Dampaknya di Indonesia
Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terdampak buruk. Banyak perusahaan gulung tikar secepat pedagang kaki 5 dikejar Satpol PP. Pada sektor otomotif, Indomobil yang saat itu memegang lisensi Suzuki kena dampak paling buruk ketimbang perusahaan otomotif lain.
Sekalipun penjualan motor Suzuki saat itu terbilang bagus, Indomobil yang dimiliki taipan Sudono Salim ternyata punya segunung utang. Celakanya lagi utang rersebut sebentar lagi jatuh tempo.
Nilai tukar rupiah yang remuk membikin utang Indomobil tak tertangani. Kondisi ini memaksanya untuk memohon bantuan pada induk perusahaan Suzuki di Jepang sana.
Kejatuhan Indomobil membuat Suzuki memindahkan seluruh pusat riset dan pengembangan produknya ke India. Maka, inilah awal mula era kelam motor Suzuki di Indonesia.
Dampak yang langsung terlihat mata adalah mulai berseliwerannya motor Suzuki dengan desain yang menyalahi selera orang Indonesia. Akibatnya, sedikit sekali orang yang sudi membeli motor senorak Suzuki. alhasi, penjualannya menukik seekstrem penerjun payung yang lupa caranya membuka parasut.
Yamaha, mestinya mengalungkan bunga ke leher George Soros. Kejatuhan Suzuki di Indonesia membuka peluang Yamaha untuk merangsek naik menguasai pasar. Ini jelas sulit bahkan agak mustahil terjadi sebelum krisis.
Dengan cepat Yamaha mempensiunkan mesin kondang 2-tak miliknya untuk fokus beralih ke mesin 4 langkah. Sebagai permulaan, pada tahun 2000, Yamaha meluncurkan Jupiter, bebek 110 cc bermesin 4-tak yang desainnya anak muda banget. Pasar meresponsnya dengan positif.
Namun, game changer yang sebenarnya baru meluncur 3 tahun kemudian. Adalah kehadiran Yamaha Mio, yang bukan hanya membenamkan Suzuki, melainkan juga mengubah selera konsumen Indonesia terhadap sepeda motor hingga hari ini.
Yamaha Mio, motor kecil yang berdampak besar
Sebenarnya Yamaha telah meluncurkan motor matik pertamanya pada 2002 dengan nama Yamaha Nouvo. Namun, motor ini mendapat sambutan dingin dari konsumen.
Dugaan saya, ini karena oleh perpaduan antara desain yang aneh, sistem transmisi yang belum benar-benar otomatis, dan target pasar tidak jelas.
Pokoknya, Nouvo bernasib sama seperti F1Z-R dan RX-King. Ketiganya memble di penjualan, tapi jadi buruan kolektor belasan tahun kemudian.
Setahun berselang, Yamaha kembali dengan matik anyar dan strategi yang lebih tokcer. Target pasar Yamaha Mio adalah perempuan. Ini adalah strategi yang benar-benar brilian. Pasalnya, sampai saat itu, belum ada pabrikan yang mendesain khusus untuk kaum hawa.
Pabrikan lain masih berpikir bahwa sepeda motor adalah mainan kaum pria belaka. Makanya muncul istilah “motor cowok” untuk semua motor berkopling di kategori sport.
Kebetulan juga komposisi demografi Indonesia saat itu lebih banyak perempuan. Maka, mumpung momennya pas, meluncur sebuah matik baru bernama Yamaha Mio.
Semua hal pada Yamaha Mio memang ditujukan untuk perempuan. Ukurannya yang lebih mungil ketimbang motor bebek sangat cocok untuk postur rata-rata wanita Indonesia.
Transmisi Yamaha Mio yang benar-benar otomatis akan sangat memudahkan perempuan yang cuma tahu cara ngegas dan ngerem. Desain flat deck yang mirip Vespa membebaskan perempuan dari rasa cemas ketika memakai busana ketat seperti kebaya.
Bentuk dan pilihan warnanya, ya ampun, lucu banget! Seingat saya, saat itu belum ada motor yang berwarna kuning ngejreng dari pabrikannya selain Yamaha Mio.
Yamaha Mio meledak di pasar Indonesia
Kata “laris” tampak terlalu meremehkan pencapaian Yamaha Mio kala itu. Saya ingat betul teman-teman saya, yang saat itu masih berseragam SMP, menginginkan Mio sebesar keinginan mereka untuk mendapat cowok cakep.
Saban hari mobil dealer Yamaha wara-wiri membelah jalanan desa saya dengan Yamaha Mio di bak belakangnya. Seperti TV, punya Mio saat itu seperti tanda keberadaban.
Satu dealer Yamaha di kecamatan saya yang dulu sesepi toko barang antik saat itu sampai kewalahan menangani pesanan. Maka, berdirilah 2 dealer baru, dan ketiganya menjadi jujugan orang-orang sekecamatan saya yang dahaga akan tren.
Yamaha Mio menyaingi populasi “Supra Bapak” di jalanan. Semua orang tahu, tinggal menunggu waktu belaka untuk “Supra Bapak” menemui ajal penjualan.
Supra dan motor bebek lainnya masih perkasa dalam hal efisiensi bahan bakar. Mio karbu, kita tahu, menenggak bensin selahap orang berbuka ketika ditawari es teh. Tapi, orang-orang rela menukar efisiensi bahan bakar dengan desain catchy dan kepraktisan. Pada dua hal itu, Supra Bapak dan motor lain sezaman cuma bisa nangis di pojokan.
