Dear Mas Mark,
Terima kasih banyak karena sudah mengerti penduduk Indonesia, khususnya Jakarta.
Setelah teror di Sarinah, bom-bom meledak dan orang-orang ditembak, Mas Mark dan Facebook diam saja. Meski kami (khususnya Jakarta) adalah satu dari tiga pemakai aplikasimu yang paling tinggi di dunia (63 juta orang).
Diammu emas, Mas Mark. Tidak ada fitur Safety Check buat Jakarta, walau penembakan terjadi di wilayah paling penuh eksekutif muda dan kelas menengah hehek Jakarta. Apalagi filter bendera, meh.
Tapi menurut saya, perlakuanmu kepada pengguna Facebook Indonesia sudah benar. Saya pribadi kagum dengan kemampuan analisamu yang sangat tajam, tahun lalu Mas mengunjungi Tanah Abang bersama Presiden kami. Mas Mark mudah sekali mengerti karakteristik kami.
Kamu memang hebat, Mas. Kamu pasti sudah memperhatikan dan paham betul hal-hal berikut ini pada orang Jakarta:
Pertama, Orang Jakarta Tidak Kabur dari Teror. Kami Mendekati Teror, kadang Kamilah Teror!
Kamu pasti melihat di siaran TV streaming, bahwa ketika ada ledakan dan penembakan, banyak orang malah berkerumun untuk melihat lokasi dan mengambil gambar melalui HP mereka.
Orang Jakarta sudah sangat melek internet dan benar-benar tahu bagaimana menjalankan citizen journalism. Perilakunya sudah 11-12 dengan jurnalis perang profesional tapi bodrek: tak kenal takut, tak sayang nyawa, dan tak punya etika.
Lihat saja betapa cepat foto-foto mayat menyebar melalui grup Whatsapp (yang sudah Mas Mark beli itu). Para Jurnalis Rakyat ini tak peduli apa efek foto mayat itu pada orang yang melihat. Mereka tak bisa membayangkan, bagaimana kalau yang ia sebar itu adalah foto mayat saudaranya sendiri. Lalu ada yang komen: “Kalau saya malah senang melihat foto mayat saudara sendiri, jadi tahu pasti kabar saudara saya.” Sampeyan mabuk, Bro. Pulang sana.
Mereka salut kepada tukang Sate yang tetap kerja sementara mereka sudah sibuk dalam insiden—beberapa waras dan bersembunyi, sisanya maju mencari mati. Mereka lupa bahwa jangankan teroris, kuntilanak saja tukang sate tidak takut
Kedua, Netizen Senewen kalah Cepat dengan Aplikasi Transportasi
Di serangan Paris, reaksi netizen terhadap serangan teror adalah hashtag #porteouverte, buka pintu, untuk menawarkan perlindungan kepada siapapun yang tak bisa pulang. Di Sarinah, ini tentunya tak mungkin dilakukan, karena wilayah itu agak jauh dari pemukiman—kalaupun ada, kemungkinan besar ilegal untuk siap-siap digusur koh Ahok. Apartemen terlalu mewah untuk membukakan pintu, dan orang Jakarta lebih takut orang Jakarta lain daripada orang Paris takut pada Turis.
Inisiatif Netizen setelah berita (atau rumor) menyebar sangat khas Indonesia, Mas Mark pasti tahu: membuat hashtag menjadi trending. Ada beberapa hashtag yang lewat timeline saya, Mas. Trending pertama tentu doa karena kami bangsa yang (mengaku) beragama, #prayforjakarta. Trending kedua dramatisasi, #jakartamencekam. Dan trending ketiga adalah simpulan yang agak terlambat, #kamitidaktakut.
Ya, kami memang tidak takut, tapi kami panik. Kami menyebar informasi yang prematur dan menularkan kepanikan kepada semua orang. Kami tidak kepikiran untuk menyelamatkan nyawa orang lain secara viral, misalnya dengan menawarkan kendaraan kepada yang membutuhkan. Tak ada hashtag #kuantarkaupulang. Yang ada gerakan-gerakan sporadis macam kepahlawanan tukang Gojek menyelamatkan wanita muda, damsel in distress.
Bicara soal Gojek, kita bicara soal inisiatif ‘kemanusiaan’. Ketika Netizen tidak kepikiran menawarkan kendaraan, perusahaan ini, juga Grabtaxi, menawarkan jasa gratis dalam keadaan darurat. Mas Mark pasti bertanya-tanya: dengan Gojek, gimana cara kabur dari teroris bersenjata api? Saya juga bingung, Mas. Mungkin nanti ada fitur baru pengendara dan penumpang Gojek dilengkapi jaket anti peluru.
Ketiga, dalam Kepanikan Mari Cari Kambing Hitam
Sebagai mantan hacker kelas dunia, Mas Mark harusnya sudah dengar soal gejala website abal-abal di Indonesia yang selalu lebih viral daripada berita sungguhan yang dibuat profesional. Salah satunya adalah website dengan kandungan kata ‘Piyungan’. Beritanya: ini bukan salah teroris, tapi ini pengalihan isu soal Freeport.
Kecepatan menyebarnya isu ini mungkin adalah hal yang membuat Mas Mark dan kawan-kawan di Facebook peduli setan dan putus asa pada bangsa kami. Bayangkan, kami sangat peduli Papua, hingga saat-saat genting orang-orang mati di jalanan, kami berpikir soal Papua dan membuat teori konspirasi. Kami percaya bahwa pemerintah kami bisa sejahat itu terhadap orang Jakarta demi menjahati orang Papua lebih jauh.
Haibat!
Kalau soal Freeport dan uang dan foya-foya dan main golf dan pesawat jet, kami memang cepat naik pitam dan cari hubungan-hubungan yang jauh-jauh. Tapi kalau soal penindasan tentara terhadap rakyat Papua, soal anak-anak kecil dan para dokter yang meninggal, kami cepat lupa kok.
Uang jauh lebih penting daripada nyawa! Nyawa mah, apah!? Cuma pemberian Tuhan saja kok. Kami lebih kangen akhirat!
Jadi, Mas Mark, kami mengerti ketidakpedulian Mas Mark. Kami setuju bahwa kami tidak butuh Facebook untuk menyelamatkan nyawa—toh kami tidak peduli-peduli amat. Kami cuma butuh Facebook dan media sosial lain sebagai lapak debat kusir saja. Toh, kami sudah pernah icip-icip jadi warga dunia pertama waktu serangan di Paris, sekarang kami bahkan kesampean bisa bikin simbol monas seperti simbol Serangan Paris.
Yiay! Senangnya jadi kelas menengah kota yang kreatif dan inovatif.
Mas Mark tidak perlu khawatir kehilangan pelanggan. Kami mengerti. One hundred percent!