MOJOK.CO – Untuk urusan persiapan lockdown dari Pemerintah Cina, sulit bagi negara manapun di dunia ini buat menirunya. Kecuali… Indonesia—tentu saja.
Sekalipun kebijakan untuk menutup (lockdown) Kota Wuhan diputuskan secara tiba-tiba—tapi asal kamu tahu—Pemerintah Cina dengan sangarnya langsung bisa bergegas menyiapkan segala sesuatu dengan sangat-sangat cepat.
Untuk urusan satu ini, sulit bagi negara mana pun di dunia buat bisa meniru Cina (ketika semua produk negara lain bisa ditiru Cina).
Sekarang coba jawab: Adakah negara di planet ini yang mampu membangun DUA rumah sakit berskala ribuan pasien, EMPAT BELAS rumah sakit sementara (fangcang yiyuan), dan RATUSAN gedung karantina cuma dalam hitungan hari selain Cina?
Hayaa jelas, siapa lagi kalau bukan Indonesia. Negerinya Roro Jonggrang dengan seribu bangunan candinya yang dikerjakan pakai sistem kebut semalem. Cuma kan itu pakai bantuan jin-jinnya Bandung Bondowoso. Masih terasa jahiliyah nan syirik sekali, gitu.
Sedangkan Pemerintah Cina (yang bikin sangar) nggak pakai bantuan jin sama sekali. Murni memanfaatkan sumber daya yang ada untuk bisa menyelesaikan megaproyek dadakan setrengginas itu. Lagian kalau mau pakai jin juga, bisa makin parah. Udah komunis, syirik lagi. Neraka kuadrat, Akhi.
“Bung tahu, kan, partai kami tiap hari bicara terus-menerus soal pentingnya satu komando. Sekarang kelihatan, toh, efektivitasnya?” Konsul Jenderal Cina di Surabaya, Gu Jingqi, menanyai saya pertanyaan retoris begitu ketika saya hubungi.
Khawatir ada warganya yang mempunyai keperluan mendesak sedangkan sejak tanggal 26 Januari seluruh alat transportasi umum dan pribadi akan dilarang beroperasi (kecuali kendaraan-kendaraan khusus yang sudah mengantongi izin), Pemerintah Cina sejak sehari sebelumnya sudah menyediakan 6.000 mobil yang dibagi-bagikan kepada kompleks-kompleks untuk dipakai secara cuma-cuma.
Takut warga Wuhan kekurangan bahan pangan selama lockdown, pemerintah langsung menyiapkan stok beras komersial sebanyak 5.000 ton, minyak goreng 4.000 ton, daging babi 5.500 ton, daging sapi halal 2.000 ton, dan gula 1.500 ton.
Itu masih belum ditambah dengan Badan Pangan pada Komite Reformasi dan Pembangunan Kota (shi fagaiwei liangshi ju) yang juga menyiapkan 16.300 ton beras dan 8.000 ton minyak goreng.
Ini juga belum termasuk stok darurat 1.550 ton telur ayam, 5.000 ton sayuran, 1.000 ton ikan segar, 200 ton daging sapi halal, dan 6.000 ekor babi yang dipersiapkan untuk kebutuhan Imlek.
Intinya, ketersediaan pangan selama lockdown di Cina yang bertepatan dengan perayaan tahun baru Imlek itu jadi aman terkendali. Sebegitu detail persiapannya, ini kalau jin-jinnya Bandung Bondowoso tahu, daftar CPNS ke Cina paling mereka semua ini.
“Tapi sebelum kami dievakusi ke Natuna pada 1 Februari, ada beberapa harga makanan yang naik, Mas,” kata mahasiswa Indonesia dari Wuhan yang mau disebut namanya sebagai Arifa saja.
Saya menghubunginya beberapa hari lalu. Dia mewanti-wanti saya untuk tidak menuliskan nama aslinya di sini.
“Dengan parahnya virus ini di Indonesia sekarang, kami eks mahasiswa Wuhan mendapatkan diskriminasi di lingkungan kami sendiri,” keluhnya.
Untungnya, begitu mengetahui banyaknya warga Wuhan yang komplain di medsos gara-gara kenaikan harga bahan-bahan pokok, otoritas terkait di Wuhan segera mengambil tindakan tegas dengan memberi peringatan langsung kepada penanggung jawab toko yang diketahui beraji mumpung menaikkan harga jualannya secara tidak wajar. Mereka juga mengirim pengawas untuk menginspeksi pasar.
“Sekarang harga bahan pokok di pasaran sudah normal seperti dulu sebelum corona. Bahkan, karena intervensi pemerintah, malah ada penurunan harga. Terutama harga daging babi!”
Warga Wuhan bernama Gong bercerita ke saya lewat pesan singkat sambil menambahkan “hahaha” setelah menuliskan kata “babi”.
“Pemerintah juga memberikan subsidi ‘ai xin cai‘ (sayur cinta) sebanyak 5 kg. Harganya cuma 10 yuan. Isinya ada sawi, kentang, dan wortel,” lanjutnya.
“Cuma ya itu,” Gong terus bercerita, “kami tidak boleh keluyuran. Di rumah terus. Kayak ‘sayur cinta’ itu, itu kami belinya online. Ada yang meng-koordinir di grup Wechat kompleks kami tinggal. Siapa saja yang mau beli tinggal kasih tahu. Nanti belanjaannya diantar ke pintu gerbang kompleks. Ambil di sana sendiri. Tapi untuk kaum lansia dan disabilitas ada relawan yang ngantarin. Selama lockdown kami tidak bersentuhan dengan orang luar sama sekali, pokoknya.”
