Melalui Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang didirikannya, Tatik Isnaeni (45) atau akrab dipanggil Bu Nani tidak ingin pengalaman buruknya terkurung di rumah dan tak sekolah dialami oleh anak-anak berkebutuhan khusus lainnya. Ia ingin anak-anak tersebut bisa sekolah, punya teman dan bermain layaknya anak-anak.
***
Pagi itu, hari Senin ketika bulan Maret 2021 akan segera berakhir, saya berkunjung ke PAUD yang di dirikan Bu Nani. Ia seorang penyandang disabilitas fisik atau tuna daksa dengan kaki kecil sejak lahir. Saya mengenalnya sudah lama karena sering bertemu dalam forum umum atau khusus disabilitas.
Tak hanya bertemu di forum formal, saya juga sering bertemu saat pertemuan informal seperti sekadar makan bersama. Termasuk saat saya datang ke rumahnya di Kampung Ringinlarik, Musuk, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi rumahnya cukup terpencil di kaki Gunung Merapi.
Saat itu, hari masih pagi, pukul 07.45 WIB. Saya sampai di lokasi yang ditunjukkan Google Maps. Sebuah ayunan bertengger di halaman rumah bercat cokelat terang itu. Di halaman yang sama, saya juga melihat ada ruangan yang terpisah dari rumah Bu Nani. Di depan ruangan itu, terdapat banner bertuliskan ‘PAUD Inklusi’.
“Silakan masuk, Mbak. Bu Nani masih di rumah, sedang bersiap-siap,” kata Ibu Aya seorang pengajar berbaju merah yang mengenakan jilbab hitam mempersilakan saya masuk. Ia tersenyum sambil menggendong anaknya yang masih berumur 5 bulan. Saya masuk sambil dan berbicang-bincang dengan pengajar tersebut.
Tak lama setelah itu, beberapa murid dan wali murid datang. Total ada 4 murid yang masuk pada hari itu dari 10 murid. Ada 2 non-Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan ada 2 Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang datang. Dari 4 murid tersebut, ada salah satu murid laki-laki yang menarik perhatian saya. Sejak awal kelas sampai akhir kelas, murid laki-laki itu menangis. Ia hanya akan berhenti sebentar ketika ia membuang mainan-mainan yang dikumpulkan dalam sebuah kotak, melakukan itu terus menerus. Murid laki-laki itu datang bersama neneknya, Sri Mulyani.
Di tengah proses mengamati, Bu Nani datang dengan kursi rodanya. Sang keponakanan perempuan yang masih remaja membantu Bu Nani untuk masuk ke ruangan PAUD Inklusi. Saat itu Bu Nani mengenakan baju yang sama dengan yang digunakan Bu Aya.
Bu Nani menyapa saya dengan senyum, “Mbak, nanti silakan berbaur dengan anak-anak dulu. Biar tahu proses belajarnya seperti apa,” ucap Bu Nani kepada saya.
Tak pernah diizinkan sekolah dan keluar rumah
Sekitar pukul 10 pagi, doa pulang ke rumah dipanjatkan guru dan murid. Setelahnya, kelas yang awalnya ramai kini sepi, murid dan guru telah pulang. Di kesempatan itu, saya berbincang-bincang dengan Bu Nani.
“Dua puluh satu tahun saya terkurung di rumah, kemudian memberanikan diri keluar dari penjara ini, rasanya begitu luar biasa,” ucap Bu Nani sambil matanya berkaca-kaca. Perempuan berkacamata ini mengenang awal perjuangannya untuk keluar dari lingkaran sosial yang mengurungnya karena dia seorang disabilitas.
Menurutnya, dulu masyarakat menganggap difabel adalah orang yang harus disembunyikan, sehingga selama 21 tahun di masa mudanya, ia terkurung di rumahnya sendiri.
“Saya mendirikan PAUD ini di tahun 2015 karena pengalaman pribadi. Saya nggak punya teman, nggak diajak main, nggak bisa sekolah formal,” ungkapnya.
Meski, orang tuanya seorang guru, akses pendidikan formal tidak ia dapatkan. Akhirnya ia nyolong ilmu saat ayahnya memberikan pelajaran tambahan atau les berupa baca tulis kepada murid-muridnya di rumah. Saat itu karena bentuk kakinya yang kecil, ia ngesot untuk aktivitas sehari-hari.
