MOJOK.CO – KKN UGM naik Kapal Pelni memberi kami banyak pengalaman unik. Mulai dari menikmati lengkapnya fasilitas, sampai tidur di atas sarang kecoak!
Seumur-umur, saya nggak pernah membayangkan bahwa ada satu momen dalam hidup yang mengharuskan naik kapal. Terlebih, dengan durasi yang cukup lama, yaitu tiga hari tiga malam! Bayangkan, selama tiga hari itu, kamu akan bertahan hidup di kapal dengan minim sinyal. Sungguh menyiksa, apalagi kalau kamu pemain Mobile Legends.
Di tahun 2023 saya diberi kesempatan untuk menikmati Kapal Pelni dalam rangka KKN PPM UGM ke Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Kenapa naik kapal? Ya, karena budget tim kami terbatas.Â
Ketika tim lain yang di Maluku persiapan dengan tenang karena bisa naik pesawat, kami dari awal keberangkatan sudah was-was. Terlebih, beberapa rumor kurang mengenakkan terhadap jenis kapal yang kami tumpangi kala itu.
First impression…
Jujur. Dari semua anggota KKN UGM kami yang berjumlah 21 mahasiswa kala itu, belum ada yang pernah naik kapal besar. Nekat, memang. Ya, kalau pun pernah naik kapal, paling kapal penyeberangan macam di Ketapang-Gilimanuk dengan jarak tempuh hanya sekitar satu jam. Jadi, ketika sampai Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, kami semua juga ikutan kaget. Ramenya nggak ketulungan!
Tidak seperti bandara, kapasitas orang dan lalu-lalang yang terjadi di pelabuhan itu memang over capacity. Meskipun di bandara kadang ada yang tiduran di lantai, tetapi pas di pelabuhan jumlahnya jauh lebih banyak!
Terlebih, seingat saya perihal jumlah barang bawaan di Kapal Pelni itu tidak seketat di pesawat. Jadinya, banyak orang yang membawa barang yang terlalu banyak. Bayangkan orang pulang dari kampung dan bawa sembako dari rumah. Nah, kurang lebih seperti itu. Tapi ini versi lebih ekstrem karena banyak yang bawa kardus lebih dari tiga tumpuk. Belum lagi ransel dan yang ditenteng. Edan!
Meskipun begitu, sebagai seorang blasteran Jawa-Madura, saya lebih merasa tenang dibanding teman-teman anggota KKN UGM yang lain. Pelabuhan di Surabaya ini memang ramah dengan warga Pandalungan seperti saya. Orang yang mondar-mandir di situ, selain penumpang, bisa saya klaim 80% berbahasa Madura. Surabaya memang seperti peradaban alternatif bagi warga Madura.
Kecoa menyambut anggota KKN UGM
Sejatinya, naik Kapal Pelni itu butuh tidur. Namun, berbeda dengan pesawat yaitu ketika naik pasti dapat nomor, di kapal ada yang tidak. Terdapat sekian persen penumpang yang memang nggak dapat nomor sehingga tidur di sembarang tempat sesuai lamanya perjalanan. Ada yang di dekat tangga, ada juga yang nyempil di lorong-lorong.
Tenang, anggota KKN UGM bukan salah satu yang tidur di tempat sekenanya itu. Kami dapat nomor untuk tempat tidur! Alhamdulillah…
Akan tetapi, baru saja kami naik ke Kapal Pelni. Teman-teman satu tim saya sudah pada heboh. Iya sih bisa tidur, tapi ada yang di bawah tempat tidurnya jadi sarang kecoak. Tidak hanya kecoa, tetapi serangga lain juga ada. Tapi ya masih sejenis. Cukup menantang kalau harus tidur di situ selama tiga malam.
Mengetahui hal tersebut, salah satu teman saya langsung turun dari kapal dan segera membeli semprotan untuk serangga ke minimarket terdekat. Langkah yang cepat dan pintar. Tidak akan kepikiran bagi saya orang kampung yang terbiasa hidup dengan alam. Selagi kecoanya nggak di atas kasur, menurut saya aman-aman aja. Tapi juga berterima kasih ke kawan saya, anggota KKN UGM, tersebut. Semprotan datang, tim pun tenang.
