MOJOK.CO – Semoga relationship goals kita tidak hanya sebatas hubungan percintaan romantis yang sering ngasih kejutan atau candle light dinner bareng pacar.
Platform Instagram bisa dikatakan telah mempermudah untuk menunjukkan kehidupan kita sehari-hari, yang sebetulnya nggak penting-penting amat bagi orang lain. Apa pun yang kita lakukan bisa dengan mudahnya dipamerkan ditunjukkan…
…saat itu juga! Semuanya dapat ditunjukkan tanpa ada kewajiban untuk memfilternya. Kalau pun filter digunakan, biasanya untuk kebutuhan mem-branding diri kita di sosial media sesuai keinginan.
Konten ini pun beragam, bisa tentang apa saja yang sedang digalaukan, yang berhasil dicapai, yang berhasil terbeli, pengalaman yang tidak biasa, hubungan kita dengan teman, keluarga, hingga lika-liku romantisme bersama gebetan atau yang telah sukses menjadi pasangan—baik yang sah maupun belum sah.
Ketika kita ingin menunjukkan hubungan kita dengan pasangan, tentu yang ingin kita tunjukkan adalah sebuah hubungan yang rukun, adem dan penuh kemesrahan. Sangat jarang seseorang memutuskan membagi pertengkarannya dengan pasangan di ruang publik, kecuali untuk kebutuhan konten viral, biar follower nambah, dan endorsement berjalan lancar—fyi, ini solusi tepat untuk membuat kita tetap dapat hidup hanya dengan modal sensasi.
Nah, masalah kemesrahan dengan pasangan ini, biasanya sering membuat decak kagum dan kecemburuan terselubung kaum bucin—alias budak cinta—yang lain. Pasalnya, mereka-mereka adalah sederet manusia yang menghamba cinta pada pasangannya, namun sayang, kebutuhan tersebut sulit mereka dapatkan. Jadi, mantengin akun-akun Instagram dengan quote galau—macam Ali de Praxis—atau postingan foto yang romantis dan so sweet, adalah salah satu cara melegakan hati mereka.
Coba diingat-ingat, ketika ada konten Instagram yang menunjukkan kekhusyukan romantisme dan kemesrahan dua sejoli yang menjalin cinta dari SMA meski hubungannya belum haqiqi. Lantas jika kita menilik kolom komentarnya, maka akan menemukan komentar-komentar semacam, “Uh, sungguh relationship goals syekaliii~”
Ya, ya, ya, menganggap kemesrahan tersebut sebuah relationship goals, padahal mereka masih pacaran!!!11!!!
Astagfirullah, Ukhti. Bagaimana bisa kita menjadi seorang manusia yang tujuan dalam percintaannya hanya sebatas sebuah hubungan yang tidak bergaransi? Belum halal di mata Allah dan masih belum sah di mata negara?
Komentar-komentar seperti ini, dapat kita temukan dengan mudah dalam postingan semacam: liburan sama pacar ke tempat yang romantis dan makan malamnya ala-ala cadle light dinner, dikasih hadiah skin care mahal sama pacar, pacar ngasih kejutan dalam rangka anniversary, monthversary, maupun wetonversary, dan lain sebagainya.
Lantas, apakah ini artinya mereka betul-betul ‘secara sadar’ menganggap hal-hal berbau romantis—sama pacar—itu tujuan dari sebuah hubungan percintaan, ya?
Jadi, kita sudah cukup bahagia asalkan pasangannya selalu ada dan ngajakin romantis-romantisan terus, meski tidak sibuk menata masa depan? Hal ini pun lalu dianggap sebagai sebuah perjuangannya untuk hubungan kalian? Iya?
Memang sih, relationship goals setiap orang pasti akan berbeda-beda. Namun sekadar memimpikan hubungan yang sebatas gitu-gitu saja, sungguh sangat dangkal, remeh, dan nggak berkualitas sekali. Ups.
Daripada kita cuma melihat dan menginginkan sebuah kebagiaan semu dari orang-orang yang sebetulnya nggak kita kenal, dan kita hanya tahu sekelumit hidupnya lewat postingan Instagramnya. Bukankah akan lebih baik jika kita menilik hubungan orang tua kita, pakdhe-budhe kita, nenek-kakek kita, tentang bagaimana mereka berusaha hingga jatuh bangun untuk tetap bertahan meski banyak alasan untuk berpisah.
Bukankah ini lebih nyata karena jelas-jelas ada di depan mata? Lagian, Sayang, sebuah relationship goals itu bukan sekadar tentang yang manis-manis saja. Ini tentang sebuah perjuangan dengan energi, waktu, dan materiil yang tidak sedikit. *Halah, Mbak, ngomongmu keduwuran!
Sayang, kehidupan percintaan itu tidak selalu seperti di negeri dongeng. Janganlah kita hanya memimpikan sebuah kebahagiaan semu dan pencitraan yang ditunjukkan di dunia maya itu. Sadarkah kita, bahwa foto-foto itu, caption-caption itu, bukanlah yang betul-betul terjadi.
Jika kita terus dibelenggu karena memimpikan hubungan percintaan yang selalu terlihat manis, yang ditakutkan, kita justru terlalu berekspektasi tinggi terhadap sebuah hubungan yang sedang dijalani. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan berekspektasi. Namun yang menjadi masalah adalah ekspektasi yang akhirnya justru menyiksa kita dan pasangan kita sendiri. Menjadikan kita sulit untuk merasa bahagia dengannya, serta menjadikan apa yang diusahakan oleh pasangan tidak pernah terlihat sempurna. Hanya karena…
…kita melihat pasangan orang lain—yang diposting di Instagram—lebih hijau terlihat menganggumkan.
Sayang, lebih baik cukupkan saja keinginan mendalam memiliki hubungan yang—kelihatannya—penuh dengan romantisme ‘gila’ ketika pacaran. Sejujurnya, itu bukanlah relationship goals yang perlu kita inginkan.
Relationship goals yang akan menyelamatkan kewarasan kita adalah sebuah hubungan yang lebih bergaransi. Meski, sebetulnya tidak ada garansi jika kita membicarakan perkara cinta. Namun, mempelajari hubungan bapak-ibu, pakdhe-budhe, ataupun kakek-nenek, akan membantu kita untuk memahami, bahwa cinta tidak melulu tentang hal yang menyenangkan dan menentramkan. Ia bisa menjatukan kita dengan tiba-tiba, namun juga bisa menangkap kita kembali dengan cara yang tidak pernah kita perkirakan.
Semoga masih ada jalan untuk tobat bagi kita yang masih memimpikan sebuah relationship goals yang salah. Aminnn.