MOJOK.CO – Impresi pertama ketika duduk di kursi kemudi Toyota Yaris S ini sungguh mencengangkan. Semacam biasa aja, tapi terasa lebih enak. Mungkin karena bentuk dan ukurannya sesuai dengan postur tubuh saya yang memang tidak terlalu tinggi.
Dalam kancah pernyetiran, saya mungkin tergolong manusia yang apes sekaligus beruntung. Apes, karena baru tahun lalu mendapat hidayah untuk mau belajar nyetir mobil di usia yang sudah memasuki fase ‘remaja akhir’. Menjadi beruntung, karena belajarnya langsung pakai Toyota Yaris, sebuah mobil yang cukup bergengsi—bagi saya. Meski si dia  keluaran tahun 2010, tetapi tetap oke lah. Ya jelas oke, daripada belajarnya pakai yang keluaran 2019 tapi kereta kelinci. Iya, kan?
Mohon maaf sekadar mengingatkan, bagi nak-kanak generasi lama, Toyota Yaris ini biasa diasosiasikan sebagai mobil yang cukup mewah namun relatif terjangkau. Selain itu, pecinta sepakbola mana yang tidak mengenal si Yaris? Seorang gelandang yang terkenal lugas, enerjik, dan lumayan ganteng. Eh tunggu sebentar, itu Yaris Riyadi, ding. Oke skip. Next.
Sejatinya, andai bukan karena istri saya yang merengek supaya saya mau belajar nyetir, niscaya dunia takkan pernah lagi melihat seorang Is belajar nyetir. Sebetulnya, bagi saya nggak mau belajar nyetir ini perkara prinsip. Saya termasuk orang yang menentang adanya pandangan kolektif informal bahwa seorang laki-laki wajib bisa nyetir.
Tapi, ya bagaimana lagi? Memang di situlah letak kekuatan seorang wanita: kalau setelannya pas, dia bisa mengubah si lelakinya. Ingat, di belakang lelaki hebat ada seorang wanita yang hebat. Semakin banyak wanita hebat di belakangnya, lelakinya juga semakin punya banyak kehebatan. Eh.
Oke, kita kembali lagi soal Toyota Yaris. Mobil Yaris yang saya pakai untuk belajar nyetir ini merupakan tipe S terbitan 2010. Terbeli seken dengan kondisi tak kurang dari 85-an persen masih oke. Cukup mulus luar dalam. Silinder mesinnya juga lumayan, 1497 cc. Fitur-fiturnya pun terbilang jos untuk kategori hatchback tahun segitu. Rodanya empat, lagi. Gilak, keren banget, kan?
Selain itu, harga seken mobil ini lumayan ngirit, nggak sampai separuh dari sepeda motor Harley Davidson Street 500 gres yang harganya mencapai 320-an juta itu. Padahal, sebagai perbandingan, Street 500 cuma bermesin 494 cc, mana rodanya cuma dua lagi! Sungguh sebuah perbandingan yang tidak apple to apple, bukan?
Ehm, sengaja, sih, supaya kalian-kalian ini pada sadar bahwa kegemaran membanding-bandingkan itu adalah kebiasaan yang tercela. Maka, segera bertaubatlah, Wahai manusia~
Impresi pertama ketika duduk di kursi kemudi Toyota Yaris S ini, sungguh mencengangkan. Semacam biasa aja, tapi terasa lebih enak. Mungkin karena bentuk dan ukurannya sesuai dengan postur tubuh saya yang memang pendek tidak terlalu tinggi untuk ukuran lelaki. Tentu saja, hal ini akan berbeda jika yang saya kemudikan adalah mobil-mobil SUV berukuran raksasa.
Hal lain yang menarik, kemudinya pun empuk sekali bahkan bagi pemula sekelas saya. Terutama jika dibandingkan Xenia yang pernah saya coba di tempat kursus mobil yang saya ikuti belakangan. Ataupun mobil Avanza maupun Gran Max yang sempat saya coba di tempat-tempat kerja sesudahnya. Selain dikarenakan faktor power steering, mungkin perkara bobot dan bentuk mobil juga berpengaruh, kali ya. Sehingga ketika membelok atau berputar setelah didahului kecepatan 10-30 km/jam, bawaannya masih halus. Entah memang dari sananya sudah didesain seperti tiu atau sekadar terpengaruh aura kelembutan dari yang mengemudikannya. Sampai saat ini, saya belum juga menemukan jawabannya.
