MOJOK.CO – Kalau kelak rezeki cukup, saya akan beli lagi mobil itu—Toyota Corolla 76, warna cokelat susu, untuk bapak.
Ada satu mobil yang nggak akan pernah saya lupakan, meskipun sekarang ia sudah berpindah tangan. Bukan karena harganya yang mahal, bukan pula karena mesinnya yang bandel. Di balik jok usang dan stir yang getarannya khas itu, ada potongan hidup saya yang paling hangat. Adalah Toyota Corolla 76, mobil pertama yang bikin saya bisa nyetir dan juga mobil yang paling sering jadi saksi kebersamaan saya dengan bapak.
Saya masih kelas satu SMP waktu bapak membeli mobil itu. Warnanya cokelat susu, agak pudar di beberapa bagian. Bapak dapat Toyota Corolla 76 dari makelar di Kulon Progo.
Saya masih ingat betul. Hari itu bapak pulang dengan wajah semringah. Katanya, “Barange tuo, tapi mesine sehat. Koyo Bapak,” sambil terkekeh. Toyota Corolla 76 itu langsung diparkir di garasi. Sejak hari itu, ia jadi bagian dari keluarga.
Toyota Corolla 76 bukan mobil sembarangan
Mobil ini, Corolla keluaran 1976, bukan mobil sembarangan pada masanya. Kalau kalian perhatikan film-film Rhoma Irama era 80-an, Toyota Corolla 76 sering muncul jadi properti film. Kadang jadi taksi, kadang jadi mobil tokoh figuran yang melintas.
Dan memang, Corolla 76 ini dulunya populer sebagai armada taksi. Wajar saja modelnya gagah, bandel, dan mesinnya dikenal awet. Masyarakat mengenalnya sebagai mobil pekerja keras. Maka dari itu, ketika bapak membelinya, ada rasa bangga dan nostalgia sekaligus. Seakan-akan kami sedang membawa pulang potongan sejarah jalanan kota.
Dan dari mobil ini pula, saya pelan-pelan jatuh cinta pada hal-hal yang berbau vintage. Dari motor klasik, selera musik yang nggak pernah jauh-jauh dari Panbers, Koes Plus, dan D’lloyd, sampai gaya rambut yang sengaja saya sisir klimis pakai minyak rambut tua yang wanginya khas warung barbershop zaman dulu. Bahkan cara saya berpakaian pun sedikit banyak dipengaruhi mobil ini.
Belajar mengemudi
Setiap hari Minggu, bapak biasanya mengajak saya jalan-jalan sore. Keliling kota kecil kami sambil muter kaset Panbers atau Koes Plus. Lagu “Akhir Cinta” atau “Manis dan Sayang” selalu jadi langganan.
Bapak nyetir, saya duduk di samping sambil merhatiin cara dia pindah gigi. Kadang kami diam lama-lama, hanya ditemani suara kaset dan angin sore. Tapi rasanya, itu lebih dari cukup. Kehangatan yang nggak bisa dibeli dengan uang.
Toyota Corolla 76 itu juga yang saya pakai untuk belajar mengemudi. Waktu itu saya SMA, dan bapak dengan sabarnya ngajarin saya di lapangan kosong dekat rumah. Berkali-kali mesin mati mendadak, berkali-kali saya panik karena lupa lepas rem tangan, tapi Bapak nggak pernah marah. Dia cuma ketawa kecil, lalu bilang, “Alon-alon wae, digoleki selone.”
Kenangan mendebarkan bersama bapak
Tapi dari semua kenangan bersama mobil itu, ada satu yang paling dramatis. Waktu itu saya terbangun dari tidur karena kehebohan orang rumah. Tahun 2010, waktu Jogja diguncang gempa besar dan Merapi memuntahkan amarahnya.
Langit gelap, debu vulkanik kayak kabut tebal nutupin jalanan. Kami dapat kabar kalau simbah di Maguwo, Sleman, perlu dievakuasi. Jalan utama ke arah Jogja putus. Jembatan ambrol, listrik mati, sinyal hilang.
Tanpa pikir panjang, bapak mengambil kunci mobil. Saya ikut duduk di samping, dan kami menerobos malam yang pekat dengan lampu depan yang temaram.
Jalan alternatif kami ambil, melewati sawah, sungai kecil, dan tanjakan yang bikin jantung saya berdebar kencang. Di tengah perjalanan, abu vulkanik turun kayak hujan salju. Wiper tua Toyota Corolla 76 itu bekerja keras sambil terus melaju. Rasanya kayak adegan film-film lawas. Epik, tapi juga ngeri.
Kami sampai di Maguwo hampir subuh. Simbah sudah siap dengan tas kecil. Tanpa banyak kata, mereka masuk mobil, dan kami putar balik menuju Wonosobo.
Di jalan, Bapak nggak banyak bicara. Tapi saya tahu, di balik setir yang digenggam erat itu, ada rasa cemas, takut, tapi juga tanggung jawab yang besar. Dan saya ada di sana, menjadi saksi bahwa cinta keluarga kadang bentuknya bisa berupa mobil tua yang tetap berjalan meski semua terasa genting.
Berpisah dengan Toyota Corolla 76
Lalu datang pandemi. Masa yang bikin banyak hal terhenti. Termasuk mimpi saya untuk mempertahankan Toyota Corolla 76.
Uang kuliah harus dibayar, dan keluarga kami bukan keluarga yang bisa dengan enteng mencetak rupiah. Maka, dengan berat hati, Corolla 76 itu dijual.
Saya ingat saat bapak nyalakan mesinnya untuk terakhir kali. Wajahnya biasa saja, tapi saya tahu, di balik diamnya, ada perpisahan yang sedang dia telan perlahan.
Sampai sekarang, tiap kali saya dengar lagu-lagu Panbers atau Koes Plus, saya bisa langsung membayangkan duduk di kursi penumpang mobil itu. Bau joknya, suara kaset yang kadang kemresek, atau tangan bapak yang mantap memutar setir.
Saya janji sama diri saya sendiri. Kalau kelak rezeki cukup, saya akan beli lagi mobil itu—Toyota Corolla 76, warna cokelat susu. Lalu, saya akan menyerahkan kunci mobil ke bapak, lengkap dengan kaset lawas di dashboard. Supaya kami bisa keliling kota kecil kami lagi, seperti dulu.
Mungkin kami tak akan secepat dulu. Mungkin joknya sudah makin keras dan AC-nya tinggal angin semilir. Tapi saya tahu, sepanjang lagu “Cinta dan Permata” masih bisa diputar, kami tidak benar-benar kehilangan apa-apa.
Penulis: Bayu Adhilaksono
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Toyota Corolla DX, Mobil Tua Idaman Generasi Muda dan kenangan manis lainnya di rubrik OTOMOJOK.