MOJOK.CO – Setelah curhat mengenai susahnya menjadi perempuan pekerja cum working-mom di startup, Andin tiba-tiba teringat pengalaman kocaknya ketika ia izin ikut demo pada 2019 silam. Laksana pergi jihad, tatapan penuh arti dari teman-teman kantornya mengikuti kepergian Andin.
Suasana ibukota saat itu sedang panas-panasnya. Demonstrasi berlangsung sangat masif bahkan berujung kerusuhan. Berbagai elemen masyarakat turun ke jalan memprotes sepaket RUU problematik. Mahasiswa, buruh, hingga pelajar berbondong-bondong menuju Senayan. Andin salah satunya, perempuan pekerja startup decacorn yang nekat pergi di tengah tatapan aneh rekan kerjanya.
“Demi apa lo mau ikutan demo?”
Andin salah tingkah ketika seorang rekan kantor, sesama perempuan menghadang di depan meja kerjanya. Ia tidak pernah menyangka rekannya sesama pekerja startup heboh menanggapi keputusannya untuk ikut demonstrasi.
Pada mulanya, Andin kira izin ke atasan akan berlangsung lancar. Ia bermaksud izin kerja setengah hari karena sudah bikin janji dengan teman-teman gaulnya—bukan anak startup—untuk turun ke jalan. Atasan mengizinkannya. Akan tetapi, sontak seisi kantor berisik ketika mengetahui Andin hendak pergi demo.
Mereka memperhatikan Andin yang sedang menyiapkan desain poster demo. Beberapa di antaranya terus-menerus menanyakan alasan Andin demonstrasi, seolah pekerja startup ini hendak pergi jihad. Ada pula yang komentar di balik punggungnya, “Ngapain sih pergi demo?! Bikin macet, nggak kasian sama orang yang kerja?”
“Anjir-lah. Malu dan keki banget. Satu-satunya orang yang mau pergi demo saat itu cuma aku, yang lain melongo antara heran, takjub, dan menganggapku seperti alien,” ucap Andin setengah mengumpat dengan ekspresi geli.
“Saking anehnya momen itu, waktu aku resign, masih ada aja yang terkenang. Bahkan dengan bangga bilang, ‘gue yang bantuin bikin poster demo.’”
Namun, bagi Andin, yang lebih aneh lagi adalah seorang rekan kerjanya, perempuan dari kelas atas yang secara dandanan sangat tidak siap untuk turun ke jalan, tiba-tiba ngotot ingin ikut.
“Aduh, bukannya gue nggak mau lo ikut. Tapi ini bisa bahaya. Ntar lo kenapa-napa, gimana?” kata Andin menirukan ucapannya waktu itu agar temannya urung ikut.
Memang benar, sesuai prediksi Andin, beberapa jam kemudian ia terjebak kerusuhan dan sempat menaiki pagar di depan gedung DPR. Keesokan harinya, seluruh karyawan kemudian kerja dari rumah alias WFH karena kerusuhan yang semakin parah.
Apolitis karena berasal dari keluarga privilese
Menurut kesaksian Andin selama 7,5 tahun berkecimpung di dunia startup, sebagian besar pekerja startup tidak peduli pada politik. Bagi mereka yang berasal dan besar dari keluarga menengah ke atas, isu politik terasa cukup asing.
“Oh, mereka tidak peduli,” sahut Andin sambil tertawa.
Aku bisa bilang rata-rata anak startup cuek sama politik. Mereka seperti nggak butuh aware dengan isu politik. Yang penting kebutuhan tercukupi dan gaji gede,” tambahnya.
Sepulang demonstrasi pada 2019 silam, Andin masih ingat grup kantor di WhatsApp ramai menanyakan kabarnya. Ada juga yang penasaran bagaimana rasanya kena gas air mata. Beberapa teman kantornya menghubungi secara pribadi untuk menanyakan kabar sekaligus membahas RUU bermasalah yang menjadi akar keributan.
“Seingatku yang nge-japri kebanyakan anak-anak lulusan kampus negeri. Mungkin lulusan kampus negeri memang lebih perhatian sama isu politik daripada lulusan luar atau swasta,” ungkapnya.
Kurangnya perhatian pada politik ini juga bisa kita lihat dengan ketiadaan serikat pekerja startup hingga saat ini. Padahal, tanpa adanya serikat pekerja, perlindungan terhadap nasib pekerja startup semakin lemah. Para pekerja startup bisa kena PHK sewaktu-waktu tanpa dapat pesangon.