Sebenarnya membandingkan Toyota Yaris dengan trio Xenia, Avanza, dan Gran Max jelas tidak apple to apple. Tipenya saja sudah berbeda. Dua yang pertama jelas-jelas tipe MPV. Sedangkan Gran Max—mungkin—bisa digolongkan dalam tipe van. Sementara si Toyota Yaris ini konon termasuk kumpulan hatchback yang cukup mewah di kelas—dan zaman—nya. Jadi, secara setelan dan kenyamanan jelas mereka berbeda dan tak bisa disamakan.
Seperti yang sering di-review orang soal mobil hatchback yang berkelas, maka mengemudikan Yaris ini memang perlu kepekaan tersendiri. Harus penuh perasaan. Jika rukun dan syarat ketepatan waktu, perpindahan persneling dan perlakuan lain terhadapnya tepat, niscaya menyetir Yaris mendatangkan kelezatan tak terkira. Sungguh artistik, bahkan romantis. Intinya, sangat membantu agar seorang pemula bisa dengan cepat mampu menyetir dan mengenali karakter mobil manual.
Oh iya, jika masih kekeuh pengin main banding-bandingan, perbandingan yang lebih setara dengan Toyota Yaris mungkin adalah Honda Jazz. Dari tahun ke tahun, edisi ke edisi, keduanya selalu bersaing. Semacam derby de la hatchback, gitu. Pasalnya keduanya sama-sama hatchback dengan kisaran kapasitas, fitur, dan harga yang sama.
Sebetulnya, saya sih masih belum pernah nyetir Honda Jazz. Seringnya cuma sebatas numpang doang. Namun kalau dirasa-rasain secara umum, kondisinya 11-12 lah dengan si Toyota Yaris. Ya, gimana nggak? Lha wong mereka berada di satu kelas yang sama.
Mengendarai Yaris ini sungguh membuat saya merasa nyaman. Ada nuansa romantis yang saya rasakan setiap mengendarainya berkeliling, baik sekadar untuk latihan atau memanaskannya. Seringkali saya berangan-angan, alangkah romantisnya jika saya bisa mengemudikannya berduaan dengan kekasih. Namun angan itu saya usir cepat-cepat, ketika mengingat saat ini saya sudah beranak tiga. Rasa-rasanya kok hampir tidak mungkin, saya bisa bermobil hanya berdua dengan nyonya tanpa membawa tiga bocah ajaib titipan Tuhan itu.
Iya, mobil ini memang lebih sering saya pakai—hanya—ketika pergi sekeluarga. Sedangkan untuk berangkat kerja, saya lebih senang mengandalkan sepeda motor saja. Pasalnya, saya ini kan asli dari pedalaman belantara Kalimantan sana. Sekian tahun hidup di Surabaya masih juga belum dapat memusnakan salah satu kelemahan mendasar saya: tak tahan macet.
Macet memang menjadi sesuatu yang haram terjadi di kampung halaman saya—yang jalanannya hanya ramai sampai sekitar pukul setengah tujuh pagi hingga delapan pagi dan jam empat sore hingga delapan sore. Itupun, seramai-ramainnya jalan, mirip seperti Surabaya di H+1 Lebaran. Lancar jaya, bleh!
Dengan alasan inilah, maka untuk sehari-hari saya lebih memilih mengendarai motor. Enak, bisa nyempil-nyempil di tengah kemacetan sambil ngece para pengemudi mobil mewah yang hanya bisa ngedumel tanpa daya. Sebuah kemewahan yang tidak diberikan Tuhan untuk para pengendara mobil.
Si Toyota Yaris ini memang tidak seglamor Pajero, Fortuner, maupun Mini Cooper. Ia juga tidak bertampang segahar Xpander, CRV, atau CX-5. Namun bagi saya—seorang pemula—yang menganggumi SUV papan atas ini, bisa berkenalan dengan Yaris yang mungil namun akrobatik adalah sebuah berkah tersendiri. Meskipun sebetulnya, alasan utamanya karena si Yaris ini mobil kesayangan mertua. Manalah saya berani mengolok-oloknya.