MOJOK.CO – Padahal desain Nissan Grand Livina lawas sempat jadi tren, tapi semua berubah sejak All New Livina menyerang dengan desain Xpander-nya.
“Tahun 2021 masih pake Grand Livina kelas paling rendah? Upgrade dong!” celetuk teman terlaknat saya sambil petentang-petenteng, nunjukin All New Livina barunya.
Saya yang saat itu sedang sibuk kerja hanya bisa mbatin, betapa sombongnya candaan teman saya ini. Seakan dia lupa, dulu sebelum dia sukses mau ke mana-mana selalu saja pinjem mobil saya, Nissan Grand Livina kelas paling rendah dengan transmisi manualnya.
Saat itu saya memang tidak bisa berkutik sebab posisi saya sebagai pekerja, sementara teman saya ini pelanggan yang sedang menyervis mobilnya. Mau dilihat dari sudut pandang mana pun saya kalah.
Dilihat dari mobilnya, mobil barunya jauh lebih mulus daripada mobil saya yang sudah buyutan. Belum dengan status teman saya sedang jadi raja karena dia pelanggan di bengkel tempat saya kerja. Howalah, teman laknat!
Meski begitu, saya tetap lebih menyukai Nissan Grand Livina lama daripada yang baru. Dari desain eksteriornya saja sudah kelihatan sekali bedanya. All New Livina, (sayang sekali) punya bodi yang besar, tinggi, dan terkesan lebih gagah, namun justru hal itu yang bikin karakter MPV rasa sedan Grand Livina lawas jadi lenyap.
Satu poin, untuk Grand Livina lawas.
FYI aja nih, tinggi bodi kendaraan itu bakal mempengaruhi kenyamanan saat mobil melaju kencang. Artinya, bodi lebih tinggi cenderung lebih mudah limbung. Bayangkan saja, kalau pihak Nissan tidak memasang suspensi yang baik maka dapat dipastikan All New Grand Livina ini bakal kalah nyaman dengan yang lama.
Di sisi lain, keadaan ini bisa berimbas pada ketahanan shock absorber, secara ketahanan kemungkinan lebih cepat bocor karena kerja yang lebih berat.
Dua poin, untuk Grand Livina lawas.
Ya walau keduanya memang memiliki bokong besar, tapi All New Grand Livina ini memang terlihat lebih ndrebobok. Mungkin karena efek dari kerja sama dengan Mitsubishi sehingga versi yang ini sangat berbeda dari yang sebelumnya.
Bisa saya katakan All New Grand Livina ini krisis identitas. Sebenarnya, ini mobil keluaran Mitsubishi atau Nissan sih? Kok dibuatnya di pabrik Mitsubishi, dan hampir semua komponennya bermerek Mitsubishi kecuali emblem dan bumpernya? Hadeh.
Tiga poin, untuk Grand Livina lawas.
Bahkan kalau mau diulik lagi, All New Livina itu punya penyakit yang sama dengan Mitsubisi Xpander. Mulai dari recall pompa bensin sampai keluhan shock absorber belakang yang gampang bocor.
Dengan begitu bisa dikatakan All New Livina ini memang satu ras dengan Mitsubishi Xpander, keduanya tak hanya punya wajah, tapi juga darah yang sama.
Saya semakin curiga saja, jangan-jangan status All New Livina di keluarga Nissan sendiri dianggap seperti anak tiri. Bahkan di suatu komunitas Nissan Grand Livina, keberadaan All New Livina dengan lampu sipitnya ini dipandang beda. Duh, rasis juga ya ternyata dunia otomotif ini.
Oke. Memang sih fitur All New Livina jauh lebih modern dan unggul. Namun fenomena ini bagi saya hanya sesempit urusan membandingkan transmisi manual dan matik.
Dari sudut kemudahan tentu transmisi matik lebih mudah dikendalikan daripada transmisi manual, namun kesimpulan itu sejatinya tak berlaku untuk semua orang. Jika dulu sempat ramai slogan “real man use three pedals” sekarang ini bagi saya ada slogan baru, yakni; “real man never use VDC.”
Vehicle Dynamic Control (VDC) yang disematkan di All New Livina merupakan fitur yang dibanggakan karena memberi kemudahan dalam berkendara.
Lah, bayangkan saja kalau kita mengendarai mobil baru ini, kita nggak perlu repot memainkan tiga pedal secara bersamaan ketika sedang bermacet-macetan di jalan menanjak seperti di Puncak Bogor.
Bandingkan ya, Grand Livina lama dengan transmisi manual membutuhkan pengemudi yang jago jika harus bermacet-macetan di jalan yang menanjak.