“Saya masih ingat bapak nulis lagu kemerdekaan, terus dibaca bersama-sama. Saya belajar secara otodidak dari situ,” kata Bu Nani. Ia bercerita, saat kecil sempat mengutarakan keinginannya untuk belajar seperti anak-anak yang lain. Namun, saat itu ayahnya justru marah.
Baru keluar rumah setelah dua puluh satu tahun
Perjumpaannya dengan dunia luar terjadi saat usianya menginjak 21 tahun. Diam-diam ia berkirim surat ke Rehabilitasi Centrum (RC) Rumah Sakit Ortophedi Prod Dr R Soeharso, Solo. Berkat surat itu, ia akhirnya bisa mengenal dunia luar secara nyata. Tidak hanya dari bacaan atau cerita saja.
“Saya ikut program pelatihan keterampilan menjahit selama tiga bulan. Saya ingat itu pertengahan tahun 1996,” katanya. Ia sempat melanjutkan aktivitas di RC selama 1,5 tahun untuk belajar berbagai kerajinan tangan. Di saat bersamaan ia juga mulai beradaptasi menggunkan kursi roda setelah bertahun-tahun ngesot. Ia juga mendapat fasilitasi untuk melakukan operasi pada salah satu kakinya.
Semangat belajarnya menggebu-nggebut. “Setiap ada training apapun kalau bisa tak parani,” kata Nani mengenang. Kesempatan keluar dari rumah ia gunakan untuk hal-hal bermanfaat seperti ngajar Taman Pendidikan Alquran (TPA), ia juga pernah belajar di pesantren Daarut Tauhid di Bandung.
Bu Nani sempat bekerja di rumah butik selama 1,5 tahun di Solo, ngajar keterampilan di pondok pesantren, mengajar ibu-ibu di perumahan. “Pokoknya apa saja yang bisa saya lakukan,” kata Nani. Tahun 2012, Nani mulai aktif berorganisasi. Ia menjadi salah satu pendiri Forum Komunikasi Difabel Kabupaten Boyolali, dan aktif sampai sekarang.
Masih ada yang menganggap difabel harus disembunyikan
Tahun 2015, cita-citanya untuk mendirikan PAUD Inklusi akhirnya terwujud. Ia menamakan sekolahnya PAUD Inklusi Tersenyum. “Selain karena alasan pribadi, saya melihat banyak anak-anak yang ditolak sekolah sekalipun di sekolah inklusi. DI SLB juga ditolak, ya sudah, akhirnya kita membuat sekolah sendiri untuk semua jenis ABK, semua usia. Jadi kita bantu mereka untuk masuk ke pendidikan selanjutnya,” kata Bu Nani.
Menurutnya, alasan penyandang disabilitas sulit untuk mengakses pendidikan tidak hanya karena sulitnya masuk sekolah. Penyebab lain adalah karena keluarga orang dengan disabilitas malu untuk menunjukkan anaknya ke masyarakat.
Lebih lanjut, Bu Nani mengungkapkah bahwa salah satu yang harus diperbaiki adalah pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa difabel sebagai manusia yang harus disembunyikan, pantas dilecehkan, dan pantas dijauhi.
“Ada masyarakat yang memandang difabel kan suatu yang harus disembunyikan, harus dijauhi. Sebelum tahun 2014, pemahaman orang-orang awam tentang difabel itu, misal suatu keluarga mempunyai difabel berarti keluarga itu mendapat kutukan,” ujar Bu Nani.
Bu Nani mengungkapkan jika penyandang disabilitas sering diidentikkan dengan peminta-minta di jalan. Menurutnya, hal itu terjadi karena penyandang disabilitas sulit masuk ke dunia pendidikan, maka ia akan rentan terhadap kemiskinan dan akan sulit memutus rantai kemiskinan.
“Dulu kita dianggap sebagai peminta-minta karena kita nggak punya pekerjaan. Kenapa nggak bisa bekerja? Karena dulu tidak bisa sekolah. Kenapa tidak bisa sekolah? Karena sekolah nggak mau menerima. Kenapa tidak mau menerima? Ya karena sekolah tidak ada alatnya, tidak ada Guru Pendamping Khusus (GPK)nya. Lha mengapa orang tua nggak mau menyekolahkan? Karena orang tuanya malu,” papar Bu Nani.
