MOJOK.CO – Apakah mereka yang pernah judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina itu lantas tidak kompeten menjadi presiden dan memimpin negara?
Ribut-ribut tentang Ferdy Sambo bikin kita abai dua hal. Pertama, Baim Wong kembali lagi dengan konten orang miskin. Kedua, pilpres sudah di depan mata. Meski perkara Baim Wong lebih penting dari pemilu, tapi kali ini kita perlu peduli. Mengingat kemarin selintas saya membaca aturan pencalonan presiden yang tak boleh amoral.
Lha, kok nggak boleh amoral? Disebutkan para kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang hendak maju dalam Pilpres 2024 mendatang tidak boleh memiliki riwayat melakukan tindakan tercela. Hal itu diatur dalam Pasal 169 Huruf J Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa para calon presiden dan calon wakil presiden harus tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma asusila, dan norma adat. “Seperti judi, mabuk, pecandu narkotika, dan zina,” bunyi bagian penjelasan Pasal 169 Huruf J tersebut. Wah, artinya, ada dong norma-norma lain yang berpotensi dilarang, tapi apa iya semua itu punya korelasi terhadap kemampuan calon presiden?
Peraturan ini mungkin indah belaka. Pemimpin memang sebaiknya sempurna, tak suka judi, menghindari mabuk, bukan pecandu, apalagi “suka jajan”. Seperti ajaran Moh Limo, tapi disahkan oleh konstitusi. Pertanyaanya kemudian, apakah mereka yang pernah judi, mabuk, pecandu narkotika, dan zina itu tidak kompeten memimpin negara?
Ingat ya, UU Pemilu mengatur tentang prasyarat seorang calon pemimpin negara, bukan modin masjid atau guru agama. Bagi saya, persyaratan yang didasarkan pada moralitas kerap kali luput. Padahal, keterampilan adalah dasar seseorang dipilih untuk satu pekerjaan, apalagi ini urusan banyak orang. Misalnya, dalam kampanye pemilihan kepala daerah, para calon lebih asik berusaha jadi tampak beragama daripada tampak kompeten.
Soal tidak berzina misalnya, apa urusan selangkangan seseorang dengan cara memimpin negara? Jika zina adalah keterampilan dasar memimpin, semestinya Selandia Baru bangkrut dan hancur sejak lama. Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru, tidak menikah tapi tinggal bersama dan memiliki anak dengan partnernya, Clarke Gayford.
Apakah cara memimpin Jacinda tidak bermutu? Justru sebaliknya. Selandia Baru sukses menghadapi pandemi dengan gemilang. Mereka bisa bersikap tegas pada pelaku terorisme tanpa harus menjual isu agama. Selandia Baru mampu mengatasi bencana dengan trengginas. Satu hal yang paling penting adalah pemimin mereka bisa menepati janjinya dengan baik. Bukan janji tidak menaikkan harga BBM, tapi pada akhirnya naikin juga. Mencla-mencle.
Lalu, bagaimana dengan suka mabuk? Pernah mabuk dan sedang mabuk adalah dua kondisi berbeda. Yang pertama menunjukkan bahwa seseorang sudah pengar (sober) dan mampu secara sadar bekerja. Yang kedua adalah kondisi tidak sadar karena pengaruh zat tertentu. Tapi, ada kok orang yang sadar tapi mabuk. Mabuk kekuasaan misalnya. Sampai ingin mengubah konstitusi demi bisa berkuasa 3 periode atas nama rakyat. Eh, rakyat yang mana, nih?
Kemampuan memimpin negara seharusnya sih bukan diukur dari belum pernah mabuk, main judi, zina, atau memakai narkoba. Setiap orang punya kesempatan memperbaiki diri. Selama dia mau mengubah diri, berkomitmen tumbuh, dan bersedia bertemu tenaga profesional untuk memperbaiki diri dari dalam, dia boleh saja jadi presiden.
Tentu ada beberapa kejahatan yang demikian berat dan pelakunya tak boleh diberikan kesempatan berkuasa. Melakukan kejahatan kemanusiaan, contohnya. Ada juga yang memberlakukan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh yang membunuh ribuan orang. Lalu, ada juga yang mengirimkan tentara ke Papua atas nama stabilitas dan keamanan. Para pelaku 2 kejahatan ini harus dicegah jadi presiden.
Menghukum orang mabuk dan judi bisa jadi adil apabila kelakuannya menyengsarakan orang banyak. Misalnya, anggota dewan yang menggunakan uang hasil korupsi untuk judi. Ada juga anggota dewan yang korupsi dana bansos untuk kepentingan pribadi. Nah, untuk yang terakhir, yang dihukum jangan hanya pelakunya, tapi juga partainya semestinya dihukum berat. Kok bisa sampe punya kader jadi bandit.
Di Inggris, perdana menteri Boris Johnson pernah dikritik keras karena berpesta saat pandemi. Tentu bukan soal konsumsi alkohol yang dikritik, tapi bagaimana bisa pemimpin negara berpesta di tengah larangan berkumpul. Tidak hanya itu, Boris berpesta di tengah meningkatnya angka kematian karena wabah. Di sini kita bisa melihat sumber kemarahan yang sangat berbeda. Marah karena mabuk dan marah karena tidak kompeten memimpin adalah 2 hal yang berbeda.
DI Indonesia, kata “ironi” semestinya dibikin bold dengan ukuran paling besar. Biar semua orang yang punya laku kelewatan bisa menyadari bahwa dirinya keterlaluan munafik atau kurang akal. Kita kerap terjebak pada isu sepele macam alkohol, zina, sampai judi, tapi nyaris diam saja jika capres dan cawapres terlibat pelanggaran HAM berat.
Kamu bisa terbukti bersalah melakukan penculikan aktivis dan tetap nyapres. Kamu juga bisa mendorong penerbitan SKB 3 Menteri yang menjadi dalil pengusiran dan pembunuhan Ahmadiyah, dan tetap bisa jadi cawapres. Jadi bandit dan koruptor pun bisa jadi anggota legislatif. Di kolong langit Nusantara ini, apa sih yang nggak bisa buat penjahat berdasi?
Nah ini ada yang lucu lagi, UU Pemilu Pasal 227 mengatur bahwa tiap capres dan cawapres wajib menyertakan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari Mabes Polri ketika mendaftar ke KPU. Iya, Mabes Polri, lembaga yang pernah punya pemimpin kayak Ferdy Sambo. Mau minta SKCK ke mereka?
Apa ya nggak lucu?
BACA JUGA Capres 2024: Palagan Calon Presiden “Balung Gajah” dan analisis cerdas lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno