itu terlontar ketika “menginformasikan” warga perihal situasi Indonesia apabila Jokowi menang Pilpres 2019. Tujuannya jelas. Betul, supaya warga golput saja. Ahh maaf, supaya warga memenangkan Prabowo.
Kampanye untuk menjaring suara sebanyak mungkin memang harus dilakukan demi junjungan masing-masing. Bahkan ketika harus menyerang lawan, juga kudu dilakukan. Namun, konon semua calon sudah berikrar untuk melawan hoaks dan kampanye hitam. Lalu, mengapa sampai sekarang kampanye seperti itu masih terus terjadi?
Apalagi malah yang melakukan kampanye hitam adalah emak-emak. Mengapa kok emak-emak bisa begitu frontal ketika kampanye politik? Atau dalam bahasa saya, mengapa emak-emak lebih mudah baperan ketika berbicara soal politik dan tokoh tertentu yang maju nyalon?
Mengapa saya sampai bisa sampai ke pertanyaan tersebut? Saya berkaca ke ibu saya sendiri yang bisa begitu “anti” kepada salah satu calon lantaran suka dengan calon lainnya. Bahkan, ketika salah satu calon yang dibenci muncul di televisi, beliau langsung mengambil remote, untuk kemudian mengganti channel.
Tentu saja beliau sambil ngomel-ngomel. Bukan omelan berbobot seperti misalnya mempertanyakan ide sebuah negara yang bisa bertahan hidup tanpa utang, atau mengapa inflasi Indonesia bisa naik cukup tinggi. Yang beliau komentari adalah hal-hal personal yang tidak elok didengar secara langsung oleh semua orang.
Kebaperan emak-emak PEPES terlihat dari pilihan narasi mereka. Anggota PEPES tersebut menggunakan isu agama yang sangat personal, yaitu soal kerudung. Lalu, isu personal lainnya adalah soal pernikahan. Poligami sudah jadi topik biasa. Mereka menggunakan tema yang lebih “menghantam”, yaitu masalah pernikahan sejenis. Isu yang tengah ramai setelah di Lampung ditemukan hubungan incest dengan paksaan yang sudah berlangsung selama beberapa tahun.
Hal-hal personal seperti ini lebih mudah dirasakan oleh emak-emak ketimbang bapak-bapak. Seperti menuruti “jalan kodrat”, emak-emak lebih banyak mendekati isu personal. Lantaran begitu dekat dengan perasaan, kampanye hitam itu akan lebih mudah diserap emak-emak lain yang menyimak dengan seksama lantaran belum menentukan preferensi di Pilpres 2019, alias swing voters.
Baper juga ditunjukkan ketika ketua PEPES, Mak Wulan mencoba membela anggotanya yang sedang melakukan kampanye hitam. Wulan berkata demikian: “Namun bentuk ketakutan saja, hanya saja dalam penyampaiannya yang tidak sedetail ini hingga menyebabkan salah paham.”
Mak Wulan, lewat akun Twitter pribadinya, menyebut bahwa anggotanya tidak berniat melakukan kampanye hitam. Dalam pandangan Mak Wulan, mereka hanya “tidak detail” dalam penyampaian.
Ini logika macam apa? Jika Mak Wulan bicara begitu, artinya inti kampanye yang dilakukan anggota PEPES memang soal situasi Indonesia ketika Jokowi menang, yaitu terjadi pernikahan sejenis, tidak ada lagi suara azan, hingga tidak boleh pakai kerudung. Nah, kalau penjelasannya belum detail, izinkan saya menambahkan sesuai logika Mak Wulan.
Pertama, suara azan tidak akan terdengar lagi. Maksudnya Islam akan terus dirusak sampai-sampai panggilan ibadah pun tidak boleh lagi. Kedua, tidak boleh pakai kerudung, dengan narasi yang sama seperti poin pertama. Ketiga, pernikahan sejenis diizinkan, dengan “KUA”-nya didirikan di setiap kecamatan.
Apakah “detail” yang dimaksud oleh Mak Wulan seperti itu? Penjelasan dengan narasi bersayap bakal melahirkan tafsir yang keliru total. Oleh sebab itu, ketika malah baper ketika membela kampanye hitam, manusia jenderung lebih jauh jatuh ke dalam kesalahan yang sama. Mengapa? Karena intinya adalah “membela satu golongan”, bukan menjernihkan akar masalah.
Emak-emak pendukung capres 01 baper ketika Sandiaga Uno menyebut bahwa uang Rp100 ribu tidak dapat apa-apa ketika dibuat belanja ke pasar. Klaim itu disambut dengan “aksi belanja” oleh emak-emak, lalu memamerkan hasilnya lewat Instagram atau Twitter. Emak-emak kedua kubu capres sama saja. Begitu mudah menyerang personal lawan.
Membaca tulisan ini, kalian bapak-bapak jangan senyum-senyum bangga karena emak-emak yang baperan. Bapak-bapak malah terkadang lebih berbahaya ketika bertengkar politik. Bisa jadi, ide kampanye hitam PEPES berasal dari “bapak-bapak”.
Intinya adalah semuanya sama saja. Pilpres 2019 bikin manusia makin goblok dan jahat.