[MOJOK.CO] “Kenapa sih cowok kalau ngumpul pasti futsal dan cewek kalau ngumpul pasti masak?”
“Maneh bisa ikut futsal kan minggu depan? Sekalian reunian, hehehe,” tanya teman saya.
“Waduh, nggak bisa euy, minggu depan saya harus ikut seminar cara bercocok tanam padi terasering di Planet Namex.”
“Wah, nggak asik ah maneh mah, padahal nanti banyak loh temen sekelas kita yang udah mau ikut dateng.”
“Oh, iya salam aja ya buat mereka semua.”
Percakapan sederhana itu sering terjadi pada saya yang notabene cowok yang nggak bisa futsal. Kalau ada ajakan futsal berkedok reuni, saya emang tipe yang selalu menolak.
Habis, saya sudah tahu bagaimana pola yang akan terjadi ketika ada reunian dengan modus futsal antar-rekan kelas. Biasanya, kita kumpul di tempat futsal, langsung ganti seragam dengan jersey bola favorit masing-masing, unjuk sepatu futsal yang baru beli kemarin dari Sport Station, main futsal selama berjam-jam, lalu pergi nongkrong untuk membicarakan hasil pertandingan tadi—ngomongin siapa yang paling goblok main dan menertawakannya habis-habisan.
Jujur saja, semenjak SD saya tidak menyukai hal-hal berbau sepak bola. Nilai olahraga selalu jeblok. Tiap kali ada pertandingan bola antarkelas, tim yang menaungi saya selalu kalah dan kena batunya: entah harus traktir Pop Ice buat tim lawan atau bayar sewa lapangan yang udah ditambah durasinya berkali-kali lipat.
Ketika ditanya tim sepakbola mana yang jadi favorit saya, saya cukup diam lalu cari-cari tim yang nggak pernah dilirik sama sekali oleh teman-teman saya. Pun, ketika saya ditanya punya kaos tim sepak bola atau sepatu futsal, saya cuma bisa jawab dengan bengong karena di lemari saya cuma ada kaos band, celana cutbray, sama sepatu kets.
Dalam hati, saya cuma bisa bertanya-tanya: kenapa sih cowok ngumpul harus sambil futsal? Nggak bisa gitu bikin nasi liwetan, masak ikan teri sambil duduk-duduk di tengah kebon ngobrolin cara cangkok duren atau okulasi bunga mawar?
Sebagai cowok yang nggak bisa main bola, biasanya saya dimusuhi saat mata pelajaran olahraga. Waktu pelajaran olahraga dimulai, saya duduk diam dan berharap nama saya nggak dipanggil waktu ada tes dribble. Sisanya, kalau saya diajak ikut main, paling saya milih buat jadi kiper atau pemain belakang supaya nggak usah terlalu banyak tendang sana sini. Kalau udah ada yang datang ke wilayah saya, saya sikut sampai teman saya bilang: “Maneh maen bal atawa lalajo Burgerkill, sih?” Kamu main bola apa nonton Burgerkill, katanya.
Saya cengengesan dan di akhir pertandingan pasti di-bully habis-habisan.
Pernah satu kali saya mengajak reunian teman-teman SMP untuk reunian sambil liwetan. Sebenarnya, ini intrik-intrik saya saja supaya bisa lari dari kejaran cowok-cowok ilmu hitam yang pasti ngajakin main futsal. Ketika saya ngajakin anak-anak buat ngeliwet, sontak cewek-cewek di grup pesbuk mulai bermunculan. Mereka yang asalnya diam kayak kerapu di atas batu berubah jadi suka teriak-teriak macam kucing rumahan nggak dikasih makan berhari-hari.
Menanggapi hal tersebut, teman saya cuma bisa geleng-geleng sambil menawarkan kalau dia punya kebun duren yang terletak di kaki Bukit Mananggel, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Indonesia, Planet Bumi, Galaksi Bima Sakti, 43105. Mendengar jawabannya yang begitu komplet, kami pun bersemangat dan mulai mencari angkot yang bisa mengantar kami menuju tempat itu.
Sesaat sebelum tiba di tempat, angkot yang kami sewa bilang cuma bisa nganter kami sampai ujung kampung. Katanya jalan kecil, masuk gang, susah buat angkot masuk. Selain itu, dia juga harus narik lagi. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan sekitar 3 kilometer menuju kebon duren. Jalanan waktu itu bisa dibilang berliku-liku, asruk-asrukan, sampai para cowok yang suka main futsal hanya bisa ngeluh dan nanya kapan sampai. Dalam hati, saya prihatin dan menunjukkan empati terhadap mereka. *ketawa jahat*
Sekitar sejam perjalanan, kami sampai di tempat. Anak cowok gempor semua sedangkan anak cewek justru makin bersemangat. Mereka langsung cari peralatan masak. Ngeluarin semua beras, ikan teri, bumbu lalapan, dan bahan nyambel. Sebagai inisiator, saya ikut bantu mereka. Angkut barang sana-sini dan nakar air beras pakai buku jari sampai akhirnya cewek yang ternyata pengikut golongan hitam ini ngambil barang yang saya pegang.
“Lalaki mah cicing we, lamun masak ge teu ngeunah!” Anak laki-laki mah diem aja, kalau masak juga nggak enak!
Saya melongo, tiap hari masak di rumah, baru kali ini saya diperlakukan begini. Saya lalu ambil ulekan buat nyambel, ada cewek lain yang lantas merebut dengan paksa.
“Lalaki mah cicing we, lamun nyambel sok tara kira-kira ladana!” Anak laki-laki mah diem aja, kalau bikin sambel juga suka nggak kira-kira pedesnya!
Saya melongo, tiap hari masak di rumah, baru kali ini saya diperlakukan begini. Dalam hati, saya cuma bisa bertanya-tanya: kenapa sih cowok ngumpul harus sambil futsal? Nggak bisa gitu bikin nasi liwetan, masak ikan teri sambil duduk-duduk di tengah kebon sambil ngobrolin cara cangkok duren atau okulasi bunga mawar?
Selain itu, ada satu lagi pertanyaan yang tambah ganjal dalam hati saya: kenapa sih cewek kalau ngumpul harus masak-masak? Nggak bisa gitu cowok ikut nimbrung? Cowok yang nggak bisa main futsal harus ngapain?