MOJOK.CO – Topik mengenai perempuan dan digitalisasi nampaknya banyak menjadi sorotan internasional belakangan ini. Sejak ramai-ramai perhelatan G20 di Indonesia tahun lalu, salah satu agenda prioritas bidang pemberdayaan perempuan adalah upaya mengatasi kesenjangan digital bagi perempuan.
Persoalan ini dianggap krusial oleh dua puluh negara anggota forum ekonomi global. Tak hanya itu, topik mengenai perempuan dan digitalisasi ini juga dijadikan tema utama dalam International Women’s Day 2023. Selanjutnya, bahkan menjadi tema prioritas yang akan dibahas dalam forum internasional Commission on the Status of Women (CSW) ke-67. Memangnya, ada masalah apa sih dengan perempuan dan digitalisasi?
Kesenjangan digital
Kita mungkin familiar dengan anggapan umum bahwa perempuan itu lebih gaptek dari laki-laki. Pertanyaannya, kenapa? Tentu saja, saya keberatan jika jawabannya dibebankan pada inkompetensi perempuan belaka, karena pada hakikatnya ketidakmampuan ini adalah hasil dari satu proses struktural masyarakat yang patriarkis dan memarjinalkan perempuan.
Halah, perkara ibu-ibu gaptek aja kok sampe bawa-bawa patriarki segala, dari mana nyambungnya?
Sebelum saya dituduh lebay karena dikit-dikit nyalahin patriarki, ada runtutan logika yang perlu kita telusuri kembali dalam membedah fenomena ini untuk melihat bagaimana implikasi budaya yang telah dinormalisasi sepanjang lintas generasi bisa menjadi akar dari diskriminasi terhadap perempuan.
Sebelum seseorang bisa menggunakan dan mengeksplorasi fitur yang ada dalam satu perangkat teknologi, perangkat itu harus lebih dahulu dimiliki. Jika kita lihat data kepemilikian smartphone di Indonesia, berdasarkan survei statistik kesejahteraan rakyat BPS (2021), hanya 60,58% perempuan yang memiliki telepon seluler, dibandingkan dengan 71,12% laki-laki.
Artinya, ada kesenjangan sebesar 10.54% kepemilikan telepon seluler antara perempuan dan laki-laki. Kesenjangan ini tentu saja akan berbeda berdasarkan wilayah. Di perkotaan selisih kepemilikannya akan mengecil dan di pedesaan kesenjangan kepemilikan perangkat seluler semakin curam.
Kita harus berhenti melihat data sebagai informasi agregat dari pilihan individu atas satu situasi. Segala data perlu dielaborasi dengan pertanyaan: kok, bisa?
Rendahnya kepemilikan perempuan atas perangkat teknologi bukan kebetulan karena perempuan nggak mau beli smartphone, tapi mampukah penghasilan perempuan digunakan untuk membeli hape yang layak?
Mending ngisi bahan dapur, daripada beli gadget
Gapteknya ibu-ibu kita bukan semata-mata karena mereka nggak gaul, tapi karena mereka lebih memprioritaskan untuk beli sayur dan ikan pindang untuk makan siang anak-anaknya.
Kalau kita lihat, Survei BPS tahun 2020 menunjukkan bahwa perempuan memiliki penghasilan 23% lebih rendah dari laki-laki. Masalahnya, 23% lebih rendahnya itu “setiap bulan”, ya. Dari situ bisa kita bayangkan bahwa laki-laki punya kemampuan finansial yang lebih untuk menabung dan membeli barang-barang tersier untuk menunjang gaya hidup dan pengembangan dirinya.
Sementara, perempuan yang mendapat upah rendah dan cenderung bekerja pada sektor informal, memiliki prioritas yang berbeda dalam mengatur pengeluaran mereka. Akibatnya, perempuan cenderung membeli perangkat digital dengan biaya yang lebih rendah dan mendapatkan fitur yang berbeda dari gawainya. Itu juga baru ngomongin gadget, belum paket datanya yang seminggu nyala, seminggu mati.
Kalau pada akhirnya ibu-ibu kita mampu punya smartphone yang nggak canggih-canggih amat itu, ternyata masih ada hambatan struktural lain yang membuat relasi antara perempuan dan teknologi itu tidak mudah.
Hambatan struktural
Kita ambil satu perumpamaan, seorang ibu sehari-hari sibuk motekin sayur bayam. Suatu hari, ia dapat smartphone dari doorprize jalan sehat di kecamatan. Pertanyaannya, dalam 1 x 24 jam, apa yang mungkin ia lakukan dengan hape tersebut?
Jangankan mengkritisi sistem data dan privasi pengguna yang ditarik oleh aplikasi melalui pembacaan perilaku harian, ibu kita barangkali masih sibuk membiasakan jari-jarinya pada layar touchscreen. Jadi tolong maklumi, jika chat WhatsApp ibu kita terlampau banyak salah ketik dan terkadang membingungkan.
Dari sini kita bisa melihat bahwa digitalisasi itu bukan hanya mengenai kepemilikan perangkat, tetapi kecakapan, adaptabilitas, dan kemampuan kognitif untuk membangun struktur imaji tentang apa yang mungkin dilakukan dengan perangkat tersebut.
