Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Belajar Berkampanye dan Berpolitik dari Anak-Anak

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
28 April 2019
A A
anak-anak
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Dulu, menjelang Pilpres 2014, di mana kondisi masyarakat yang sangat terpolarisasi menjadi dua kubu (pendukung Jokowi-JK dan pendukung Prabowo-Hatta), banyak yang berharap agar Pilpres 2014 cepat selesai. Harapannya sederhana. Agar pertarungan, caci-maki, saling ejek, dan segala keributan yang terjadi karena Pilpres bisa segera luruh dan redam.

Pada kenyataannya, memang tidak semudah itu, Ferguso. Pertentangan, caci-maki, dan saling ejek masih terus berlanjut bahkan setelah Jokowi (yang kala itu tampil menjadi Pemenang dilantik menjadi presiden).

Pertentangan itu kemudian berlanjut dan memuncak pada momen Pilgub DKI yang pada ujungnya mempertemukan pasangan cagub-cawagub Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga.

Orang-orang berharap Pigub 2017 segera berakhir agar orang-orang —yang sialnya bukan hanya warga Jakarta, tapi seluruh Indonesia— yang berbeda pilihan tidak saling ejek utamanya di sosial media. Nyatanya, sekali lagi, tak semudah itu, Ferguso.

Hal tersebut kemudian berlanjut di Pilpres 2019.

Pemilu selalu berkali-kali menjanjikan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia berikan. Emmm, mungkin lebih tepatnya bukan menjanjikan sesuatu, tapi kitanya saja yang terlalu berharap akan sesuatu.

Sejak polaritas politik menjadi sesuatu yang begitu dominan, pemilu menjadi ajang yang sangat menyebalkan. Semua hal entah kenapa selalu dihubungkan dengan pilihan politik.

Seseorang bisa dengan mudah dicap menjadi pengkhianat agama hanya karena ia mendukung kubu Jokowi. Sebaliknya, seseorang yang lain bisa dengan mudah dicap intoleran hanya karena ia mendukung kubu Prabowo.

Hal tersebut membuat saya jadi kangen dengan kemeriahan politik ketika polaritas belum menjadi hal yang begitu besar. Ketika tidak ada cap-capan yang masif.

Kita agaknya memang harus belajar dari anak-anak. Mereka dipenuhi dengan jiwa-jiwa yang menganggap pemilu hanya sebagai hiburan belaka.

Dulu sewaktu kecil, hampir semua anak selalu suka dengan pawai kampanye. Tak peduli apa pun partainya. Tak peduli apa pun pilihan presidennya. Satu-satunya yang mereka pedulikan adalah besar kecilnya jumlah massa dan suara bleyeran motor yang berlalu-lalang di jalan raya di depan kampung mereka.

Kalau disuruh kampanye? Wah, itu jauh lebih menyenangkan. Anak-anak selalu suka diajak berkampanye pawai keliling jalan. Tentu saja tanpa peduli apa partainya.

Diajak kampanye Golkat? Mau. Diajak kampanye PDIP? Siap. Diajak kampanye PAN? Berangkat.

Pas pulang ke Magelang beberapa waktu yang lalu, saya dapati anak-anak di kampung saya masih tetap begitu.

Iklan

Pencoblosan sudah selesai, tapi anak-anak di kampung saya masih suka berkampanye keliling kampung menggunakan bendera-bendera partai.

Tak jauh dari jalanan dekat rumah saya, saya memergoki mereka saat sedang berpawai ria. Pawai yang sangat santun, sebab mereka berjalan kaki, bukan menggunakan motor blombongan yang pucuk knalpotnya dipotong dan diganti kaleng susu Bebelac itu.

Wajahnya mereka tampak sangat ceria. Politik tak membuat mereka menjadi kelabu. Mereka tak peduli menang kalah. Yang penting, siapa pun pemenangnya, mereka akan tetap bermain kampanye-kampanyenan, tak peduli apa partainya.

Saya selalu tak setuju dengan istilah “Politik membuat orang dewasa menjadi anak kecil”, sebab yang saya lihat, dalam urusan politik, anak kecil jauh lebih dewasa ketimbang orang dewasa itu sendiri.

Terakhir diperbarui pada 28 April 2019 oleh

Tags: anak-anakkampanye
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

Tidak Boleh Asal Menempel Stiker Kampanye MOJOK.CO
Kotak Suara

Menempel Stiker Kampanye Ternyata Tidak Boleh Sembarangan, Ada Aturannya

8 Oktober 2023
Arsjad Rasjid Ditunjuk Jadi Ketua Tim Pemenangan Ganjar MOJOK.CO
Kotak Suara

Mengenal Arsjad Rasjid, Bos Kadin yang Ditunjuk Jadi Ketua Tim Pemenangan Ganjar Pranowo

6 September 2023
kampanye di sekolah mojok.co
Kotak Suara

Polemik Kampanye Pemilu di Sekolah, Bisa Jadi Potensi Ancaman Kekerasan bagi Anak?

27 Agustus 2023
Peserta pemilu bisa menggelar kampanye di kampus
Kotak Suara

Sejumlah Catatan yang Perlu Diperhatikan kalau Peserta Pemilu Menggelar Kampanye di Kampus

22 Agustus 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025
Anugerah Wanita Puspakarya 2025, penghargaan untuk perempuan hebat dan inspiratif Kota Semarang MOJOK.CO

10 Perempuan Inspiratif Semarang yang Beri Kontribusi dan Dampak Nyata, Generasi ke-4 Sido Muncul hingga Penari Tradisional Tertua

23 Desember 2025
UGM.MOJOK.CO

Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa

25 Desember 2025
Sarjana nganggur digosipin saudara. MOJOK.CO

Dianggap Aib Keluarga karena Jadi Sarjana Nganggur Selama 5 Tahun di Desa, padahal Sibuk Jadi Penulis

22 Desember 2025
Pasar Kolaboraya tak sekadar kenduri sehari-dua hari. Tapi pandora, lentera, dan pesan krusial tanpa ndakik-ndakik MOJOK.CO

Kolaboraya Bukan Sekadar Kenduri: Ia Pandora, Lentera, dan Pesan Krusial Warga Sipil Tanpa Ndakik-ndakik

23 Desember 2025
Era transaksi non-tunai/pembayaran digital seperti QRIS: uang tunai ditolak, bisa ciptakan kesenjangan sosial, hingga sanksi pidana ke pelaku usaha MOJOK.CO

Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha

26 Desember 2025

Video Terbaru

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025
Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

20 Desember 2025
SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.