Dulu, menjelang Pilpres 2014, di mana kondisi masyarakat yang sangat terpolarisasi menjadi dua kubu (pendukung Jokowi-JK dan pendukung Prabowo-Hatta), banyak yang berharap agar Pilpres 2014 cepat selesai. Harapannya sederhana. Agar pertarungan, caci-maki, saling ejek, dan segala keributan yang terjadi karena Pilpres bisa segera luruh dan redam.
Pada kenyataannya, memang tidak semudah itu, Ferguso. Pertentangan, caci-maki, dan saling ejek masih terus berlanjut bahkan setelah Jokowi (yang kala itu tampil menjadi Pemenang dilantik menjadi presiden).
Pertentangan itu kemudian berlanjut dan memuncak pada momen Pilgub DKI yang pada ujungnya mempertemukan pasangan cagub-cawagub Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga.
Orang-orang berharap Pigub 2017 segera berakhir agar orang-orang —yang sialnya bukan hanya warga Jakarta, tapi seluruh Indonesia— yang berbeda pilihan tidak saling ejek utamanya di sosial media. Nyatanya, sekali lagi, tak semudah itu, Ferguso.
Hal tersebut kemudian berlanjut di Pilpres 2019.
Pemilu selalu berkali-kali menjanjikan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia berikan. Emmm, mungkin lebih tepatnya bukan menjanjikan sesuatu, tapi kitanya saja yang terlalu berharap akan sesuatu.
Sejak polaritas politik menjadi sesuatu yang begitu dominan, pemilu menjadi ajang yang sangat menyebalkan. Semua hal entah kenapa selalu dihubungkan dengan pilihan politik.
Seseorang bisa dengan mudah dicap menjadi pengkhianat agama hanya karena ia mendukung kubu Jokowi. Sebaliknya, seseorang yang lain bisa dengan mudah dicap intoleran hanya karena ia mendukung kubu Prabowo.
Hal tersebut membuat saya jadi kangen dengan kemeriahan politik ketika polaritas belum menjadi hal yang begitu besar. Ketika tidak ada cap-capan yang masif.
Kita agaknya memang harus belajar dari anak-anak. Mereka dipenuhi dengan jiwa-jiwa yang menganggap pemilu hanya sebagai hiburan belaka.
Dulu sewaktu kecil, hampir semua anak selalu suka dengan pawai kampanye. Tak peduli apa pun partainya. Tak peduli apa pun pilihan presidennya. Satu-satunya yang mereka pedulikan adalah besar kecilnya jumlah massa dan suara bleyeran motor yang berlalu-lalang di jalan raya di depan kampung mereka.
Kalau disuruh kampanye? Wah, itu jauh lebih menyenangkan. Anak-anak selalu suka diajak berkampanye pawai keliling jalan. Tentu saja tanpa peduli apa partainya.
Diajak kampanye Golkat? Mau. Diajak kampanye PDIP? Siap. Diajak kampanye PAN? Berangkat.
Pas pulang ke Magelang beberapa waktu yang lalu, saya dapati anak-anak di kampung saya masih tetap begitu.
Pencoblosan sudah selesai, tapi anak-anak di kampung saya masih suka berkampanye keliling kampung menggunakan bendera-bendera partai.
Tak jauh dari jalanan dekat rumah saya, saya memergoki mereka saat sedang berpawai ria. Pawai yang sangat santun, sebab mereka berjalan kaki, bukan menggunakan motor blombongan yang pucuk knalpotnya dipotong dan diganti kaleng susu Bebelac itu.
Wajahnya mereka tampak sangat ceria. Politik tak membuat mereka menjadi kelabu. Mereka tak peduli menang kalah. Yang penting, siapa pun pemenangnya, mereka akan tetap bermain kampanye-kampanyenan, tak peduli apa partainya.
Saya selalu tak setuju dengan istilah “Politik membuat orang dewasa menjadi anak kecil”, sebab yang saya lihat, dalam urusan politik, anak kecil jauh lebih dewasa ketimbang orang dewasa itu sendiri.