Tentunya, dibutuhkan penyesuaian dan waktu untuk mempelajarinya. Menemukan tombol back, lock, maupun mengambil gambar melalui kamera mungkin bisa dipelajari dalam waktu singkat. Namun, memahami semesta digital beserta logika berpikir dan implikasinya, dibutuhkan proses interaksi dan pembiasaan bertahun-tahun.
Jika memang demikian, bukankah semua orang perlu waktu untuk belajar dan beradaptasi dengan teknologi? Baik laki-laki maupun perempuan? Lantas, di mana bentuk diskriminasinya?
Perempuan kerja domestik 3x lebih banyak dari laki-laki
Persoalan adaptabilitas dan literasi tentu akan terkait dengan kesediaan waktu untuk belajar dan membiasakan diri terhadap fitur-fitur yang ditawarkan. Kalau ibu-ibu kita harus selalu menanggung pekerjaan domestik dalam proporsi yang lebih banyak dari laki-laki, tentu saja kesediaan waktu luangnya jadi terbatas.
Sebelum sayur bening itu tersaji di atas meja, ada bawang merah yang perlu dikupas, jagung yang perlu dipipil, bayam yang perlu dipetik, dan sambal terasi yang perlu diuleg.
Stereotipe budaya patriarki yang dinormalisasi seolah menempatkan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga.
Data UN Women menunjukkan bahwa perempuan menghabiskan tiga kali lebih banyak waktu untuk melakukan pekerjaan domestik dan perawatan keluarga dibandingkan laki-laki. Konstruksi sosial dan budaya yang selama ini kita anggap wajar, ternyata membatasi perempuan dari potensi pengembangan yang bermanfaat bagi dirinya.
Hambatan sosio-kultural
Selain kepemilikan perangkat dan kesediaan waktu luang, masih ada hambatan sosio-kultural yang dihadapi perempuan saat berinteraksi dengan teknologi.
Kita mungkin sering mendengar racauan seksis yang sering dilontarkan macam: “Ibunya kebanyakan main handphone, anaknya nggak keurus” atau “rumah berantakan, pasti ibunya seharian main handphone mulu”. Ada stigma negatif yang ditanamkan oleh masyarakat saat perempuan mengalokasikan terlalu banyak waktu untuk berinteraksi dengan teknologi.
Riset yang dilakukan oleh Lestari dan Sunarto (2018) melihat bahwa penggunaan teknologi di dalam keluarga adalah cermin dari ketimpangan relasi kuasa, sebagaimana bisa kita lihat bahwa teknologi yang dinormalkan bagi perempuan adalah yang berkaitan dengan peran domestiknya seperti mesin penanak nasi atau mixer. Sementara smartphone yang diidentikkan dengan proses interaksi dengan dunia luar dan bersifat publik, dianggap bukan domain perempuan.
Wendy Faulkner (2001) menyebut stigma teknologi sebagai sesuatu yang maskulin, membuat sebagian perempuan enggan untuk “bermain dengan mainan laki-laki”.
Stigma buruk ini kemudian diinternalisasi oleh perempuan dan menjadi salah satu pemicu technophobia pada perempuan. Kecemasan yang muncul pada perempuan hasil dari stigma sosial yang ia terima saat menggunakan gawai.
Wendy Faulkner (2001) menyebut bahwa pada awal kemunculannya, teknologi dianggap sebagai perpanjangan dari hasrat laki-laki atas kontrol, karena terikat dengan struktur dan cara pandang dunia yang maskulin.
Privilese ada di perempuan muda urban
Tapi tentu saja, saya tidak akan menggeneralisasi bahwa kondisi ini dialami oleh semua perempuan. Banyak perempuan muda di perkotaan yang sudah sangat mahir menguasai beragam fitur teknologi, beberapa bahkan bekerja di perusahaan-perusahaan teknologi informasi.
Namun, perlu disadari bahwa privilese ini tidak dimiliki semua perempuan. Akses pendidikan, lokasi geografis, kemampuan finansial, dan kultur masyarakat yang beragam membuat perempuan menghadapi situasi khusus yang tidak dapat digeneralisasi.
Bentuk penindasan yang berbeda akan memerlukan pendekatan interseksional yang berbeda pula untuk memahaminya. Perempuan kelas menengah yang biasa gonta-ganti gawai setiap tahun dan memiliki pekerja rumah tangga untuk mengurusi pekerjaan domestiknya, barangkali tidak menemui persoalan yang sama.
Akan tetapi, mereka rentan berhadapan dengan kekerasan berbasis gender online, atau terjebak pada fenomena glass ceiling pada perusahaan berbasis teknologi.
Selama struktur sosial masih merepresi perempuan dari potensi pengembangan diri dan teknologi informasi masih didesain dengan cara pandang yang maskulin, perempuan selamanya tidak akan mendapat kesempatan dan manfaat yang sama dari kemajuan teknologi.
Penting juga untuk kita berperan mengikis hambatan dan penindasan yang berlapis bagi perempuan di bidang teknologi. Misalnya, kalau ibumu lagi nyobain aplikasi yang ada di handphone, tolong didampingi agar proses belajarnya produktif. Bukannya malah disuruh berhenti buat angetin sayur. Kalau ibumu putus asa nanti handphone hadiah jalan sehatnya malah dijual ke tetangga buat tambahan lauk besok sore.
Penulis: Permata Ariani
Editor: Amanatia Junda