MOJOK.CO – Dugaan penelantaran orang tua yang dititipkan ke panti jompo, perlu dilihat dari dua perspektif. Hubungan keluarga terkadang memang rumit banget.
Tempo hari media sosial geger dengan sebuah surat perjanjian antara anak dengan salah satu panti jompo di Malang. Isinya menyepakati bahwa sang orang tua akan dititipkan ke panti jompo bahkan menyerahkan perihal pemakamannya jika kelak orang tuanya meninggal. Dalam sehari, unggahan ini ramai dan sukses memancing kemarahan.
Saya sebetulnya sangat ingin merespons isu ini. Sebab, memang terasa menjengkelkan sekaligus menimbulkan banyak tanda tanya. Tapi, selalu saya urungkan karena saya pikir, masalah ini belum jelas. Daripada sok tahu tentang urusan rumah tangga orang, diam sepertinya sikap yang lebih bijak ketika itu.
Media banyak memberitakan dari sisi orang tua. Argumen penelantaran bergulir terus-menerus, membuat lebih banyak orang marah. Secara praktis, yang dilakukan anak adalah perbuatan tercela, autodurhaka, autoneraka lah pokoknya. Netizen nggak berhenti menelurkan statemen dengan nada serupa, “Kedua orang tua mampu merawat banyak anak, tapi anak-anak yang banyak belum tentu mampu merawat satu orang tua.”
Budaya memang selalu mengajarkan kita untuk balas budi pada jasa orang tua yang tak ternilai itu. Anak yang telah dirawat dengan baik seharusnya menunjukkan baktinya untuk merawat orang tua di usia senja. Panti jompo, juga punya stigma buruk akibat berbagai framing media dan secara turun temurun dianggap sebagai tempat yang “tidak tepat” buat menghabiskan masa tua. Hitung saja berapa banyak sinetron yang punya alur template anak durhaka menelantarkan orang tua di panti jompo, pasti banyak dan diproduksi lagi dan lagi.
Narasi ini bergulir tiada henti. Banyak media melakukan glorifikasi sehingga mewawancara Ibu Trimah sebagai lansia yang telah ditelantarkan anaknya. Ibu Trimah masuk televisi, menangis di hadapan kamera, dan kita semua sebetulnya tak perlu menyaksikan kepiluan ini. Lagi pula, kita juga belum tahu persis apa duduk perkara yang melatarbelakangi kejadian menyakitkan ini.
Demi menghormati perspektif lain sekaligus upaya cover both side, saya juga enggan menanggapi dan menghakimi bahwa salah satu pihak bersalah atas pihak lain. Apakah anaknya bersalah pada Ibu Trimah, apakah mereka punya permasalahan keluarga yang kompleks, tentu bukan kapasitas saya untuk sok tahu.
Hari ini, muncul statemen dari perspektif sang anak. Mereka melakukan klarifikasi yang walaupun bagi sebagian orang, masih dianggap tak memuaskan, setidaknya mereka telah menanggapi. Berhubung kedua pihak telah bersuara, saya pikir inilah waktunya untuk merespons dugaan penelantaran yang ramai diperbincangkan.
Tentang ribut-ribut netijen perkara Panti Jompo kemarin, udah baca klarifikasi anaknya?
*jadi gemes sama panti yang cepu pake aplod surat segala -___- pic.twitter.com/CRV4zNHwJH
— Jubaedah Sudah Vaksin (@chiw) November 2, 2021
Saya sadar betul ini masalah yang rumit. Bagaimanapun, dari sisi orang tua tentu anak-anak yang bersalah. Tapi, dari sisi anak, merawat orang tua usia senja dengan baik juga tak pernah sesederhana itu. Peryimbangan penghasilan, pekerjaan, anak, dan segala keruwetan hidup bisa tumpah di satu titik.
Banyak narasi yang beredar seputar panti jompo. Umumnya, orang menganggap tempat ini tidak cocok ditinggali dan tidak ramah lansia. Seolah-olah, tempat ini berisi lansia “buangan” yang punya anak-anak tak tahu diri. Sekali dua, pendapat itu mungkin benar. Bahwa memang banyak sekali anak yang tak tahu terima kasih, congkak, dan tak menjaga hubungan baik dengan orang tua. Jika disebut penelantaran, mungkin bisa jadi begitu adanya.
Di sisi lain, stigma panti jompo sebenarnya tak melulu buruk. Beberapa panti yang benar dengan fasilitas yang baik, justru menciptakan iklim positif untuk kehidupan lansia. Mereka bisa memiliki rutinitas dan bergaul dengan sebayanya. Panti jompo bukanlah penjara, anak masih bisa berkunjung dan membawa orang tua jalan-jalan suatu waktu. Sayangnya gambaran ideal macam ini mungkin jarang ditemui di Indonesia karena budaya.
Tanpa bermaksud mendiskreditkan orang yang pro dan kontra dengan panti jompo, sebenarnya kasus yang sedang ramai ini perlu kita tanggapi dengan kepala dingin. Satu hal yang pasti tak bisa disanggah adalah, masalah keluarga itu rumit. Hubungan anak dan orang tua tak semua berjalan baik. Kehidupan tak selalu berjalan untuk ngasih makan nilai moral masyarakat.
Orang-orang kita terlalu reaktif dalam merespons informasi. Awalnya, ketika dugaan penelantaran orang tua ini muncul, semua searah marah-marah dan menyerang pihak anak. Saat statemen anak mulai muncul, wacana bisa pecah dan berubah.
Kita berkali-kali diterpa berita bohong, framing media tak benar, dan hal-hal busuk yang kepastiannya saja kita tidak tahu. Pernah katanya, si X di-bully kawan-kawannya dengan keji. Ujungnya ternyata X mengada-ada. Katanya lagi, si Y adalah figur publik yang punya nama baik dan jauh dari keburukan. Keesokan harinya kita mendapatinya melakukan kejahatan, dugaan pelecehan, tindakan abusif, dan lain-lain. Di hari kemudian, setelah diklarifikasi, ternyata memang ada pihak yang sengaja menjatuhkan dan nama si Y bersih kembali.
Kebenaran memang simpang siur begitu, perspektif mudah terbolak-balik. Era informasi tidak pernah menjamin apa yang kita terima hari ini selalu benar untuk besok. Seringnya, wacana berubah arah, arusnya ngalor ngidul.
Kasus dugaan penelantaran orang tua ke panti jompo ini juga sama. Jangan-jangan kita yang suuzan, jangan-jangan memang mereka menelantarkan, ah, banyak sekali prasangka macam-macam. Saya juga tidak bisa memberikan kesimpulan yang menurut semua orang tepat mengenai hal ini. Apalah kita yang hanya “penonton” yang sama-sama manusia ini. Menghakimi juga bukan tugas kita.
Satu hal yang perlu kita sadari, hidup ini bukan sinetron Indonesia yang menampilkan tokoh baik vs tokoh jahat. Banyak masalah yang memang sangat abu-abu dan tidak bisa selesai dengan kompas moral.
BACA JUGA Menitipkan Orang Tua di Panti Jompo Bukan Berarti Durhaka dan artikel lainnya di POJOKAN.