MOJOK.CO – Orang-orang pada marah-marah ngeliat video tentang tips nongkrong hemat di Starbucks yang isinya adalah beli satu starbucks untuk dibikin tiga gelas. Lah, emang apa salahnya?
Videonya udah dihapus, jadi saya ceritain aja ya.
Jadi ada kreator konten yang ngasih tips cara nongkrong di Starbucks walau nggak punya duit. Triknya, kamu beli satu gelas minuman (kayaknya ukuran venti), terus minta tiga gelas lebih kecil yang diisi es batu doang. Habis itu, tuangkan isi minuman tadi ke tiga gelas itu dan simsalabim, ternyata tiga gelas itu bisa penuh dong.
Buat orang yang pernah jualan es, trik ini nggak mengejutkan karena emang menaikkan laba sering memakai cara yang sama. Misal kamu beli es milk tea atau es kopi atau es-es lain, cairannya sendiri aslinya bisa cuma setengah atau sepertiga gelas, tapi jadi full karena di gelas ada es. Cuma di video tadi, yang melakukannya pelanggan, bukan penjual.
Video itu terus dihujat, dan mungkin gara-gara itu kemudian dihapus. Alasan menghujatnya macem-macem, mulai dari dianggap ngerjain pegawai Starbucks, nambah-nambahin sampah plastik, sampai ke kritik kalau nggak punya duit kenapa maksa nongkrong di Starbucks sih?
Ramai-ramai debat itu di Twitter bikin saya jadi kepikiran, sejak kapan ya Starbucks nih jadi tempat yang ingin sekali orang kunjungi? Dan kenapa sih dia jadi sejenis tempat suci, sampai-sampai orang yang pengin nongkrong hemat dengan beli satu kopi dibikin tiga gelas dicaci maki karena dianggap menista?
Terus yang bikin Starbucks jadi standar tempat nongkrong tuh siapa sih? Apa kalo nggak nongkrong di Starbucks jadi nggak gaul gitu?
Jujur saja sebagai anak Jalan Kaliurang km 14 yang makanan paling fancy-nya Olive Chicken dan minuman paling hitsnya Fremilt, saya ngerasa can’t relate.
Karena penasaran, akhirnya saya nanya teman-teman saya yang tinggal di Jakarta dan suka nongkrong di sana setidaknya dua sampai tiga kali dalam seminggu.
Kata teman saya ini, Starbucks itu emang enak dijadiin tempat nongkrong karena tempatnya nyaman, kursinya empuk, wifinya kenceng, baristanya ganteng (heh?!), tapi yang bikin dia sering ke sana adalah, teman-teman kantornya emang udah biasa nongkrong di sana, jadinya, kalau nggak ikut ngebucks abis pulang kantor nanti tergusur dari pergaulan.
Soal harga, ya emang mahal, tapi kan kadang ada promo-promo. Dan kalaupun nggak ada, anggap aja tiap ke Starbucks, kita sedang menghadiahi diri sendiri karena sudah bekerja keras di hari-hari yang berat ini. Jadi ya, worth it lah pokoknya.
Jawaban teman saya ini saya pikir masuk akal, saya setuju dengan konsep self reward atas kerja keras yang sudah kita lakukan. Apalagi, hidup kita isinya kerja-kerja-kerja. Jadi ya apa salahnya melakukan konsumsi untuk beli makanan dan minuman mahal dari gaji kita untuk menyenangkan diri sendiri.
Sadar atau nggak sadar, beli barang atau makanan dan minumal mahal jadi penting karena diri kita bisa didefinisikan dari apa yang kita beli. Terkhusus bagi anak muda di perkotaan, dengan nongkrong di tempat fancy kayak Starbucks, dia meneguhkan identitasnya sebagai kelas menengah kota.
Karena alasan ini, kita sekarang mengasosiasikan diri dengan apa yang kita konsumsi, jadinya, ada orang yang marah ketika orang lain yang kelasnya berbeda berusaha mengimitasi kita. Soalnya, penyesuaian-penyesuaian yang mereka lakukan terlihat seperti sedang mengolok-ngolok dia.
Kasus orang beli kopi Starbucks satu tapi dijadiin tiga gelas kemarin misalnya, orang yang tersinggung karena selama ini dia menjaga kesucian Starbucks dengan cara membelinya dengan harga normal dan meminumnya seusai SOP. Dia bakal mikir, ngapain sih orang-orang itu, kalau miskin ya harusnya nggak usah maksain lah!!1!!
Padahal sadar nggak sih, padahal kita juga sebenarnya sedang melakukan hal yang sama persis dengan orang yang beli kopi Starbucks satu dijadiin tiga gelas itu.
Dengan kita minum Starbucks alih-alih minum es cendol, kita sedang mengimitasi gaya hidup orang lain–orang Barat. Buat apa coba kita meniru mereka?
Kita meniru agar tampak sejajar dengan mereka, meskipun aslinya, kita juga melakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu yang kalau orang Baratnya lihat langsung, kita juga bakal terlihat sedang mengolok-ngolok mereka.
Dalam kacamata poskolonialisme, yang kayak gitu tuh namanya “mimikri”. Ini konsep yang dicetuskan oleh teorerisi poskolonialisme Homi K. Bhabha.
Penjelasannya, masyarakat yang terjajah selalu ingin meniru orang-orang yang menjajah mereka agar bisa melihat diri mereka setara dengan orang-orang yang menjajah. Penjajah menjadi role model karena mereka selalu terlihat lebih superior di mata si terjajah.
Perilaku mimikri Ini adalah dampak dari interaksi panjang pribumi dan penjajah yang menimbulkan persepsi peniruan atas gaya hidup penjajah = standar terbaik yang bisa dibayangkan orang-orang terjajah.
Menurut Bhabha, perspesi itu tertanam dalam pikiran orang-orang yang terjajah karena mereka dicekoki bahwa kemajuan dibawa oleh penjajah sementara kultur mereka sendiri adalah terbelakang. Ketika persepsi itu sudah tertanam, si terjajah jadi berpikir bahwa usaha mendekati kemajuan harus dilakukan dengan cara mengikuti cara hidup para penjajah.
Mimikri dulu terjadi pada golongan priayi. Mereka terang-terangan melakukan peniruan terhadap pola pikir lisan dan tulisan, perilaku, juga gaya hidup orang kolonial. Nah, karena banyaknya pribumi yang meniru kolonial, mereka jadi bahan olok-olok tokoh kolonial.
Yang terjadi sekarang, orang-orang yang punya banyak uang dan privilese lah yang bertindak sebagai kelas kolonial tadi. Mereka mengejek orang-orang di bawah mereka yang berusaha mengikuti gaya hidup mereka (tapi gagal karena kurang modal).
Artinya, kalau kamu marah gara-gara ada orang beli Starbucks satu dijadiin tiga gelas, tanpa kamu sadari kamu sedang mengolok-ngolok dirimu sendiri. Jadi ya nggak ada ujungnya deh.
BACA JUGA Inferiority Complex Orang Indonesia: Ramah ke Bule, Galak ke Ras Sendiri atau esai NIA LAVINIA lainnya.