Bu Nani berharap dengan dibukanya PAUD Inklusi, pola pikir masyarakat yang menganggap difabel sebagai peminta-minta dan hal yang memalukan akan terpotong sedikit demi sedikit. Menurutnya, kunci untuk memutus pola pikir kuno tersebut dan memutus rantai kemiskinan difabel adalah dengan pendidikan.
Tak hanya membuat PAUD, Bu Nani juga menyatukan murid ABK dan non-ABK dalam satu kelas. Bu Nani ingin antara murid ABK dan non-ABK bisa menerima satu sama lain. Menurutnya, penanaman pola pikir bahwa ada penyandang disabilitas di sekitarnya dan mereka bukanlah orang yang harus dijauhi memang harus ditanamkan sejak usia dini.
“Pemahaman ini lho ABK juga temanmu, cuma mereka sedikit berbeda. Dengan begitu, nanti kalau anak-anak sudah dewasa, mereka akan paham dengan sendirinya, dan mereka akan menerima ABK. Saat ABK menjadi dewasa mereka bisa diterima masyarakat. Itu harapan saya,” jelas Bu Nani
Walaupun murid ABK dan non-ABK disatukan dalam satu kelas, Bu Nani menjelaskan bahwa tetap ada perbedaan dalam mengajar. Perbedaan tersebut hanya dalam waktu mengajarnya, biasanya murid ABK akan diberikan waktu khusus sebelum atau sesudah pembelajaran bersama. Jam khusus tersebut digunakan untuk mengajar dan berkomunikasi secara intensif kepada murid ABK.
“Jadi begitu murid ABK datang, kami tanyai mereka sudah mandi belum, kalau belum ya ke kamar mandi untuk mandi, ya kita mandikan.” Ungkap Bu Nani.
Menurutnya, poin penting untuk ABK itu cakap diri. “Materi cakap diri ini terdiri dari bisa pakai baju sendiri, ke kamar mandi sendiri, butuhnya apa aja? Ada air, handuk gayung, odol, dan lain-lain. Kalau non-ABK tidak perlu diajari lagi, cukup diingatkan.”
Tidak hanya ABK, Isnaeni juga buat kelas untuk orang tuanya
Tidak hanya membina ABK, PAUD Inklusi juga membina orang-orang di sekitar ABK itu. Jadi saat anak mereka bersekolah, orang tuanya berproses. Di saat yang sama, Bu Nani juga memberikan kelas kepada orang tuanya, seperti kelas marajut, menjahit, mengolah kain perca dan kerjainan lainnya.
“Orang tua yang punya anak ABK belum tentu paham akan kebutuhan si anak,” jelas Bu Nani dengan nada yang lebih tegas. Dengan begitu, Bu Nani ingin di saat yang bersamaan, orang tua dapat belajar tentang dunia disabilitas sambil belajar keahlian baru. Ia menjelaskan bahwa PAUD Inklusi tak hanya diajar oleh pengajar, namun dibantu juga relawan seperti relawan medis, relawan terapis dan relawan pengajar.
Lebih lanjut, Bu Nani mengatakan bahwa tujuan dicampurkannya murid ABK dan non-ABK juga untuk membuat wali murid mereka berkumpul. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan diri orang tua dengan anak berkebutuhan khusus. Menurutnya, pada saat berkumpul bersama maka orang tua anak dengan kebutuhan khusus bisa saling menguatkan. Tak hanya itu, orang tua dengan anak non-ABK bisa lebih memahami kesulitan orang tua dengan anak difabel. Sehingga akan saling mengerti satu sama lain.
Harapan untuk ABK di masa depan
Setelah selesai berbincang di PAUD Inklusi, Bu Nani mengajak saya untuk mengunjungi rumah salah satu wali murid ABK, Sri Mulyani. Masih ingat dengan anak yang menarik perhatian saya sejak awal jumpa, kan?