Jika tidak, maka mobil akan merosot ke belakang dan bisa menimpa kendaraan lain hanya karena pengemudi tidak piawai mengkombinasikan tiga pedal saat bersamaan dalam hitungan detik.
Sementara pada All New Livina, hanya perlu mengaktifkan VDC dengan menekan satu tombol maka mobil akan memiliki kekuatan super yang bekerja secara otomatis tanpa diperintah oleh otak manusia. Tahu-tahu mobil mudah dikendarai saja, seakan pengendara sudah pro.
Berikut ini saya akan coba ungkap betapa cerdasnya fitur VDC ini. Saking cerdasnya bahkan sampai bisa menumpulkan skill mengemudi pada manusia.
Jadi kalau Anda sudah kelewat terbiasa dengan mobil yang menggunakan VDC, sudahlah jangan berharap bisa jadi atlet balap. Kecuali aturan komponen pada panitia balapan sudah diubah sehingga diperbolehkan menggunakan teknologi bantuan canggih kayak gini.
Asal Anda tahu, VDC ini, selain bisa menahan mobil di tanjakan setelah melepas pedal gas, mobil dengan VDC juga akan melaju dengan pelan saat memulai menanjak, nggak peduli sedalam apa pengendara menginjak pedal gas.
Intinya sistem akan secara otomatis membatasi putaran roda sehingga tidak terjadi spinning dan tergelincir.
Lah kalau pakai transmisi manual maka pengendara harus pas memainkan setengah kopling dan gas sekian detik setelah pedal rem dilepas. Bahkan ada beberapa orang bisa mengendalikan tiga pedal gas sekaligus dengan dua kaki untuk mencegah merosotnya kendaraan.
Jika gagal, maka mesin bisa saja mati atau kendaraan merosot dan terjadi kecelakaan.
Belum lagi kalau sampai pedal gasnya terlalu dalam diinjak maka akan terjadi spinning dan bisa membuat sisi depan kendaraan keluar dari trek.
Selain berguna saat menanjak, tentu VDC sangat membantu ketika pengendara terlanjur kencang di tikungan. Mobil dengan VDC akan secara otomatis mengerem salah satu roda atau lebih dengan lembut, sehingga mobil tetap dalam keadaan yang diinginkan.
Berbeda dengan mobil tanpa VDC, begitu mobil melaju terlalu kencang di tikungan yang terjadi malah mobil akan tergelincir menjauh karena gaya sentrifugal.
Biasanya pengemudi awam akan refleks untuk membelokkan kemudi semakin dalam diikuti menginjak pedal rem dalam-dalam, harapannya mobil tetap di dalam trek, tapi justru dengan demikian akan membuat mobil semakin terhempas menjauh bahkan bisa berbalik arah.
Untuk lebih jelasnya, mari kita tonton video mobil yang sedang drifting. Perhatikan yang terjadi ketika roda belakang mulai direm, maka bagian belakang mobil akan terhempas ke luar sementara roda depan akan dibelokkan ke luar juga untuk mengimbangi laju kendaraan yang sedang terhempas.
Inilah teknik yang digunakan oleh atlet balap yaitu menambah gas dengan membelokkan kemudi berlawanan untuk menjaga keseimbangan.
Sementara mobil dengan VDC, untuk menjaga keseimbangan dilakukan pengereman roda secara otomatis dengan lembut. Roda yang mengerem ini bisa saja bagian belakang atau depan atau bahkan keempatnya, tergantung roda mana yang selip. Hmm. Sungguh ini fitur yang diciptakan untuk membuat nyaman pengemudi awam.
Sehingga saya makin yakin untuk mengampanyekan slogan baru ini: “real man never use VDC”.
“Saya juga selalu menonaktifkan VDC saya saat berkendara,” dalih teman saya di lain kesempatan berupaya membela diri, sesaat setelah saya ungkap soal teknologi VDC di All New Livina.
Lah siapa yang peduli dengan itu? Mau bilang dinonaktifkan atau tidak, tetap saja mobil itu dilengkapi dengan VDC. Orang lain mana mungkin tahu fitur itu diaktifkan atau tidak kan?
Oleh sebab itu, saya itu kadang ngerasa geli juga, kalau ingat fakta bahwa teman saya malah sombong dengan All New Nissan Grand Livina barunya. Dia yang mainnya kurang jauh, skill mengemudinya jadi makin tumpul, atau cuma berusaha mencoba menikmati kekecewaan karena ciri khas desain Livina di mobilnya hilang saja?
Entahlah, yang pasti, sedikit pun cinta saya kepada Nissan Grand Livina lawas tidak luntur hanya karena godaan Livina desain Xpander yang baru.
BACA JUGA All New Nissan Livina: Jimat Baru Nissan yang Cocok Jadi Mobil Branding dan tulisan Erwin Setiawan lainnya.