Semoga ia dianugerahi lupa. Semoga ia tak akan pernah ingat kejadian ini, saya berdoa untuk bayi 14 bulan berinisial N di Jember yang saya baca beritanya pagi tadi. Kehidupan di dunia sungguh sengsara, namun bayi N sudah menyalip banyak orang dengan mencicipinya selama tiga hari di umur yang baru setahun.
Semoga penderitaannya dicukupkan di tiga hari itu saja, doa saya lagi. Jangan sampai ingatan membuat peristiwa itu melukai N lagi dan lagi di masa depan.
Rabu lalu (14/8) tetangga mendobrak rumah tempat N hidup berdua dengan ayahnya. Rumah mereka ada di Perumnas Kaliwining Asri, Desa Kaliwining, Kecamatan Rambipuji, Jember, Jawa Timur.
Sebelumnya rumah itu diketuk, tapi tak ada jawaban. Tetangga curiga sesuatu terjadi. Ada bau bangkai menguar. Kemudian pintu terbuka. Anak itu, bayi 14 bulan itu, sudah lemas karena lapar. Ia ditemukan sedang menangis sambil memeluk tubuh ayahnya yang tinggal raga tanpa nyawa.
Polisi menduga sudah tiga hari Aan Junaidi alias Fauzi, 40 tahun, tak bernapas. Kulit di mayat Fauzi mengelupas, menempel di pipi dan baju balita perempuannya yang bicara saja belum bisa. Cairan dari tubuh mayat merembes, membuat kaki si bayi melepuh. Saya pernah sekali mencium bau mayat manusia. Belum ada aroma busuk yang bisa menandinginya sampai sekarang. Oleh bau busuk bangkai hewan sekalipun.
Fauzi menempati rumah itu sejak delapan bulan lalu. Tadinya mereka bertiga, pindah dari Banyuwangi ke Jember. Ada Fauzi sang ayah, Sulastri sang ibu, dan N si anak. Tiga bulan setelah pindah, Sulastri pergi menjadi TKW ke Taiwan.
Dari Rambipuji, Jember ke Taiwan, seseorang harus naik bis 4 jam ke Surabaya, lalu terbang 6,5 jam menempuh rute Surabaya-Taipei.
Tetangga panik dengan tragedi keluarga yang baru terjadi di depan mata mereka. N dibawa ke puskesmas. Dimandikan. Diberi makan. Jika ayahnya meninggal sudah tiga hari, selama itu pula anak itu tidak makan. Tetangga bersyukur, sebagaimana orang Jawa yang selalu sempat memanjatkan syukur meski ditimpa musibah, bahwa anak ini tak mati kelaparan. Jika itu sampai terjadi, bisa jadi mereka tak bisa memaafkan diri mereka.
Anak itu kemudian dirawat tetangga. Di media fotonya muncul dengan wajah disamarkan. Ia digendong. Kecil badannya, mulutnya menyedot minum dari botol susu.
Kini si bayi sudah diserahkan kepada kakak ibunya yang tinggal di Banyuwangi. Kemarin, ia masih terbangun dari tidur dan memanggil-manggil ayahnya. Ibunya yang belum bisa pulang menitip pesan kepada kakaknya, “Bojoku meninggal. Tulung openi anakku.”
Suamiku meninggal, tolong asuh anakku.
***
Namanya Muhammad Ali. Ia tinggal di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Usianya 6 tahun ketika namanya menjadi pembicaraan. Itu tahun 2015 ketika media tahu bahwa Ali yang masih siswa PAUD harus menjadi penyangga utama keluarga. Ayahnya meninggal tiga tahun sebelumnya.
Keluarga yang harus dirawat dan diberi makan oleh anak kecil ini terdiri dari seorang ibu yang buta dan tuli, seorang kakak 12 tahun yang mengalami keterbelakangan mental, dan satu adik berusia 3 tahun.
Sehari-hari Ali sekolah di taman pendidikan anak usia dini (Paud). Selain sekolah, ia bekerja menjadi pemetik buah langsat dengan bayaran lima sampai sepuluh ribu. Ia memasak dan mencuci pakaian untuk anggota keluarga. Ia membersihkan rumah. Ia mencari kayu bakar untuk memasak. Ia menjadi penunjuk jalan jika ibunya hendak bepergian, untuk berobat ataupun belanja.
***
Namanya Tasripin. Ia tinggal di Banyumas, Jawa Tengah. Usianya 12 tahun ketika namanya menjadi pembicaraan. Itu tahun 2013 ketika media tahu bahwa Tasripin harus putus sekolah dan menjadi buruh tani demi memberi makan dirinya dan tiga adik yang masih kecil-kecil. Tadinya di gubuk berlantai tanah mereka ada tujuh orang: satu ayah, satu ibu, satu kakak, Tasripin, dan tiga adik.
Kemudian ibunya meninggal. Mati tertimbun tanah longsor ketika sedang bekerja menambang pasir. Itu tahun 2012.
Kemudian ayah dan kakaknya merantau ke Kalimantan. Mencari nafkah. Meninggalkan Tasripin yang sehari-hari bergotong royong mempertahankan hidup bersama tiga adiknya.
***
“Semua keluarga yang bahagia, bahagia dengan cara yang sama; setiap keluarga tak bahagia, tak bahagia dengan cara masing-masing,” tulis Leo Tolstoy dalam Anna Karenina, 146 tahun lalu. Namun, dalam keluarga tak bahagia, entah karena tragedi atau karena kesalahan orang tua, ketidakbahagiaan itu secara kejam selalu ikut ditanggung anak-anak.
Tidak perlu bersyukur jika Anda lebih bahagia dan sejahtera ketimbang bayi N, Ali, atau Tasripin. Itu kejam. Kejam kalau Anda membutuhkan penderitaan orang lain agar bisa menyadari diri sendiri baik-baik saja. Atau malah sangat baik.
Dalam penderitaan-penderitaan yang dialami bayi N, Ali, maupun Tasripin, yang diperlukan dari kita adalah simpati dan bantuan.
Dan kemudian pencerahan. Bahwa kita, jika kelak akan punya anak atau malah sudah, harus merawat kesehatan diri sendiri agar nyawa-nyawa yang kita hadirkan ke dunia tak terlantar. Agar bisa belajar menjadi orang tua yang baik bagi anak sendiri maupun anak orang lain. Agar mampu membuat diri sendiri mengerti, sesulit-sulitnya menjadi orang tua, dalam banyak kasus itu pilihan yang kita ambil, bukan pilihan yang dibuat anak kita.
Dan agar anak-anak yang dilahirkan ke dunia tidak mengutuk orang tua mereka, mempertanyakan kenapa ia dilahirkan hanya untuk menanggungkan penderitaan.
BACA JUGA: Curhat – Harus Bagaimana Jika Dianggap Beban oleh Orang Tua Sendiri