MOJOK.CO – Untuk kelas buzzer ternama seperti Iqbal Aji Daryono, Suzuki Ignis sungguh tiada sesuai. Ganti, mas!
“Ini mobilmu, Mas?” tanya saya.
“Iya,” sahutnya.
Saya amati mobil-mobilan imut setengah jadi ini, dari belakang ke depan. Ya, ya, begitulah. Beberapa waktu sebelumnya pernah saya jajal punya teman. Ya, ya, begitulah.
“Kenapa, Mas?” tanyanya menyelidik.
“Ehm, nggak, nggak papa, aman….”
“Ah, kenapa?”
“Wes, yuk, udah ditunggu Cak Mahfud tuh di dalam.”
Kami pun masuk ke kafe Basabasi, dan melupakan obrolan tentang mobil-mobilan besutan Suzuki itu. Ya, mobil-mobilan.
Disebut bergenre crossover, citycar Suzuki Ignis berhasil menyedot perhatian banyak khalayak. Saya ngerti, bagiannya yang paling menggoda ialah tampangnya, plus atapnya. Sekilas, mirip Mini Cooper. Tapi, begitu pindah ke belakang, ya ya begitulah. Khas LCGC banget, bahkan paling akut modelnya, alias mobil murah pake banget.
Menjanjikan gembar-gembor teknologi mobil kontemporer, dari keyless entry, matic, hingga syahdan irit, mudah bermanuver, dan tentu saja murah harga. Tentu, bakal cukup memikat bagi mereka yang kurang kenyang asam garam permobilan. Sayangnya, kok ya di dalamnya ada kawan sendiri lho, megaseleb buzzer, kader brilian Muhammadiyah pula, ya siapa lagi kalau bukan Iqbal Aji Daryono.
Masa iya saya harus teriak di depannya: wooyyy, Broohhh, itu mobil-mobilan, bahkan untuk dimasukkan ketegori LCGC aja belum, lho, kok yo mbok tumbas? Cash pula!
Ya, kawan saya itu belinya cash. 140 juta. Leih murah 4,5 juta dari harga yang tertera di banderol untuk kategori almost-lowest-spek.
Kalau soal cashnya sih, percayaaaaaa. Lha wong sekali nulis honornya jutaaan – saat penulis lain dapatnya 300.000. Itu pun media dan penerbit kudu antri untuk bejo dapat tulisannya. Sekali buzzer, sekian juta banyak. Weslah, mu’tabar soal ini.
Soal kenapa bisa dapat harga lebih murah 4,5 juta dari daftar banderol untuk spek paling sudra di jajaran kedhuafaan Suzuki Ignis, saya hanya menduga, ya menduga saja, dia tidak minta ban serepnya, plus tidak pakai audio. Jadi, dapat potongan 4,5 juta.
Udah Ignis, tanpa ban serep, tanpa audio pula. Duh, Gusti…..
Absurdnya, di tengah begitu mudahnya ia dapat uang dari menulis, dalam sejarah literasi Indonesia, langka sekali orang begini, lho, kok ya kepikiran lho untuk naik Suzuki Ignis. Mbokya Honda Jazz, kek. Atau, Honda CR-V lah biar sepadan sama temannya.
Oh, baiklah, itu soal selera, masing-masing orang beda. Ya, saya ngerti. Tapi, ehm, kan seleb, mega, puritan pula, mestinya ya timbang-timbang jugalah soal marwah, dan pencitraan, gitu lho. Namanya seleb, ya junjungan, ya anutan, ya bakal ditirulah. Segala apa sajanya. Tapi, babakan Ignis, masa iya ditiru?
Masa iya selera puritan begituan ditiru?
Jika Anda ragu, cobalah testdrive Suzuki Ignis. Betul, ia matic. Tapi, matic-nya setengah jadi. Pokoknya, apa-apanya setengah jadi. Makanya, di awal, saya sebut mobil-mobilan.
Matic hari ini, Mas Iqbal, plis dengerin saya kali ini, tidak ada lagi yang ndut-ndutan macam zaman awal matic dulu. Matic kini ya spontan juga, tanpa sentakan aneh-aneh, bahkan di beberapa mobil udah tak kerasa perpindahan giginya.