Yamaha semakin tak terbendung ketika meluncurkan versi kedua Mio yang lebih cakep. Ini demi menyasar konsumen pria yang tampak agak gengsi memakai Yamaha Mio dengan label “motor cewek”. Maka, mereka meluncurkan Mio versi maskulin bertajuk Mio Soul pada 2007.
Kombinasi kedua Mio ini mengerek Yamaha ke puncak klasemen. Mereka berhasil mengangkangi Honda yang sibuk merenungi Vario generasi pertama yang gagal bersaing.
Ketularan cuan
Kesuksesan Yamaha Mio menular pada motor Yamaha lain yang meluncur setelahnya. Vega, menjadi pesaing serius Honda Supra Fit di segmen bebek entry level. Lalu, saat itu banyak anak muda yang ogah menunggangi Supra X, memburu Jupiter-Z.
Jupiter MX menjadi bebek super untuk konsumen yang menyukai kecepatan. Dan V-ixion membuat Honda Mega Pro tampak seperti motor dari era awal era Revolusi Industri.
Intinya, Yamaha saat itu menikmati masa bulan madu yang indah. Inilah masa penuh kejayaan yang tak pernah terjadi sebelumnya dan itu dimulai dari kemunculan si kecil Yamaha Mio.
Para pesaing seperti Vario dan Spin muncul untuk merebut tahta penjualan. Namun, kehadiran keduanya seperti kehadiran ikan kecil di kolam besar berisi predator veteran. Posisi Mio dan Yamaha tak tergeser dari singgasana.
Namun, kita tahu bahwa tak ada bulan madu yang tak selesai.
Rencana menghapus sang legenda
Sampai sekarang saya tidak bisa benar-benar tahu apa yang membikin pamor Yamaha Mio meredup ke level yang mengherankan. Namun, kalau mau meringkasnya dalam 2 variabel, keterpurukan Mio terjadi karena faktor internal Yamaha sendiri dan faktor eksternal yang berkaitan dengan kompetitor abadinya.
Sejak kemunculan Yamaha Mio J pada tahun 2012, bahasa desain skutik mungil tersebut mengalami perubahan signifikan. Mio bukanlah motor elegan yang cocok dipakai wanita segala usia. Ia sudah menjadi motor berdesain serba lancip yang cuma pantas ditunggangi cewek berjiwa sporty. Bahasa desain ini terus dipakai oleh seri Mio lainnya, seperti Mio GT, Mio M3, Mio Z, Mio S, dan Mio Gear.
Perubahan bahasa desain ini tentu saja berpengaruh pada cakupan pasar yang dituju. Dulu, ibu-ibu paruh baya bisa saja mengidamkan Mio sebesar keinginannya untuk dapat arisan saban bulan.
Namun, sejak era Mio J, wanita di usia demikian yang mendambakan ketenangan dan stabilitas hidup bakal berpikir 2 kali. Mau menunggangi motor berdesain sporty yang beririsan makna dengan petakilan? Nanti dulu.
Di sisi lain, Honda berhasil menciptakan kompetitor serius untuk menggantikan posisi Vario yang gagal total. Pada 2008, Honda Beat resmi meluncur ke pasaran.
Tidak seperti Mio series yang kehilangan hasrat untuk berinovasi, Honda Beat semakin baik seiring waktu. Ia punya lampu utama LED, idling start-stop, combi brake system, anti-theft alarm, dan panel speedometer digital. Yamaha Mio M3 terbaru tidak memiliki fitur-fitur tersebut. Padahal keduanya punya harga yang relatif sama.
Maka, tak usah heran ketika Honda Beat merajai segmen pasar matik entry level. Pada 2017 saja, Honda Beat terjual 6 kali lipat lebih banyak ketimbang Yamaha Mio M3. Bahkan, Yamaha N-Max yang punya banderol 2 kali lipat lebih mahal bisa terjual lebih banyak ketimbang matik mungil tersebut.
Berharap Yamaha Mio bisa bangkit
Sampai tulisan ini selesai saya buat, Yamaha Mio M3 belum mendapat penyegaran selain perubahan striping dan warna. Yamaha tampaknya sudah legawa untuk melepas segmen entry level ke tangan Honda.
Bahkan, selentingan kabar mengatakan bahwa Yamaha berniat menghapus jenama Yamaha Mio untuk fokus membesarkan Gear. Gear adala seri matik murah kaya fitur yang punya banderol Rp3 juta lebih mahal ketimbang Mio M3.
Mungkin juga Yamaha ingin berfokus saja di seri Maxi. NMAX dan Aerox punya catatan penjualan yang lebih mengilap ketimbang jajaran matik murah miliknya. Kedua motor tersebut masih menjadi penguasa pasar di segmen matik Rp30-an juta.
Ketimbang membagi sumber daya untuk mengurusi Yamaha Mio yang seperti tak punya harapan, mending fokus saja mempertahankan dominasi di seri Maxi. Begitu mungkin yang dipikirkan direksi Yamaha.
Saya masih berharap Yamaha Mio bisa bangkit lagi. Bagaimanapun, Mio adalah motor bersejarah yang membuka era skutik di Indonesia.
Namun, jika Yamaha punya keputusan lain, apa lagi yang bisa saya lakukan selain mengenang hari-hari menyenangkan bersama Mio karbu dan mengucapkan terima kasih atas keberadaannya?
Penulis: Mita Idhatul Khumaidah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Mio Soul Karbu, Matic Paling Bertenaga di Kelasnya, tapi Borosnya Minta Ampun dan catatan menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.