Saya kemudian membantu Bu Nani untuk masuk ke rumahnya. Kemudian Bu Nani menyiapkan sepeda motornya, sebuah sepeda motor yang telah dimodifikasi khusus untuk pengguna kursi roda. Sepeda motor itu berwarna hitam dengan roda tiga. Ada dua bagian, yang pertama bagian kemudi dengan ruangan besar untuk tempat kursi roda. Yang kedua bagian jok penumpang di sebelah kanan tempat kemudi.
“Rumahnya dekat dari sini, paling nggak sampai 10 menit sudah sampai.” Terang Bu Nani sambil bersiap. Bu Nani kemudian mulai menghidupkan sepeda motornya dan saya mengikutinya dari belakang dengan sepeda motor. Tak lama, kami sampai di sebuah rumah dengan tembok batako berwarna coklat. Di halaman rumah, ada beberapa pohon alpukat dan singkong.
Saat sampai kami disambut oleh Sri Mulyani dengan senyum. Di samping rumah, saya melihat anak tadi sudah tidak menangis dan sedang bermain sendirian. Di sampingnya ada anak perempuan yang masih belajar berjalan, Bu Sri menjelaskan jika itu adalah adik dari murid ABK tadi.
“Maaf hanya seadanya,” ungkap Sri Mulyani sambil mempersilakan kami masuk. Pada kesempatan itu, Sri Mulyani banyak menceritakan mengenai pengalamannya sebagai wali murid ABK.
“Sebelum masuk PAUD, anaknya takut sama orang, dulu kalau diajak ketemu banyak orang pasti nangis, perubahannya walau nangis ya mau sama orang lain, contohnya kayak tadi minta dipangku mbaknya,” jelas Sri Mulyani. Ingatan saya kembali pada saat proses kegiatan belajar mengajar di PAUD, sang anak memang sempat minta pangku saya saat ia menangis.
Ketika kami berbincang, sang anak masuk kemudian mencium tangan kami sambil tersenyum. Kemudian ia keluar rumah lagi. “Sekarang sudah bisa senyam-senyum padahal tadi nangis dari awal sampai akhir, kan?” Ucap Sri Mulyani sambil tersenyum dan menatap ke arah cucunya yang berjalan keluar pintu rumah.
Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa ia yang merawat anak itu karena kedua orang tua anak tersebut bekerja sehingga Sri Mulyani yang merawat anak itu di waktu siang. Saat sore, sang anak diasuh oleh orang tuanya.
Sri Mulyani mengaku jika di PAUD Inklusi tak hanya cucunya yang belajar, namun ia juga ikut belajar. Ia diajari cara berkomunikasi dengan anak, selain itu dia juga diajari cara memijit anak agar sang anak bisa tenang. “Jadi dipijit di sini (kepala), terus sini (punggung) terus dipeluk, pokoknya diajarin semuanya,” ungkap Sri Mulyani sambil mempraktikkan pijitan ke tubuhnya sendiri. Lebih lanjut, ia juga diajari cara merajut, membuat bros, dan keahlian lainnya.
Saat ditanya mengenai apa yang membuat wanita berumur 47 tahun itu semangat mengasuh anak dengan kebutuhan khusus, Sri Mulyani menjawab dengan tegas, “Ya karena dia cucu saya. Dan itu sudah diberikan amanah oleh Allah SWT kan untuk merawat anak autis, ya memang kami sedang diuji kesabarannya, diuji mental dan semuanya. Apapun yang terjadi saya tetap merawat cucu .”
Sri Mulyani berharap jika anak berkebutuhan khusus dewasa, mereka bisa merawat dirinya sendiri, “Saya berharap supaya anak berkebutuhan khusus bisa mandiri, bisa mengurus diri sendiri yang penting. Bisa dan punya kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri.”
Titik Isnaini mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Apresiasi Pegiat PAUD, yang diterimanya pada 7 November 2019. Bu Nani ingin anak berkebutuhan khusus dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat dan diberikan hak yang sama. Ia juga berharap bahwa ABK dapat terlayani dengan baik dari pendidikan, kesehatan, sosial dan semuanya.
“Saya tidak ingin anak-anak dengan disabilitas sulit sekolah, sulit berteman, sulit bermain. Seperti saya dulu,” kata Bu Nani.
BACA JUGA Perempuan dan Walang yang Digoreng Dadakan dan liputan menarik lainnya.