MOJOK.CO – Kata orang, Toyota Agya itu irit banget. Setelah merasakannya sendiri, kata orang itu ada benarnya. Apalagi kalau sambil digendong truk towing.
Sebagai pasangan yang belum berniat menyetir mobil, saya dan suami tengah memetik kebaikan dari sikap konsisten menjalin persaudaraan dengan kerabat dekat. Selain melengkapi kebutuhan bersosialisasi, kerabat dekat ini kerap menawarkan tumpangan jika kami membutuhkan.
Lewat Toyota Agya miliknya, si kerabat—kita sebut saja Hananto—membawa suami saya ke rumah saya yang berjarak 500 kilometer dari kota tempat mereka tinggal. Saat itu, saya dan suami belum menikah; kami baru akan menikah. Maka, proses pengantaran suami saya di H-7 sebelum akad itu pun menjadi momen berkesan bagi saya, khususnya pada kelincahan Toyota Agya. Apalagi, kata suami, dia nggak perlu ngeluarin uang bensin banyak-banyak. Irit.
Hananto pernah membantu kami pergi ke supermarket untuk membeli kompor. Naik Toyota Agya tadi juga, kami pernah mencicil pindahan barang-barang saya dari Jakarta ke kota tempat suami tinggal. Meski diisi oleh empat orang dewasa dan seorang bayi, mobil imut ini tetap terasa lega. Si bayi pun bisa dengan leluasa berpindah-pindah dari pangkuan ibunya—istri Hananto—ke pangkuan saya, dan sebaliknya. Di kursi belakang, saya masih bisa sisipkan tas ransel yang berisi sekian kilo barang bawaan.
Ada pengalaman naik Toyota Agya milik Hananto yang paling berkesan bagi saya.
Beberapa orang menyebut Toyota Agya berjalan terlalu pelan. Tadinya saya pikir ini nggak benar, sampai tiba suatu hari di mana rasanya memang betul mobil ini berjalan pelan, bahkan terlalu lambat. Selain itu, saya rasa bodi mobil ini juga kelewat tinggi. Dari jendela, saya bisa melihat beberapa orang di luar memperhatikan kami. Mereka terlihat berada di posisi yang lebih rendah dari biasanya. Naik mobil ini, saya seperti sedang terbang.
Suami saya pernah bilang kalau Toyota Agya irit bensin. Saya setuju. Soalnya, saat itu, kami bahkan tidak perlu menghabiskan bensin setitik pun. Loh, kok bisa? Bisa, dong.
Jadi, waktu itu, Toyota Agya yang kami naiki pernah selama beberapa menit menjadi pusat perhatian ketika sampai di sebuah pom bensin. Kandung kemih saya mendadak berontak dan gairah untuk kencing pun muncul. Uniknya, mobil ini tidak mengizinkan saya keluar dengan cara konvensional, yaitu membuka pintu seperti biasa, lalu melangkahkan kaki ke luar.
Untuk menghirup udara di luar mobil, saya dan penumpang lainnya harus duduk dengan tenang sampai mobil ini mendarat di atas tanah, baru bisa membuka pintu.
Ya, ya, ternyata alasan keunikan tadi adalah karena Toyota Agya-nya Hananto digendong truk towing milik manajemen Jalan Tol Tangerang-Merak!
Beberapa menit sebelumnya, Hananto memang sedang mengendarai Toyota Agya ini dengan normal. Menuju detik-detik kehabisan bensin, Hananto punya ide cemerlang. Menurutnya, cara terbaik mengirit bensin adalah dengan menahan gas. Menjadikan Agya yang sudh terkenal jalannya pelan makin tambah slow motion.
Tapi sayang, pintu keluar tol yang kami tuju masih lumayan jauh. Hananto membawa kami ke sebuah belokan menuju pintu keluar tol terdekat. Belum sampai sana, Toyota Agya Hananto sudah shut down. Untung kami keburu menepi.
Berhenti di jalan tol, apalagi di malam hari, memang bukan rekomendasi tempat kontemplasi yang tepat. Di kanan-kiri kami adalah pepohonan dan langit yang gelap. Saya jadi agak parno karena si bayi mendadak menangis tanpa henti, sementara ibunya mencoba men-cep-cep-kannya sambil duduk dan melafalkan banyak doa. Sebelum kami ketakutan terlalu lama, Hananto berhasil menenangkan istrinya dan menggendong bayinya keluar sebentar. Bayinya langsung anteng.
Lah, ternyata sumuk.
Setelah sempat mati kutu beberapa menit karena kami belum pernah mengalami kejadian ini, kami mencoba menghubungi Kiki Pertamina Delivery Service di nomor 135 untuk minta diantarkan bensin kalengan. Sayangnya, kurir mereka bekerja naik motor sehingga jalan tol jadi semacam Forbidden Forest di film Harry Potter bagi mereka.
Atas saran petugas Pertamina, kami diminta menghubungi manajemen jalan tol terkait. Ketemulah nomor 08001777879 yang merupakan pihak manajemen Jalan Tol Tangerang-Merak. Setelah menyebutkan jenis mobil, kami menunggu sampai truk towing datang menjemput.
Truk yang dimaksud berukuran cukup besar. Mungkin panjangnya hampir mencapai tujuh meter dengan lebar lebih dari dua meter. Ia juga dirancang untuk mampu menahan beban berat mencapai hitungan ton. Kalau Dilan jadi supir truk towing, mungkin dia akan bilang, “Ngederek mobil itu berat, kamu nggak akan kuat. Biar towing saja.”
Mula-mula, kami diminta masuk ke Toyota Agya seperti biasa. Pintu dikunci dan Hananto menyalakan kembali gasnya dengan sisa-sisa bensin. Transmisi mobil diarahkan ke gigi netral dan handbrake diposisikan tidak dalam keadaan terkunci. Pelan-pelan, kami pun maju.
Bedanya, kami tidak lagi berjalan di atas aspal, melainkan naik ke atas truk towing. Digendong! Untuk beberapa saat, testimoni yang bisa saya berikan adalah: rasanya kayak naik jet-coaster tapi bagian naiknya doang. Tingginya sekitar dua meter, nyaris membuat saya merasa lagi naik bus.
Selain bikin kita—penumpang mobil yang digendong—jadi punya sudut pandang lebih luas karena posisi yang lebih tinggi, truk towing ternyata memang sekokoh itu untuk “mengunci” mobil di atasnya.
Pantesan saja sempat ada pemudik-pemudik nakal yang menyewa truk towing untuk mengangkut mobil pribadinya agar bisa lolos penyekatan di jalan raya saat larangan mudik yang lalu berlaku. Mereka seyakin itu kekuatan truk towing bakal menjaga mobil mereka supaya nggak kesangkut di pos penyekatan.
Hadeeeh, padahal ada cara lain untuk lolos penyekatan dengan mudah dan murah: menunda mudik.
BACA JUGA Menyiksa Honda Brio Satya dengan Membawa Beban Setengah Ton di Tol Trans-Jawa dan kisah menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.