Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Jangan Hanya Cebong dan Kampret, Binatang Lain Juga Perlu Diberi Kesempatan

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
1 April 2019
A A
cebong-kampret
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Minggu sore kemarin, saya bersama Soni (Pemred Hipwee) dan Mas Dodi (Direktur Eksekutif LSI) mengiri forum diskusi “Ruang Belajar Hipwee” bertema kesadaran politik anak muda. Acara berlangsung di Hypnotized Bar Ayaarta Hotel.

Hal yang menarik buat saya. Ngomongin politik di bar. Mungkin ini pertanda, bahwa selain bir, politik juga bisa bikin mabuk. Menarik lagi karena lokasi hotelnya berada di basis Muhammadiyah di Notoprajan, di Jl KH Ahmad Dahlan. Kalau yang ini, mungkin biar diskusinya bisa bermutu, berkemajuan, dan jauh dari rokok.

Kami bertiga bicara panjang lebar tentang bagaimana peran media dan juga anak muda dalam penyelenggaraan Pemilu. Kami tentu saja sepakat, bahwa anak muda adalah entitas penting dalam proses keberhasilan pemilu.

Bukan hanya soal jumlah mereka yang dominan (dalam Pemilu kali ini, pemilih milenial mencapai proporsi 40% dari keseluruhan pemilih), melainkan juga pengaruh mereka yang begitu kuat dalam penyebaran narasi-narasi tentang pemilu di sosial media.

Anak muda adalah kaum yang jauh lebih selektif dalam menentukan pilihan. Hal ini tentu saja bersinggungan dengan kebiasaan mereka yang banyak menggunakan internet sehingga memungkinkan mereka untuk mengakses informasi yang lebih mendalam tentang para calon pemimpin yang akan mereka pilih nanti.

Hal tersebut tentu saja tak dipunyai oleh sebagian besar pemilih berusia tua, yang sebagian besar menentukan pilihannya berdasarkan faktor-faktor seperti fanatisme kepartaian, politik uang, sampai kuantitas tampang calon presiden atau calon legislatif tampil di baliho-baliho di lingkungan mereka.

Dalam acara tersebut, banyak peserta, termasuk saya yang mengungkapkan harapan politik jelang Pilpres dan Pileg 2019.

Ada yang berharap agar tokoh-tokoh politik bisa lebih kreatif dalam berkampanye, ada yang berharap agar anak-anak muda dilibatkan lebih jauh oleh para pemenang pemilu, ada pula yang berharap agar suara dan aspirasi anak muda dijadikan sebagai pertimbangan kebijakan.

Saya sendiri ikut menyampaikan harapan saya. Dan harapan saya tentu saja jelas. Saya ingin agar PSI, PBB, Garuda, dan partai-partai kecil lainnya bisa lolos ke Senayan.

Ini harapan yang sebenarnya sangat utopis. Tapi namanya juga harapan.

Alasan gobloknya sih sederhana. Kalau partai kecil banyak yang lolos, maka dominasi partai-partai besar akan berkurang. Perjuangan untuk menurunkan presidential threshold diharapkan akan semakin mudah.

Kalau nanti (semoga) presidential threshold turun, misal 10 persen, atau 5 persen, atau bahkan 0 persen, maka akan ada semakin banyak calon presiden yang bisa dipilih. Bukan cuma 2 seperti sekarang ini. Pilihan jadi semakin banyak dan variatif.

Kita semua tahu, pertandingan antara 2 kubu jelas akan berlangsung panas. Beda dengan perlombaan yang melibatkan banyak atau lebih dari 2 peserta.

Pilpres 2009 yang diikuti oleh tiga pasangan capres-cawapres (SBY-Budiono, Mega-Prabowo, dan JK-Wiranto) seperti kitahui jauh lebih adem ketimbang dengan Pilpres 2014 atau 2019 yang diikuti oleh hanya dua pasangan capres-cawapres.

Iklan

Faktor psikologisnya memang begitu. Dua kubu hanya akan melahirkan si menang dan si kalah. Pendukung si kalah biasanya susah legowo. Beda dengan tiga, atau empat, atau lima kubu. Pendukung si kalah biasanya legowo dan tidak mempermasalahkan kekalahannya karena ada kawan lain sesama kalah.

Itulah sebabnya pertandingan catur, badminton, sepakbola, dan pertandingan antar dua kubu lainnya selalu jauh lebih brutal ketimbang karambol, balapan, panahan, dan olahraga banyak kubu lainnya.

Pertarungan dua kubu hanya akan melahirkan polaritas politik yang menyebalkan. Dalam hal Pilpres 2019 kali ini, ia melahirkan entitas bernama cebong dan kampret, yang entah kenapa, selalu saja tak bisa akur.

Saya (dan mungkin juga sampeyan) tentu saja sudah muak dengan polarisasi hitam putih yang dikit-dikit cebong dan dikit-dikit kampret.

Kalau capresnya banyak, Insya Allah polarisasi itu akan berkurang. Jangan melulu cebong dan kampret, berikan kesempatan pada hewan lain juga. Capung, cicak, undur-undur, tonggeret, dan hewan-hewan lainnya saya pikir juga butuh dapat tempat.

Terakhir diperbarui pada 1 April 2019 oleh

Tags: #2019PrabowoPresidencebongjokowikampret
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

Kereta Cepat Whoosh DOSA Jokowi Paling Besar Tak Termaafkan MOJOK.CO
Esai

Whoosh Adalah Proyek Kereta Cepat yang Sudah Busuk Sebelum Mulai, Jadi Dosa Besar Jokowi yang Tidak Bisa Saya Maafkan

17 Oktober 2025
Sialnya Warga Banjarsari Solo: Dekat Rumah Jokowi, tapi Jadi Langganan Banjir Gara-gara Proyek Jokowi.MOJOK.CO
Aktual

Sialnya Warga Banjarsari Solo: Dekat Rumah Jokowi, tapi Jadi Langganan Banjir Gara-gara Proyek Jokowi

7 Maret 2025
3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini MOJOK.CO
Esai

3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini

26 Februari 2025
Afnan Malay: Membedah Hubungan Prabowo-Jokowi Setelah Pemilu dan Janji Program MBG
Video

Afnan Malay: Membedah Hubungan Prabowo-Jokowi Setelah Pemilu dan Janji Program MBG

18 Februari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.