MOJOK.CO – Defisit BPJS Kesehatan, karena kita terbiasa bayar pas lagi sakit aja. Kalau kayak gini, bisa jadi mereka bakal bikin aturan tegas untuk memaksa kita biar nggak telat bayar!
Defisit BPJS Kesehatan menjadi masalah yang semakin parah. Defisitnya selama 4 tahun ini meningkatnya nggak tanggung-tanggung. Hampir 10 kali lipatnya. Jika di tahun 2014, BPJS mengalami defisit 1,9 triliun. Di tahun 2018, sudah mencapai 19,4 triliun. Pada 2019, defisit tersebut diperkirakan akan kembali naik. Nggak heran kalau Menteri Keuangan, Sri Mulyani, jadi uring-uringan melihat hal ini. Lha wong, semua kekurangan dari BPJS itu ditanggung sama keuangan negara.
Sri Mulyani kesel, karena manajemen BPJS Kesehatan dianggap nggak serius untuk mengatasi ini. Bahkan untuk hal sederhana semacam bikin aturan yang tegas supaya para peserta BPJS rutin membayar iuran setiap bulan—bukan hanya pas lagi sakit dan butuh berobat aja. Dengan aturan yang nggak tegas, tunggakan-tunggakan itu bakal terus ada dan bertambah. Ya, nggak heran kalau akhirnya BPJS masih aja defisit.
Di tengah kondisi yang memusingkan itu, Menteri Kemaritiman kita, Luhut Binsar, memberikan solusi jitu, yakni dengan meminta bantuan pada sebuah perusahaan asuransi asal Cina, Cina Ping An Insurance (Group).
Tentu saja, hal ini bikin bengong banyak orang. Pertama, kok ya malah langsung minta bantuan lagi. Ini kan nggak menyelesaikan akar masalah utama: Malesnya peserta BPJS Kesehatan untuk bayar iuran. Kedua, apa urusannya seorang Menko Kemaritiman ikut-ikutan ngurusin soal BPJS? Apa beliau ini sebetulnya diam-diam seorang Perdana Menteri—tanpa kita sadari? Atau seorang menteri yang punya bakat selalu bisa menjawab segala permasalahan bangsa?
Terlepas dari saran Luhut Binsar yang sangat patut diapresiasi karena sungguh perhatian ini, seperti yang sudah diulas Mojok beberapa waktu lalu, solusi terciamik dari defisit BPJS ya tentu saja kamu-kamu para peserta BPJS, jangan malas-malas amat untuk membayar iuran setiap bulan. Jangan cuma merasa perlu untuk bayar kalau pas lagi ada butuhnya sama BPJS aja.
Ini tuh, kayak kita punya temen, tapi nggak akrab-akrab amat. Jarang komunikasi juga. Jarang diinget juga pas lagi dalam rutinitas sehari-hari. Eh, pas lagi butuh sesuatu, baru ngehubungin, baru sok asyik, sok baik, dan sok akrab. Seolah-olah, hubungan kalian ini betul-betul best friend forever. Padahal mah. Hahaha.
Sejauh ini BPJS Kesehatan memang dianggap belum cukup serius untuk bikin aturan bagi para peserta BPJS-nya. Padahal, Sri Mulyani sudah memberikan saran paling sederhana untuk persoalan ini. Mohon maaf nih, bukankah BPJS sebetulnya punya wewenang, hak, dan kekuasaan untuk “mengeksekusi lebih tegas” mereka-mereka yang telat bayar tagihan? Lha kok hampir 5 tahun berjalan, bukannya belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, tapi masih saja mengadu ke Sri Mulyani dengan manja-manja?
Mungkin, sebelumnya sebagai seorang ibu, saat menerima aduan Sri Mulyani ini masih dalam tahap tegas. Semacam, “Yaudah oke, sini negara pinjami uang dulu. Tapi, ini nggak boleh diulang lagi ya. Kalian harus memperbaiki diri.”
Eh, ternyata cara-cara peringatan ini belum cukup ampuh juga untuk menjadikan BPJS mandiri. Sebaliknya, malah bikin penyakit bagi BPJS untuk menggantungkan keuangan pada negara. Sri Mulyani juga punya batas sabar. Negara juga punya batas untuk meminjamkan uang. Lha emang duit negara cuma dipinjemin buat tunggakan BPJS aja? Fyi, pemindahan ibu kota itu juga butuh biaya, tauk!
Padahal kita semua tahu kalau keberadaan BPJS Kesehatan ini sudah cukup membantu pengobatan kita? Dengan iuran per bulan yang cukup murah—dengan catatan, asal nggak nunggak—kita bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis, ketika sedang membutuhkannya.
Tapi kenapa sih, meski kita sudah tahu kalau BPJS Kesehatan ini penting, kita tetap saja malas untuk membayarnya? Apa mungkin karena kita di dalam pikiran kita ada perasaan rugi kalau harus membayar padahal belum membutuhkan pelayanan kesehatan. Kayak, ngapain harus ribet-ribet bayar, lha wong kita belum sakit. Itu kan, eman-eman banget.
Atau, karena kita menganggap bahwa kesehatan warga negara seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Oleh karena itu, menjadi aneh rasanya untuk mendapatkan akses kesehatan gratis, masyarakat harus membayar sejumlah uang dengan rutin lagi. Bahkan, lembaga yang memanajemen soal ini, menganggap pesertanya seolah-olah sebagai nasabah. Jadi mungkin karena hal-hal tersebut, akhirnya rasa kerelaan untuk membayar meskipun tahu itu penting, jadi nggak ada.
Tapi ya sudahlah. Mekanisme membayar ini sudah jadi kebijakan negara. Barangkali kita perlu membentuk sudut pandang baru. Bahwa apa yang kita bayar dalam iuran BPJS anggap saja sebagai amal kita kepada negara. Tentu tanpa harus berharap kita menggunakan dana iuran kesehatan itu untuk kita berobat, kan?
BACA JUGA: Brilian! Solusi Defisit BPJS ialah dengan Mengajak Pesertanya Patungan Bayar