Seumur hidup yang baru menginjak usia setara Afi Nihaya Faradisa ini, saya tidak pernah punya pengalaman mistik, horor, atau entah apapun itu namanya. Paling banter, saya hanya pernah mendengar bunyi benda bergeser atau barang terjatuh dari arah dapur. Walaupun terjadi tengah malam, tapi hal itu masih bisa dibantah dengan asumsi sederhana: tersenggol kucing.
Selebihnya, cerita soal penampakan hantu papan atas Indonesia hanya saya dengar dari pengalaman temannya teman yang informasinya sumir belaka. Misalnya, ada orang yang katanya pernah melihat sosok asing di dalam rumah sementara anggota keluarga lain tidak melihat hal yang sama, melihat makhluk hitam berukuran kecil yang dicurigai sebagai tuyul, kaki dicengkeram oleh tangan tak bertubuh, dan lain sebagainya.
Karena tidak pernah mengalaminya sendiri, saya belum merasa sepenuhnya percaya akan hal-hal semacam itu. Keyakinan ini masih bergeming di pertigaan antara ‘percaya’, ‘tidak percaya’, dan ‘entahlah’. Sampai suatu ketika … saya mendengar sebuah cerita horor, langsung dari penyintasnya.
Ceritanya kurang lebih begini:
Di sebuah malam yang biasa, teman saya—sebut saja Beyoncé, terdampar sebatang kara di lantai 2 rumah kosannya. Kala itu, teman-temannya sudah pada raib, mudik ke kampung halaman masing-masing. Di lantai 1 sebenarnya masih ada seorang penghuni lagi. Hanya saja, orang itu adalah penghuni baru yang bahkan belum pernah ditemui Beyoncé sebelumnya. Artinya, keberadaan orang itu tidak begitu banyak faedahnya.
Beyoncé sendiri sebetulnya sudah ingin pulang ke rumahnya yang berada di kota Subang. Sial, keesokan harinya dia ada jadwal bimbingan skripsi yang tak mungkin dibatalkan. Lagipula, bahan skripsinya kala itu belum rampung. Jadi, mau tak mau malam itu dia harus tetap tinggal sambil menyelesaikan Bab IV skripsinya—Bab paling terkutuk dari semua Bab yang ada.
Maka, di sanalah dia … sendiri … berkalang sepi … sambil mengerjakan skripsi. Suatu momen yang nantinya akan dia kenang selamanya sebagai sebuah kesialan pangkat tiga.
Tersebab hanya ada dua orang di sebuah bangunan dua lantai dengan delapan kamar, maka malam itu suasana rumah kosan terasa lebih mencekam. Namun, Beyoncé tidak merasakan firasat apa-apa (ini karena teman saya namanya Beyoncé, bukan Marcel). Kesunyian tidak berhasil mengusiknya. Dia membatin, “Ini bukan malam Jumat, kok. Harusnya, sih, enggak ada kejadian apa-apa”.
Untuk menggerus sepi yang lama-lama terasa kian menebal, Beyoncé memutuskan untuk menyalakan televisi. Tentu saja kotak berukuran 14 inci itu tidak secuil pun mendapatkan perhatiannya. Semuanya sudah dirampok si skripsi jahanam. Hanya saja, dia masih ingat kalau saluran televisi yang mengudara saat dinyalakannya adalah Indosiar.
Sekian lama Beyoncé mengerjakan skripsi, tak ada satu pun kejadian mistis terjadi. Sampai saat jarum jam menunjuk angka 11 … keganjilan demi keganjilan mulai berdatangan.
Semuanya diawali dengan televisi yang tiba-tiba berganti saluran (iya, mirip adegan di film-film horor gitu). Beruntung, kejadian ini tidak disertai adegan keluarnya Sadako. Tingkat kesialan Beyoncé rupanya tidak sedemikian tinggi.
Walaupun mungkin terlambat disadari, tapi dia benar-benar yakin bahwa kejadian itu nyata. Alasannya, saluran televisi itu kini sudah berubah jadi RCTI.
Bulu tengkuk Beyoncé pun perlahan meremang…
Tidak berselang lama, kejadian ganjil lain menghampiri. Kali ini terdengar bunyi seseorang berucap “Heh!” dan “Ssst! Ssst!” yang cukup kencang. Entah dari mana sumbernya. Beyoncé mulai panik. “Anjir, apaan ini?” pekiknya dalam hati.
Di tengah kepanikan, dia tidak terpikirkan apapun selain menelepon seseorang untuk meminta bala bantuan. Maka, digapainya gawai yang berada di dekat meja televisi.
Terpujilah dewa-dewi pencipta modernisasi! Gawainya tidak ujug-ujug mati, nge-hang, hilang sinyal, atau apalah seperti cerita yang mungkin ada di sinetron Indonesia. Beyoncé patut bersyukur untuk hal itu. Dan yang lebih patut disyukurinya lagi, yang dia gapai benar-benar gawai, bukan sepotong tangan buntung atau sebiji kepala berdarah.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Saat dia hendak menelepon, tiba-tiba telinga kanannya menangkap suara tawa yang begitu nyaring: “Hihihihihiii!”. Suara itu benar-benar nyata dan memekakkan telinga. Sumbernya diduga berasal dari arah toilet di dekat tangga.
Awalnya, tawa itu cuma terjadi satu kali. Namun, yang empunya tawa, yaitu si tante—you know who, sepertinya ketagihan dan mengulangnya kembali hingga berkali-kali (curiga, sih, si tante baru tamat mengonsumsi jamur tahi sapi).
Tak terpikirkan oleh Beyoncé untuk lari keluar meninggalkan rumah kosan itu. Yang dia rasa, dia akan lebih aman jika berada di dalam kamar. Lebih tepatnya, di dalam naungan selimut yang ada di dalam kamar. Lagi pula, jika sampai membuka pintu, dia takut akan bertatap muka dengan sesuatu yang tidak diharapkannya. Untung dari segala untung, si tante memang hanya tertawa dan tidak sampai hati menampakkan diri.
Dengan tangan gemetar, peluh yang mulai luruh, dan air mata yang tak sadar telah tercerabut dari tempatnya, dia mulai memencet nomor telepon yang ada di dalam gawainya. Tapi, dasar orang yang sedang panik, dia malah menyambungkan diri ke nomor telepon sang mantan. Alhasil, tak ada jawaban.
Setelah menelepon beberapa teman lain yang berakhir sama seperti saat menelepon orang pertama, barulah dia menelepon saya. Kevarat!
Pada akhirnya, Beyoncé pun berhasil dievakuasi dan kemudian bertengger manja di kasur kamar saya. Dia pun menceritakan semua yang dialaminya sembari sesenggukan. Romannya yang biasa menunjukkan keceriaan, malam itu sama sekali tidak tampak. Yang terlihat hanyalah jejak-jejak rasa takut yang cukup dalam lagi mengkhawatirkan.
Sejak saat itu, saya dan segenap shinobi Konoha percaya bahwa entah apapun namanya, mereka benar-benar ada di sekitar kita. Lengkap dengan kejailannya.
Cukup sampai di sana, Anda tidak perlu mendoakan saya untuk berjumpa langsung dengan mereka. Cukup, Dadang.