Yang saya rasakan setelah menungganginya
Setelah menjajalnya Yamaha XSR 155, ada beberapa catatan saya selaku penjajal motor tingkat pemula.
Pertama, dengan jok yang lumayan tinggi, 81 sentimeter dari permukaan tanah, kedua kaki masih bisa menyentuh tanah, meski agak berjinjit. Artinya, hanya orang dengan tinggi badan 165 sentimeter ke atas saja yang bisa mengemudikannya dengan aman dan nyaman.
Mirip syarat tinggi badan minimal untuk masuk kepolisian. Syarat lain masuk ke situ kita semua sama-sama tahu; rajin membaca jadi pintar, malas membaca jadi awikwokwikwok.
Kedua, mungkin karena sehari-hari terbiasa dengan Supra X 125, handling Yamaha XSR 155 ini lumayan enak, nurut, dan tidak bikin capek. Stangnya tidak terlalu rendah, sehingga posisi pengemudi tidak terlalu menunduk. Posisi kaki di persneling dan rem juga pas dan nyaman. Jarak kopling dan rem dengan jemari tangan terasa pas. Koplingnya enteng. Suspensinya sendiri terasa empuk di jalanan yang tidak rata.
Ketiga, mengenai akselerasi. Transmisi Yamaha XSR 155 itu manual dengan 6 kecepatan. Sangat menggiurkan untuk diajak lari. Namun, sayangnya, jalanan Jogja itu pendek. Makanya, saya hanya cuma sempat sedikit saja menjajal kemampuan motor ini.
Beberapa kali menggeber, saya cuma sampai gigi 3 saja. Itu saja sudah bisa mencapai kecepatan 80 sampai 90 km/jam dalam hitungan beberapa detik. Memang agak sulit menguji akselerasi maksimal XSR 155 sampai masuk gigi 5 atau 6 dengan kondisi jalanan di Jogja, bahkan di Ring Road sekalipun.
Motor yang nggak punya standar ganda kayak politikus
Keempat, untuk jenis motor seperti Yamaha XSR 155 atau motor sport lainnya, agak sulit untuk membawa tas atau barang bawaan. Bandingkan dengan jenis motor matik atau Vespa di mana kita bisa menaruh barang bawaan lumayan besar dan berat di bagian depan bawah dekat kaki pengemudi.
Makanya, motor ini tidak untuk mereka yang mengemudikan motor sambil menggendong tas ransel, apalagi yang berat. Jadi, mengendarai XSR 155, paling ideal cukup mengenakan jaket dengan tas selempang kecil.
Kelima, XSR 155 ini tidak memiliki gantungan helm. Selama parkir, paling-paling helm digantungkan di spion atau ditaruh begitu saja di atas jok. Syukurlah di Jogja ini tidak banyak berkeliaran maling-maling helm. Para petugas parkirnya pun relatif masih ramah dan bersahabat. Kayaknya….
Keenam, ternyata XSR 155 tidak punya kick starter atau starter manual. Bagaimana kalau electric starter macet atau aki soak? Barangkali saya ketinggalan zaman. Mungkin memang sekarang ini tren motor semua tanpa kick starter. Jadi konsekuensinya, kita harus rajin-rajin memeriksa indikator aki.
Ketujuh, saya juga baru tahu kalau ternyata Yamaha XSR 155 ini tidak dibekali standar tengah atau standar ganda. Mungkin untuk pertimbangan keselamatan saat berada di jalan raya.
Untuk motor sport, kalau ada standar gandanya, saat menikung dan merebah ada kemungkinan akan bergesekan dengan aspal dan malah berbahaya. Jadi, terpaksalah kalau parkir selalu pakai standar samping yang tidak begitu stabil dan kadang jadi banyak makan tempat.
Agaknya, tidak adanya standar ganda ini juga menjadi satu keunggulan mengingat belakangan ini banyak yang memakai standar ganda. Misalnya, dahulu menolak dinasti politik karena merusak demokrasi, eh sekarang malah mendukung dan memberi jalan. Misalnya, dahulu menolak capres karena merupakan pelaku pelanggaran HAM berat, eh sekarang malah ikut mengusungnya. Senyumin aja.
Rute yang saya lahap di Jogja bersama Yamaha XSR 155
Terakhir, kedelapan, mengenai konsumsi bensin. Rute yang saya tempuh selama 4 hari berturut-turut, kurang lebih sebagai berikut:
Hari pertama, Warung Bu Komang —> keliling Malioboro —> Oseng Mercon Bu Narti. Hari kedua, sarapan Sego Empal Bu Warno + Es Dawet Mbah Hari di Pasar Beringharjo —> Galeria Mall —> rawon dan rujak cingur di Soto Surabaya Ayam Kampung di Jakal km 6 —> Sekolah Politik Akademi Bahagia EA di Ngebo, Sleman —> Yammie Pathuk Kemetiran Kidul.
Hari ketiga, sarapan Nasi Soto Pites Mbah Galak + jajan Jenang Bu Darmini di Pasar Beringharjo —> Akal Buku + Mima Cat Shop —> mangut Kopi Bukan Luwak —> Buku Akik —> Rumah Berdikari Book and Coffee —> Warung Sastra Buku Kopi Penyetan —> Kedai Bumijo.
Hari keempat, Soto Semarang Cipto Roso —> Biennale Jogja 17 Taman Budaya Yogyakarta —> Bawa Buku + Arka Coffee Space —> Soto + Brongkos Pasar Ngasem —> Plaza Malioboro (Malioboro Mall) —> Yammie Pathuk Kemetiran Kidul —> Stasiun Tugu.
Lebih ekonomis
Dengan rute mengunjungi lebih dari 20 titik literasi, kuliner, dan wisata itu semua, hanya sekali saja saya mengisi bensin. Itu pun cuma sebesar Rp50 ribu. Artinya, jika harga Pertamax Rp13.400/liter, maka dengan Rp50.000 saya mendapat 3,73 liter bensin.
Kalau dihitung-hitung dengan biaya sewa motor 4 hari x @Rp125.000 + bensin Rp50,000 = Rp550.000. Menyewa Yamaha XSR 155 Masih lebih ekonomis ketimbang layanan ojol. Semua itu sepadan dengan kebahagiaan bertemu banyak kawan, kesenangan mengunjungi tempat-tempat baru, dan kegembiraan menjajal motor idaman di hari-hari yang penuh dengan baliho-baliho partai dan tampang-tampang mereka yang akan menggusur dan menjarah uang kita. Awikwokwikwok.
Penulis: Bilven Riwaldo Gultom
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Yamaha Vixion: Motor yang Mudah Dicintai dan Bikin Nyaman Pengendaranya dan pengalaman menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.