MOJOK.CO – Target Presiden Jokowi dua minggu lalu agar Indonesia capai herd immunity per September 2021 baru saja dikoreksi Menko Luhut Panjaitan. Kocak sih, tapi bagus deh jujur.
Menko Marvesyang juga Koordinator PPKM Darurat Luhut Panjaitan baru saja merevisi pernyataannya sendiri tentang angan-angan herd immunity (kekebalan massal) Covid-19 di Indonesia.
Dalam paparannya yang dipublikasi YouTube Sekretariat Negara dua hari lalu (2/8), Luhut mengatakan herd immunity akan sulit dicapai. Ini berkebalikan dengan pernyataan Luhut dua minggu lalu, saat masih halu optimistis herd immunity bakal tercapai September tahun ini hahaha.
“Dan ini semua kami persiapkan untuk menahan endemik ini karena herd immunity ini sulit dicapai karena efikasi pada setiap vaksin itu tidak ada yang 100 persen,” ujar Luhut, dikutip Detik.
“Ini semua” yang dimaksud merujuk pada penggalakan vaksinasi tetap dibarengi perilaku 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) dan 3T (testing, tracing, treatment).
Arti dari pernyataan tersebut: salah besar jika pemerintah masyarakat berharap usai 75 persen populasi Indonesia divaksinasi, perilaku 3M dan 3T lantas dilupakan. Masker tak mungkin ditanggalkan dalam waktu dekat, juga pemerintah tak boleh menurunkan jumlah pengetesan.
Sebelumnya, pada 20 Juli, Luhut Panjaitan sudah mempersiapkan kita menyambut herd immunity Jawa-Bali per September besok. “Herd immunity Jawa-Bali, September. (Vaksinasi di) Jakarta sudah mendekati 75 persen. Jakarta saya kira bulan depan bisa (herd immunity), Bali sudah 80 persen,” katanya, dikutip Detik.
Mau nyalahin Pak Luhut kok mencla-mencle? Sepertinya nggak bisa. Sebab, yang memasang target herd immunity di Jawa paling lambat terlaksana pada pertengahan September 2021 adalah, jeng-jeng, Presiden Jokowi sendiri. Wkwk.
Lucu emang. Atau anggap aja lucu, walau aslinya nggak, karena kita udah kebanyakan stok alasan bersedih. Artikel ini bisa jadi ajang nyinyirin pemerintah. Tapi saat ini, kejujuran Pak Luhut yang kedua dalam sebulan terakhir patutlah kita hargai.
(Kejujuran yang pertama terungkap pada 29 Juli. Luhut Panjaitan mengatakan pemerintah udah makin ngerti bahwa tracing [pelacakan kontak positif] adalah kunci penanganan corona. Pernyataan ini langsung diketawain netizen karena sebelumnya, pemerintah sendirilah yang paling susah diingatkan untuk meningkatkan testing dan tracing. Bukannya mendengarkan saran ahli, pemerintah malah main pukul tikus-tikusan dengan bikin sif-sifan antara mengaktifkan penanganan pandemi dan memperbaiki ekonomi. Tapi sekali lagi, walau menyakitkan, kejujuran pantas dihargai.)
Tampaknya, perubahan ekspektasi herd immunity ini dipengaruhi temuan baru bahwa efektivitas vaksin Sinovac menurun enam bulan setelah penyuntikan. Nyambung dengan temuan itu, tenaga kesehatan kini mulai diberi suntikan ketiga.
Netizen berhak tertawa, toh itu cara bertahan di antara hari-hari penuh kekecewaan. Tapi tak bisa diabaikan bahwa kejujuran pemerintah adalah kejadian yang luar biasa yang perlu dipancing biar terus dilakukan.
Anda pasti mafhum, selama ini gaya birokrasi Indonesia menyerupai orang tua kolot yang mengira semua warganya adalah anak-anak mereka. Pemerintah merasa selalu benar, dan kalau suatu ketika ketahuan salah, lihat pasal pertama. Alhasil, secara kontradiktif pemerintah kita justru seperti anak-anak: harus diajari untuk mengatakan tolong, maaf, dan terima kasih.
Kalau ada yang bisa kita lakukan buat pemerintah, ialah memberi sinyal bahwa jujur itu hebat (kayak pernah denger ya…). Gapapa kok jujur bahwa mereka emang belum maksimal, kalau yang selama ini dikerjain masih jelek hasilnya, kalau plan mereka terbukti gagal. Minimal, dengan jujur memberi keterangan dan data yang benar, ketika warga negara hendak membantu pun, bantuan itu didasarkan gambaran yang nggak ngaco.
Kejujuran penting untuk meredam aksi berbahaya seperti memanipulasi angka kematian akibat corona.
Kejujuran juga penting buat meredam kepercayaan ngawur.
Sebesar-besarnya kelompok yang giat mengkritik pemerintah, basis pendukung rezim tak kalah banyak. Mereka adalah jenis yang saat pemerintah percaya herd immunity, mereka akan membebek. Orang-orang ini jelas menyebalkan. Kpeercayaan pada herd immunity membuat mereka, misalnya, menganggap pernah kena Covid-19 atau sudah divaksin berarti bebas bepergian dan tak perlu tertib pakai masker.
Kalo saya diktator, rasanya jenis ini pengin saya hukum cium ketek semua.
Hal lain yang perlu diperbaiki pemerintah sekarang adalah cara komunikasi. Langgam marah-marahnya pejabat eksekutif yang dibawa ke ruang publik itu perlulah dikurangi.
Seperti yang pernah saya tulis, nggak masuk akal manakala Presiden Jokowi terus-terusan mengatakan semacam, “Saya ingin bansos kepada yang kurang mampu betul-betul tepat sasaran.”
Atau seperti Menko Muhadjir Effendy baru kemarin bilang, “Pokoknya tidak boleh ada pemotongan (bansos). Semuanya harus disampaikan kepada yang berhak.”
Lah, kalau soal ingin dan pokoknya, semua orang juga maunya gitu keles. Bapak-bapak ini ngomong sama siapa sih? Kan mereka sendiri orang yang mestinya bertanggung jawab agar bansos tepat sasaran atau bansos tidak dipotong.
Orang waras mana saja akan berpikir, patutnya yang mereka katakan adalah, “Kami berjanji akan bekerja keras agar bansos tepat sasaran,” atau “Kami pastikan bansos tidak akan dipotong lewat skema begini, begini….”
Femomena terakhir ini sampai membuat saya berpikir. Jangan-jangan sudah betul netizen Indonesia berisik luar biasa di media sosial. Aslinya, emang kita yang disuruh mengabulkan segala ingin dan pokoknya para pejabat. Di Agoda, kami menyebutnya jadi PNS sejak dari pikiran.
BACA JUGA Deretan Nasihat Kehidupan Omong Kosong yang Sering Berkeliaran di Sekitar Kita dan esai Prima Sulistya lainnya.