Meskipun kondisi tempat tidur yang ada potensi diserang kecoa dan kualitasnya yang atos alias keras, bagi saya itu bukan sesuatu yang perlu disambatkan berhari-hari. Toh, kamar saya di Jember, justru lebih keras lagi. Soalnya hanya kasur tipis nggak lebih dari satu senti. Ditambah lagi bawahnya masih pakai galar, kerangka tempat tidur yang pakai bambu. Jadi, Kapal Pelni menurut saya adalah upgrade dari kehidupan saya selama belasan tahun di desa.
Harga minimal, fasilitas maksimal
Kalau dihitung-hitung, sebenarnya harga yang ditawarkan oleh Kapal Pelni itu sudah sangat murah. Saat itu, hanya sekitar Rp520an ribu (sekarang sudah naik). Dan selama perjalanan tiga hari tiga malam, kita bakal dapat tempat tidur (meskipun lebih mirip bangsal) dan makan tiga kali sehari.Â
Ya, kamu nggak salah baca. Jadi, selama tiga hari itu, urusan perut anggota KKN UGM sudah terjamin. Kalau mau jajan, bisa ke kantin yang ada di lantai atas. Meskipun harganya jadi lebih mahal karena kamu nggak akan menemukan Alfamart di tengah laut. Hukum pasar berlaku.
Selain itu, musala di Kapal Pelni juga terbilang luas. Bisa disejajarkan dengan ukuran masjid yang ada di kampung-kampung Jogja, lah. Buktinya, bisa dibuat salat Jumat, bahkan Idul Adha! Dan saya jadi salah satu orang yang beruntung bisa merasakan vibes lebaran kurban tersebut di tengah laut. Rasanya, campur aduk. Kangen rumah, tapi di kapal suasananya juga unik. Takbir tetap berkumandang selama beberapa hari.
Fasilitas yang masih dirasa sangat kurang di Kapal Pelni yang kami tumpangi itu adalah fasilitas kamar mandinya. Ada sih, tapi karena digunakan oleh ratusan orang dalam setiap deck (lantai), jadinya kurang memadai. Air sering habis atau nggak mengalir dengan lancar. Kondisi yang awalnya memang kurang bersih jadi makin runyam.
Alhasil, untuk sekadar buang air kecil, terkadang saya perlu nyari toilet di deck lain. Perihal mandi di kapal, seingat saya nggak lebih dari tiga kali. Beberapa kawan satu tim ada yang memilih mandi ketika transit di pelabuhan Makassar dan Bau-Bau karena kamar mandinya jauh lebih bersih.
Pro tips: Tanya sama yang sering naik kapal
Dari pengalaman tersebut, mayoritas teman anggota KKN UGM bisa dibilang kapok buat naik kapal lagi dengan waktu selama itu. Hal paling big deal adalah masalah kebersihan. Ya, meskipun saya bilang cuek aja sama kondisi tempat tidur yang seperti itu, setibanya di lokasi KKN malah gatal-gatal. Kayaknya memang efek lingkungan di deck kami yang kurang bersih.
Akan tetapi, kami belum benar-benar kapok. Setelah selesai KKN, kami tetap mencoba naik kapal lagi, meskipun hanya Namlea-Ambon dengan perjalanan kurang dari 10 jam. Syukurnya, percobaan kedua kami dibilang lebih beruntung. Kami dapat deck dengan fasilitas lebih nyaman: ada colokan di setiap tempat tidur dan kamar mandi yang jauh lebih bersih. Bahkan, tempat tidur saya menghadap ke TV. Jadi, dapat hiburan tambahan secara cuma-cuma.
Pesan saya buat yang mau naik Kapal Pelni, entah karena iseng-iseng atau memang kebutuhan, coba deh tanya ke orang yang sering atau setidaknya pernah naik kapal. Itu akan sangat membantu.Â
Soalnya, ternyata memang benar kualitas kapal A dan B dengan kelas yang sama, bisa saja berbeda. Ada kapal yang terkenal bersih, ada juga yang jorok. Daripada dapat kapal yang bau pesing gara-gara airnya mati, kan?
Penulis: David Aji PangestuÂ
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 6 Barang yang Wajib Dibawa Saat Naik Kapal Pelni Kelas Ekonomi agar Perjalanan Tak Begitu Menyebalkan dan pengalaman menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.