“Kayaknya belum banyak yang mikir ke sana (mendirikan serikat pekerja), karena kebanyakan pegawainya anak privileged. Kerja di startup buat aktualisasi diri, biar bisa dapat gaji gede, dan status kerjaan bergengsi. Jadi mereka fine-fine aja gitu di-abuse buat kerja lembur, kerja di luar porsinya dia. Mereka nggak mikir harus sustain alias bertahan hidup,” jelas Andin.
Mampu beli Starbucks tiap hari
Andin yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja, merantau ke Jakarta dengan penuh perjuangan. Ambisinya memperbaiki taraf hidup sekaligus menafkahi orang tua yang tak memiliki dana pensiun, ia mempunyai prinsip tidak mau terjebak gaya hidup hedon seperti yang kerap ia lihat pada sesama pekerja startup.
Berada di lingkungan SCBD yang dipenuhi para pekerja perlente dan necis, Andin terbiasa dengan pemandangan barang-barang bermerek yang dikenakan rekan kerjanya.
“Kalau yang cewek datang ke kantor jinjing tas Chanel, Louis Vitton. Lanyard (tali gantungan kartu) Michael Kors gitu mah udah biasa. Ada juga yang pake jam tangan 300 juta. Botol minumnya aja 500 ribu-an. Tiap hari ngopi-nya Starbucks,” cerita Andin.
“Tapi, ada juga yang kayak aku, dengan gaji yang sama di ruang yang sama, aku lebih milih minum coffeemix sachet,” selorohnya.
Menurut Andin, komposisi pekerja di kantornya dulu—perusahaan decacorn—diisi oleh kelas menengah ke atas. Mayoritas dari mereka lulusan luar negeri, yang notabene bukan penerima beasiswa, melainkan biaya sendiri alias orang tua tajir-melintir yang mampu membiayai anaknya sekolah di negeri orang.
“Minimal dari kampus swasta mahal di Jakarta. Tentu saja, secara kemampuan mereka mumpuni. Tapi, buat orang pintar yang masih berada di garis kemiskinan struktural, ya, susah nembus ke situ,” kata Andin.
Oligarki gaya baru
Hal lain yang jarang diungkap oleh pekerja startup, menurut kesaksian Andin, adalah tumbuhnya oligarki gaya baru di dalam internal perusahaan startup. Andin kerap menyaksikan bagaimana seorang pemimpin yang baru direkrut tidak segan-segan membawa rombongannya. Ini dikarenakan, proses rekrutmen juga biasa bersifat tertutup, alias rekomendasi “orang dalam”. Nepotisme masih terasa cukup kental di lingkup perusahaan startup besar.
“Bisa tuh sekali masuk bawa kroni-kroninya. Satu divisi orang dia semua. Dampaknya, tiba-tiba struktur dalam startup berubah. Di satu sisi yang dibawa itu memang punya kapasitas, tapi ada juga yang nggak,” ungkapnya.
Sebagaimana dilaporkan Startup Ranking, per tahun 2022 Indonesia memiliki total 2.346 startup. Jumlah ini menjadi yang terbanyak ke-5 di dunia, hanya kalah dari Amerika Serikat, India, Inggris, dan Kanada. Angka itu sekaligus mengukuhkan Indonesia sebagai negara dengan startup terbanyak di Asia Tenggara.
Andin membayangkan, kelak para pekerja startup kompak mendirikan serikat atau setidaknya bergabung dengan serikat pekerja yang lainnya agar bisa menyatukan tujuan yakni perlindungan kerja.
“Hari ini masih banyak startup yang melakukan PHK. Pesangon kadang tidak sesuai, bahkan ada yang sama sekali tidak dapat [pesangon], dan ada yang sebenarnya dipaksa mengundurkan diri biar nggak wajib dapat pesangon,” tutur Andin.
Terkhusus untuk Pemilu 2024, Andin berharap bagi siapapun yang nantinya terpilih menjadi presiden, agar lebih memperhatikan kesejahteraan pekerja. Apalagi, pekerja perempuan di startup yang rentan, seperti dirinya dan banyak perempuan lain di luar sana.
“Industri teknologi ini pengaruhnya besar, jadi harus dapat perhatian lebih dari pemerintah,” pungkasnya.
Penulis: Amanatia Junda
Editor: Purnawan Setyo Adi