MOJOK.CO – Bakat alam dan privilege kerap ditutup-tutupi karena seseorang enggan mendapat tanggung jawab dari keunggulan “natural”-nya.
“Menurutmu bakat alam itu ada nggak?” tanya seorang teman.
“Ya ada laaah,” jawab saya.
“Wah, kuno banget cara berpikirmu,” komentar teman saya.
Kuno? Sek, sebentar, sebentar.
Oke baiklah, saya bisa jelaskan kenapa saya percaya kalau bakat alam itu ada. Begini.
Dalam khasanah berpikir masyarakat yang kompetitif seperti sekarang, pengakuan atas bakat alam seseorang memang kerap dianggap sebagai bagian dari cara berpikir primitif.
Bagi orang-orang seperti ini, termasuk teman saya tadi, kesuksesan seseorang bisa dicapai melalui kerja sungguh-sungguh dan kerja keras, tak lebih. Bakat alam tidak perlu menyumbang menjadi bagian dari kesuksesan atas hal itu.
Sebelum menjelaskan itu semua, saya perlu menjawab dulu kenapa saya percaya bakat alam itu ada, dan ia sedikit banyak mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan seseorang.
Secara sederhana, bakat alam yang saya maksud di sini adalah soal tingkat kemudahan suatu makhluk dalam bertahan hidup. Misalnya, seseorang bertubuh tinggi, lebih mudah memetik buah yang matang di dahan pohon ketimbang seseorang yang bertubuh pendek.
Pertanyaannya, memang orang yang bertubuh pendek tidak bisa memetik buah yang sama?
Oh, tentu saja bisa, hanya saja effort yang harus dilakukan orang yang bertubuh pendek mesti lebih banyak. Seperti ia harus “dipaksa” mahir memanjat pohon atau “dipaksa” untuk memanfaatkan tools seperti galah untuk menyamai kemampuan orang yang lebih tinggi.
Artinya, secara tingkat kompetisi bertahan hidup, orang bertubuh pendek bekerja dua sampai tiga kali lebih keras dari orang yang sudah dari sononya punya tubuh tinggi.
Dalam kacamata yang lebih luas, bakat alam seperti ini sebenarnya menjadi alasan kenapa dalam konsep survival primitif (terutama pada spesies makhluk hidup yang reproduksinya pakai cara seksual) betina akan memilih pejantan yang paling tangguh.
Misalnya, pada hewan bertanduk, pejantan yang paling besar, tanduk paling besar, dan paling kuat akan mendapat hak untuk kawin dengan si betina. Atau pada spesies ayam, ayam betina akan memilih kawin dengan ayam jago yang memenangi pertarungan dengan ayam jago lainnya.
Alasannya? Ya ini sebuah sistem agar si betina mendapatkan benih paling kuat. Sehingga anak-anaknya nanti dipercaya akan lebih punya kemampuan survival lebih tinggi. Dengan kemampuan survival lebih tinggi, maka tingkat superior spesiesnya bisa tetap terjaga sehingga tidak cepat punah.
Yak, dalam kacamata primitif, kira-kira itulah jawaban soal bagaimana bakat alam bekerja.
Nah, dalam kacamata manusia, bakat alam itu juga terjadi namun beralih rupa dalam bentuk yang lebih rumit. Karena manusia dibekali akal untuk merekayasa alam, maka konsepsi “alam” di sini pun menjadi lebih kompleks.
Jika dulu, alam dimaknai sebagai sesuatu yang sifatnya natural, maka pada manusia modern saat ini, alam yang ada bisa direkayasa. Ibaratnya, makhluk primitif akan punya kemampuan beradaptasi dengan alam, maka manusia modern akan membuat alam berdaptasi dengan dirinya.
Misalnya, ingin makan apel lalu bikin perkebunan apel. Ingin makan daging sapi lalu bikin peternakan sapi. Ingin awet jadi pejabat lalu bikin perusahan tambang… yak, intinya ada macam-macam lah caranya.
Dari konteks semacam itulah kemudian kita mengenal bakat alam ini beralih rupa tidak hanya berupa pada tanda-tanda fisik. Tidak seperti makhluk primitif yang akan superior semata-mata karena lebih kuat dalam hal bertarung, berburu, atau menghindari bahaya, manusia modern membuat “bakat alam” ini berubah konsep (meski secara substansi ya sama).