Saya lantas mengirimkan foto kupon keluar-masuk (churu quan) yang saya dapat dari internet kepadanya.
“Oh, tidak semua kompleks punya kupon itu. Yang punya cuma kompleks yang dipastikan tidak ada orang yang kena corona di sana. Itupun tidak semua orang boleh keluar. Tiap keluarga hanya boleh ada satu yang keluar tiap harinya. Misal untuk beli-beli. Itu saja dibatasi dua jam dan belanjanya di toko yang ada di sekitar kompleks mereka,” terang Gong.
Gong seperti bisa membaca pikiran saya. Di saat saya bingung bagaimana caranya mendapatkan kupon itu, Gong membalas, “Tinggal tunjukkan barcode kesehatan (jiankang ma) ke penjaga gerbang kompleks. Kami dapat barcode kesehatan dengan mengisi kondisi kesehatan kita di Wechat. Terutama suhu tubuh kita. Itu tiap hari kita harus isi.”
Sampai di situ saya mulai paham kenapa saban hari saya juga harus melaporkan kondisi terkini kesehatan saya kepada kampus melalui Wechat—sekalipun saya sudah berada di Indonesia.
Bedanya, saya melapor agar nanti bisa diterima kembali masuk ke Cina, sedangkan orang Wuhan melapor supaya bisa keluar untuk sekadar belanja sekalipun dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
“Kok nggak keluar diam-diam aja?” goda saya kepada Gong.
“Nggak berani.”
“Sama pemerintah?”
“Kedua-duanya: takut sama pemerintah, lebih-lebih takut sama virusnya. Karena satu orang saja yang kena, maka satu keluarga di rumah…”
Dia menyuruh saya mengisi sendiri titik-titik itu. Belum selesai saya mengetik jawaban, Gong sudah menjawab implisit duluan, “Ini semua demi kesehatan orang-orang di sekitar kita.”
Jawaban Gong itu membuat saya bergidik. Kalau keluarga kaya yang kena, mereka tentu tidak akan kesulitan mendapatkan akses kesehatan terbaik karena tidak dipusingkan oleh biaya, lah kalau yang miskin yang kena?
Saya langsung kirim Wechat kepada Gu Jingqi dan Konjen Cina di Surabaya ini tak membuat saya harus menunggu lama untuk mendapatkan balasannya.
“Semua biaya pengobatan warga Cina yang positif corona ditanggung oleh negara. Termasuk biaya makan dan tempat tinggal orang-orang yang dikarantina untuk observasi medis,” kata Konjen Gu melalui voice note.
Saya lega mendengarnya. Tapi bagaimana dengan mereka yang kehilangan pekerjaan selama lockdown oleh Pemerintah Cina? Saya melempar pertanyaan itu kepada Gong.
Gong menjelaskan ada subsidi untuk kaum disabilitas dan untuk warga miskin yang kehilangan pekerjaan lantaran tidak bisa keluar untuk bekerja.
“Subsidinya empat kali lipat dari tunjangan yang diterima mereka tiap bulan. Itu langsung diberikan sekaligus. Tidak diangsur. Bagi yang tinggal di kota, tiap bulan, kan, mereka dapat 780 yuan; sedangkan yang di desa 635 yuan. Nah, itu tinggal dikalikan 4 saja. Perusahaan-perusahaan juga diminta tetap membayar gaji pokok karyawannya. Tapi pemerintah juga memberikan beragam keringanan kepada perusahaan-perusahaan.”
Saya cuma bisa geleng-geleng kepala karena saking komplitnya kebijakan lockdown di Cina ini.
Tak heran kalau The Wall Street Journal dalam artikel yang ditayangkannya pada 24 Maret 2020 menyimpulkan:
Eropa dan Amerika kalau cuma mau meniru lockdown-nya saja tanpa mau mencontoh apa saja yang dilakukan Pemerintah Cina setelah membuat kebijakan lockdown-nya itu, maka mereka tidak akan menemui hasil yang signifikan dalam penanganan wabah corona di negaranya.
Itu Eropa dan Amerika. Indonesia? Nggak perlu ditanya lah ya. Pasti bisa.
Seribu candi aja bisa dalam semalem, apalagi hanya beberapa rumah sakit. Cuman, begitu rumah sakitnya kelar dibangun, pasiennya ke pengobatan alternatif semua.
BACA JUGA “Corona Series” dari NOVI BASUKI lainnya.
Penjelasan Sederhana Kenapa COVID-19 Sukses Serbu Cina (Bag. 1).
Watak Politik Cina dari SARS sampai ‘Lockdown’ Corona (Bag. 2).
‘Lockdown’ Wuhan Telat 5 Hari Aja, Korban Corona Bakal 3 Kali Lipat dari Sekarang (Bag. 3).
Cina Emang Bisa Bikin RS Saat ‘Lockdown’, tapi Indonesia Jago Bikin Ribuan Candi (Bag. 4).
Bagaimana Orang-orang Desa di Cina Melawan Corona? Apa Mirip dengan di Indonesia? (Bag. 5).
Alasan Simpel Kenapa Cina Akhirnya Bisa ‘Menang’ Lawan Corona (Bag. 6).