Lha Ignis mau janjiian pake 6 percepatan, kalau transmisi maticnya nyendul-nyendul gitu, bukankah itu laksana anak sosmed hari gini kok gembor-gemborin friendster, ya?
Bejeklah gas Ignis, udah nyendal-nyendal perpindahan giginya, bonus lainnya ialah lemot. Yaaaa, lemot banget akselerasinya. Sungguh patut dicurigai, gear transmisinya pakai gear Tossa, sehingga wajar bila nyendul-nyendul ndut-ndutan begitu. Lalu sabuknya pakai gelang karet atau karet merah yang dulu dipakai buat ketapel itu, lho.
Lalu Suzuki Ignis menjanjikan kenyamanan. Hiyaaahh! Aman apaan, Mas Iqbal?
Tahu kan bahwa bodi mobil Avanza dan Xenia diolok-olok pakai bekas kaleng Khong Guan isi rengginang, nah Ignis masih berada di bawahnya. Ya, tipisnya, kalengnya. Jangankan sampai nyenggol trotoar, tabrakan sama hujan saja bisa bentol-bentol lho bodinya. Dan, ironisnya lagi, menurut beberapa kawan yang beli Suzuki Ignis, bodi display mobil Ignis tidaklah meyakinkan sama dengan bodi unit yang diterima pembelinya.
Katanya sudah pakai sistem pengereman ABS-ABA. Yaa, sok-sok SUV kelas menengah gitulah. Masalahnya adalah, anggap saja mutu ABS-ABA-nya beneran setara, memangnya sistem keamanan berkendara mobil hanya ada pada pengereman? Tentu tidak, kita tahu. Ia hanya satu item dari segambreng item lainnya yang integral menyokong sistem keamanan berkendara sebuah mobil.
Mau pakai ABS, kalau bodinya dibuat dari bekas kaleng biskuit diparuh dua pula, andai terjadi benturan, ya tetap babak belur. ABS sama sekali bukan jaminan menghindarkan benturan. Sama sekali bukan.
Ia semata berfungsi untuk menghindarkan roda melintir jika direm mendadak kuat-kuat, karena sistem kerjanya adalah buka-tutup roda. Sepersekian detik kebuka, lalu mengunci, dan terus begitu, sehingga tidak melintir.
Satu lagi, di brosurnya, Ignis menyebut diri sebagai city car untuk lima penumpang. Kebayang gak umpama Mas Iqbal ngajak saya, Cak Mahfud, Kiai Irfan, Mas Afif, dan Mas Puthut untuk nraktir sate klathak di Imogiri? Masa iya duduknya pangkon-pangkonan? Ah, geli membayangkannya….
Finalnya, kayaknya kita harus kompak bikin tagar #RIPSeleraMobilSeleb deh untuk mengingatkan Mas Iqbal akan betapa buruknya seleranya soal mobil. Sumpah, Mas, tak ada argumen logis rasional apa pun untuk disampaikan dalam soal Szuki Ignis ini yang lalu bisa mengubah paradigma kami tentang telah luputnya kami dalam memahami seleramu yang satu ini.
Justru, plis pahami, saya bersama banyak pemujamu mengungkapkan uneg-uneg ini semata saking sayangnya kami padamu. Anda itu anutan kami, lho, mostly yang bergender ngunukuilah! Kami ingin Anda joss terus, makin berkibar, dan janganlah sampai ada apa-apa dengan keselamatanmu gara-gara mobilmu serempetan sama godong, syuket, atau hujan.
Berapa sih tambahan yang diperlukan untuk jual Ignis dan ganti CR-V, misal? Wasap sayalah, ndak usah sungkan, kan tinggal tandatangan MoU penerbitan naskahmu, to, Ignis langsung malih CR-V.
Ya sih, kecuali, sekali lagi kecuali, bila Anda telah benar-benar mathuk-gathuk jiwa pada ilmu wara’, qana’ah, dzikrul maut di kuburan, dan lebih-lebih kekasyafan rohani. Eh, tapi, kan itu tipikal Nahdliyyin, ya, bukan Muhammadiyah.
Apa Mas Iqbal udah makin mantap nih untuk jadi pengurus PW-NU DIY? Bisa, bisa, bisa, Mas, ntar kubilang Pak Yai, deh….