Seperti dari tingkat kekayaan keluarga, jabatan bapak, status sosial yang dimiliki kakek, yang akhirnya membuat seseorang punya akses pendidikan/pengetahuan lebih baik dari orang-orang di sekitarnya. Hal yang bikin ia lebih mudah untuk jadi superior di komunitas spesiesnya.
Nah, bakat alam yang saya jelaskan secara berbusa-busa inilah yang dikenal oleh masyarakat modern dengan istilah privilege.
Privilege inilah yang bikin seseorang yang lebih tinggi secara status sosial, akan lebih mudah memetik cita-cita di dahan pohon, ketimbang orang yang secara status sosial lebih rendah.
Pertanyaannya (sekali lagi), memangnya orang yang status sosialnya lebih rendah tidak bisa memetik cita-cita yang sama?
Oh, tentu saja bisa, hanya saja ia harus melakukan effort dua sampai tiga kali lebih berat. Seperti harus mahir memanjat pohon cita-cita itu, atau harus menguasai tools lain agar cita-cita itu bisa digapai.
Melihat dari kacamata tersebut, tentu saja kita akan merasa kalau alam ini tidak adil. Karena seseorang dilahirkan dari keluarga siapa bukanlah pilihan, itu adalah sesuatu yang sifatnya taken for granted. Apa alam sekejam itu terhadap manusia?
Nah, dari sinilah kemudian konsepsi equality pada ranah moral manusia bermain. Bahwa orang yang punya privilege pada dasarnya dibebani tanggung jawab lebih besar. Mirip-mirip seperti nasihat Uncle Ben ke Peter Parker, “With great power comes great responsibility.”
Agar gap antara yang lemah dan yang punya privilege kuat tak terlalu lebar, sehingga tidak terjadi iri-irian yang berpotensi bikin konflik, maka manusia dibekali emosi dalam bentuk empati dan simpati. Hal yang kemudian mewujud pada standar moral layaknya yang kerap nongol di buku-buku PPKn atau PMP.
Konsepsi-konsepsi ini yang pada praktiknya kerap muncul dalam anjuran agama, norma, bahkan aturan negara.
Misal, seseorang yang punya privilege, ia dibebani harus membayar zakat lebih banyak dan diwajibkan memiliki asas manfaat lebih besar untuk masyarakatnya. Atau dalam konsepsi negara, orang tersebut dibebani pajak lebih besar dari orang lain (secara normatif lho ya ini ya, bukan soal praktiknya yang embuh itu).
Nah itu tadi kalau dalam konsepsi idealnya, dan persoalan baru terjadi ketika banyak orang-orang yang tak mau berdamai dengan privilege yang ia punyai.
Misalnya, ia bisa jadi sekaya raya sekarang dan mendapat pendidikan begitu tinggi karena status sosial keluarganya, tapi koar-koar di publik bahwa itu semua ia dapatkan bukan dari siapa-siapa tapi dari kerja kerasnya sendiri.
Orang-orang inilah yang menafikan bahwa dirinya punya “bakat alam” atau privilege sehingga ia lebih mudah melakukan itu semua.
Dengan merasa bahwa ia melakukan itu karena kerja kerasnya sendiri, maka dalam tahap ekstrem berikutnya ia merasa tak perlu bertanggung jawab atas kesialan orang lain yang lahir bukan dari keluarga dengan privilege yang setara.
Dengan enteng ia bisa saja menganggap bahwa orang bodoh, miskin, pengemis adalah residu kebudayaan karena orang-orang itu tak mau bekerja keras seperti dirinya. Orang-seperti ini tidak hanya tak mau mengakui, tapi juga tak mau berdamai dengan privilege yang ia punya.
Dan jauh lebih menjadi masalah lagi, orang-orang seperti inilah yang kini cukup banyak mengisi pos-pos kekuasaan di negara kita. Orang-orang yang enggan mengakui bahwa “bakat alam” itu ada, hanya semata-mata agar mereka bisa “lari” dari tanggung jawab “natural”-nya.
Sesuatu yang kemudian juga dikenal dengan istilah sedikit lebih klasik lagi di praktik politik praktis kita, yakni: DINASTI.
BACA JUGA Santai, Kita Semua Bisa Punya Privilege Kok atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.