MOJOK.CO – Laras, seorang ibu yang selama ini menjaga jajanan anaknya dari produk berkemasan, dibuat pusing tatkala sang buah hati pulang dari Daycare membawa hampers ulang tahun. Ini bukan karena julid, melainkan dia sadar betul begitu bahayanya kandungan jajanan masa kini. Ditambah, beredar kabar angka diabetes pada anak Indonesia melonjak 70 kali lipat. Mumet nggak Bund?
Baru dua tahun usianya, tetapi anakku sudah mendapat undangan pesta ulang tahun teman-temannya di Daycare. Dalam satu bulan, dia bisa membawa dua sampai tiga hampers ulang tahun beraneka rupa, mulai dari bentuk burung hantu sampai gambar truk ekskavator. Tentu saja dia semringah. Tapi tidak denganku.
Semasa kecilku, perayaan ulang tahun cukup dimeriahkan dengan nasi kuning atau nasi urap. Orang Jawa bilangnya bancakan. Sekarang, rasanya tidak cukup. Warung ritel yang tersebar luas dari pusat sampai ke pelosok, diterima begitu saja bahkan dirayakan, membuat imajinasi kita tentang sajian pangan berubah.
Jajanan di rak Indomaret menjadi pilihan praktis dan dianggap “pantas” untuk bingkisan ulang tahun. Terutama bagi orang tua masa kini yang waktunya habis untuk bekerja, delapan jam sehari, demi cicilan dan cita-cita (katanya). Tapi, apa iya jajanan warna-warni dan susu rasa-rasa itu aman bagi anak-anak? Kenapa kita mewajarkannya?
Pendidikan formal yang dijalani bertahun-tahun itu membuat kita menginternalisasi obsesi modern terhadap “standarisasi” tertentu. Secara tidak sadar, kita terbiasa menilai apapun sesuai standard. Kita pun menilai bahwa sereal, roti, dan biskuit yang mempunyai informasi nilai gizi terlihat lebih baik dibandingkan jenang, bubur, klepon, dan lemper yang dijual di pasar. “Tidak higienis!” desak otak kiri kita.
Makanan “ultra proses” standar masa kini
Makanan ultra proses, sebutan untuk produk pangan pabrikan, sudah lama diberi panggung di negeri ini. Bahkan, secara sukarela, dimeriahkan dan dirayakan di dapur kita. Contoh paling sederhana, kalau sore-sore sedang hujan, otakku langsung mengirim sinyal aroma Indomie telur kornet.
Kita juga biasa melihat pemandangan guru mengajak anak-anak TK merayakan kelas keterampilan mereka di restoran fast food. Bocah lima tahun sudah diajarkan cara membuat burger, diberi paket makan siang ayam tepung bersaos merah dengan nasi panas. Entah berapa banyak gula di sana. Bagaimana masa depan jadah tempe kita – burger asli wong Kaliurang?
Bisa jadi, kita juga menyambut baik dokter yang memberi resep “susu formula” atau “bubur fortifikasi” demi mengejar berat badan bayi. Mengapa mereka enggan menyarankan ibu ke klinik laktasi atau mengajarkan orang tua prinsip meracik makanan pendamping ASI (MPASI)? Mungkin, ada pula yang berkomentar, kenapa harus repot, Bund?
Anak kota obesitas, anak kepulauan stunting
Pasar modern sudah menyediakan standar baku, buah dari proses penelitian panjang (meski penuh kepentingan industrial). Sejak dini, kita diperkenalkan dengan olahan pangan bernatrium atau berpemanis. Indra pengecap semakin terdisiplinkan oleh industri pangan. Rasanya nyaman menikmati sensasi manis dan asin gurih tanpa seleksi.
Padahal, kita lahir di negara berlimpah rempah, beragam aroma rasa, tapi kita lupa cara mengenalkannya pada asupan awal anak-anak kita. Rasanya aneh melihat mereka makan pepes telur-tahu dan menikmati aroma sereh, daun jeruk, salam, kunyit, daripada makan biskuit atau sereal fortifikasi dan, tentu saja, susu rasa-rasa.
Jadi jangan heran, status gizi di negara ini begitu timpang. Anak-anak kota terkena obesitas, sementara mereka yang tinggal di kepulauan menghadapi stunting.
