MOJOK.CO – Awalnya, saya kira film “Mantan Manten” ini bergenre drama-komedi. Tapi setelah menontonnya, ternyata saya salah. Film ini justru bergenre drama-horor.
Mencerna alur cerita dari film “Mantan Manten” bikinan Visinema, butuh waktu. Butuh waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Bukan, bukan karena alurnya ngawur sehingga sulit dipahami. Namun, lebih kepada: ada rasa sulit untuk betul-betul ikhlas, melihat keikhlasan Mbak Atiqah yang berperan sebagai Yasnina. Selain itu, saya juga butuh waktu untuk mengutuk, begitu bajingannya rangkaian cerita tersebut yang dieksekusi dengan apik. Meski ya, tetap nggak sempurna-sempurna amat, sih.
Saat saya membaca judul film “Mantan Manten” ini, saya kira ini adalah sebuah cerita receh. Apalagi posternya, palingan juga soal roman picisan galau ala-ala. Seperti, kisah soal sulit move on karena nggak jadi nikah sama kekasih, lalu melakukan pembalasan-pembalasan tidak masuk akal, yang bikin orang berpikir, “Ngapain, sih?” Misalnya, dengan menampakkan kehidupan yang baik-baik saja di Instagram, sebagai pembuktian.
Tapi ternyata, lebih dari itu. Film ini berhasil meleburkan tiga hal yakni cinta, keluarga, dan budaya tanpa satu pun jadi tempelan belaka. Selain itu, di dalamnya juga bergelut tentang makna dari sebuah pernikahan, modernitas dan tradisi, persoalan hukum, women’s empowerment, hingga kesanggupan berdamai dan ikhlas dengan diri sendiri.
Singkatnya, film “Mantan Manten” menceritakan tentang Yasnina seorang manajer investasi ternama. Ia memiliki segalanya, termasuk Surya—tunangan yang sungguh mencintainya. Namun, segala kenyamanan hidup yang ia miliki harus berakhir, ketika ia dikhianati oleh Iskandar—ayah Surya—dalam sebuah kasus investasi palsu. Dalam sekejap, hartanya habis. Betul-betul sekejap. Orang-orang yang ngusung-ngusung barang di rumahnya untuk disita pun, bekerja dengan begitu cepatnya. Hanya sekali dudukan Yasnina.
Namun, ia diingatkan kalau masih punya villa di Tawangmangu yang nggak disita karena belum ganti nama. Lantaran menjadi harta satu-satunya, villa tersebut menjadi harapannya. Ia berusaha mengambil villa tersebut dari Budhe Mar (si pemilik rumah). Budhe Mar setuju, namun dengan syarat, Nina bersedia menjadi asisten Budhe Mar sebagai Pemaes (Dukun Manten) selama 3 bulan.
Alur cerita di 1/3 bagian awal tampak terburu-buru. Perpindahan dari satu scene ke scene yang lain terasa begitu cepat. Tapi setelahnya, kita seolah diberi ruang untuk lebih tenang. Memahami alur demi alur yang berjalan lebih tenang. Namun sebuah ketenangan berbahaya, yang ternyata lebih menusuk sedemikian nge-jleb-nya.
Supaya, hasil nonton saya di penanyangan perdana—yang serentak—film “Mantan Manten” ini ada faedahnya. Saya ingin sampaikan, beberapa hal dari film ini.
Pertama, film “Mantan Manten” tidak perlu melabeli dirinya sebagai film budaya, meski budaya Jawa tersampaikan dengan begitu kuatnya. Sebagai anak perempuan keturunan Jawa, saya seperti diingatkan. Tentang bagaimana sebuah tradisi dijaga betul, supaya tidak terlupa dan kehilangan roh atau kesakralan.
Sayangnya, bagi saya, prosesi pernikahan adat Jawa saat ini—berdasar pengamatan saya di pernikahan teman maupun saudara, seperti sudah kehilangan rohnya. Ia dilakukan seolah hanya untuk melengkapi rundown acara. Sama sekali tak meninggalkan daya magis atau perasaan semriwing karena kesakralannya.
Kedua, pemaparan soal pemaes sendiri, seolah sebagai bentuk sindiran mengenai menjamurnya MUA-MUA pernikahan yang saat ini memang lagi punya pasar lumayan gede—seperti orang-orang macam saya, yang males ribet. (((Macam saya? Emangnya udah nikah?))) Hanya dengan mengandalkan kemampuan makeup, mereka langsung bisa menjadi perias manten. Skill-nya dibutuhkan di mana-mana. Tapa mereka perlu tahu dulu, soal makna dari setiap prosesinya.
Ketiga, film “Mantan Manten” juga mengisahkan tentang women’s empowerment tanpa terlalu meledak-ledak, tanpa terlalu ofensif, namun kok ya bisa, tetap tampak begitu kuatnya? Penerimaan, ketegaran, dan senyum Yasnina di akhir cerita, membuat kita tahu, bahwa Surya memang tidak se-worth it itu untuk mendampinginya. Surya bukan lelaki yang cukup kuat untuk bisa menguatkan Nina.
Selain itu, soal cinta, kita memang tidak perlu mengemisnya dari seseorang yang sebetulnya tak terlalu menginginkan kita. Tidak perlu menjadi budak yang menghamba-hamba kasih sayang pada siapa pun. Tidak perlu mengharapkan ketenangan dan kenyamanan dari orang lain. Lagi-lagi, penerimaan orang lain itu nggak ada garansinya sama sekali. Toh, ujung-ujungnya, bukankah hanya diri kita yang memang sanggup menjaga diri kita sendiri?
Keempat, kata ikhlas yang mudah diucapkan dan sulit dilakukan itu, disampaikan dengan sangat baik dalam film “Mantan Manten”. Bahkan membuat saya sulit menerima, melihat Yasnina yang berusaha ikhlas dengan dengan dirinya sendiri. Serta berusaha menerima segala yang telah terjadi dalam kehidupannya. Tentang menerima luka dan meredam dendam. Dan bahwa ikhlas, tidaklah sama dengan sekadar mengalah.
Kelima, film “Mantan Manten” juga menyisahkan rasa mangkel pada sosok Surya. Membuat kita harus lebih waspada, jangan sampai jatuh cinta dengan lelaki yang tampak begitu sempurna. Namun ternyata, sama sekali nggak ada tegas-tegasnya. Bahkan, dia nggak tahu apa yang dia mau. Bayangin aja, kalau dia aja nggak tahu apa yang dia mau, masak hidupnya bakal minta dituntun terus? Kan, nganu, yaaa~
Keenam, kisah dari Mbak Yasnina ini, saya rasa lebih horor dari film horor itu sendiri. Awalnya, saya kira, film “Mantan Manten” ini adalah sebuah drama komedi. Apalagi ada Dodit Mulyanto dan Asri Welas di jajaran pemain pendukung. Memang betul, kehadiran mereka yang sekilas-sekilas ini, cukup mencairkan suasana—betul-betul cukup, doang. Tapi sayangnya, reaksi badan yang kaku saat memahami kisah Nina, nggak ada bedanya sama nonton film horor. Meski badan jadi tegang bukan karena ngeri, tapi karena nyeri.
Fyi aja, film ini akan lebih menyeramkan jika ditonton sendirian sambil mengingat bagaimana bajingannya kisah kita dengan mantan dan janji-janjinya.