Ada sebuah pengalaman pedih manakala aku tinggal di pedalaman Papua Barat, empat jam perjalanan menggunakan speedboat dari muara Laut Arafuru. Seorang bayi meninggal karena diberi kopi susu instan yang dijual di perahu-warung milik pendatang. Keluarga ini tidak mampu membeli susu formula.
Sementara, ASI dianggap tidak keluar dari payudara ibu yang kurus. Sumber pangan di hutan semakin jauh, pokok sagu ditebang untuk industri bukan untuk dimakan. Tanpa prasangka apapun, kopi susu instan dilihat sebagai jalan keluar.
Diabetes anak melonjak 70 kali lipat
Baru-baru ini, Ikatan Dokter Anak Indonesia menyebutkan bahwa kasus diabetes anak melonjak hingga 70 kali lipat, dari 2010 hingga 2023, sebanyak 1.654 anak. Data ini diambil dari 15 kota besar, mulai dari Jakarta, Surabaya, Palembang hingga Medan.
Diabetes banyak dialami anak 10-14 tahun, namun angka yang berusia 0-4 tahun pun cukup tinggi (19%). Di tempat-tempat di mana daya beli tinggi dan industri makanan ultra proses begitu banal, kita mendapati banyak kasus anak mengalami obesitas dan diabetes.
Seperti kebakaran jenggot, media mulai ramai menyoroti jumlah kandungan gula pada makanan bayi yang selama minim regulasi. Mereka juga menyesalkan iklan fast food yang tidak ada kontrolnya. Selama ini, masyarakat tidak pernah tahu, konsumsi burger pada anak setara berapa gram gula.
Yuk, baca informasi nilai gizi
Barangkali kita sebagai orang tua harus membuat eksperimen kecil-kecilan. Mari pergi ke toko ritel terdekat, lalu dekati segala makanan pabrikan itu dan pelototin satu per satu informasi nilai gizi-nya. Aku pribadi kesal bukan main saat menyadari kandungan gula dan natrium di segala produk pangan pabrikan itu.
Ternyata, susu kotak rasa-rasa beragam merek yang katanya mengandung banyak protein itu menyimpan gula sukrosa setara dengan 2 sendok makan gula setiap 125 ml. Padahal kandungan protein susu hanya 5 gram saja, jauh lebih rendah dari sebutir telur yang bisa mengandung 13 gram protein.
Aku tercengang ketika mendapati fakta bahwa 100 gram teri nasi segar mengandung 972 mg kalsium. Jumlah ini hampir delapan kali lipat lebih banyak dari pada susu sapi yang mengandung 125 mg setiap 100 gram-nya. Jadi, kalau anak mau tinggi, mereka jangan hanya minum susu kotak rasa-rasa, tapi makan telur dan teri nasi.
Ini tentang politik pangan
Selama ini orang dewasa enggan memperlakukan asupan pangan secara politis. Apapun yang enak, kita sikat! Selama makanan itu nikmat, jarang sekali kita mempertimbangkan bahwa asupan kalori di tubuh manusia erat kaitannya dengan politik pangan.
Demikian pula dengan asupan gula dan natrium bagi anak-anak kita. Sebaiknya, semua makanan berpemanis itu harus diberi cukai. Dalam hal ini, aku tidak bisa tidak untuk mendukung pemerintah. Meski patut disayangkan bahwa regulasi seperti itu baru terpikirkan setelah kasus diabetes anak-anak melonjak.
Persoalan konsumsi pangan industrial tidak bisa semata-mata menyalahkan keputusan pembeli. Semisal, kalau tidak mau diabetes, ya tidak usah minum minuman kemasan. Bila nalarnya demikian, kita seperti sedang dipaksa berhadap-hadapan dengan badai.
Kita kan bukan warga pasar, tapi warga negara Indonesia. Jadi, sudah sewajarnya pemerintah mengatur seluruh produk olahan berpemanis. Selain itu, aku harap pemerintah juga menuntut keterbukaan pasar, termasuk fast food, supaya mereka memberi informasi kandungan gula dan garam di dalamnya.
Penulis: Ciptaningrat Larastiti
Editor: Amanatia Junda