MOJOK.CO – Pernah bertanya-tanya kenapa Orang tua mu di masa muda nya terlihat begitu dewasa dan bisa diandalkan, sementara kita—di umur yang sama—malah berlaku sebaliknya?
Saya suka heran dengan diri saya sendiri. Di umur saya yang sudah 20++ (baca: plus plus) saya masih belum bisa melakukan banyak hal sederhana yang sebenarnya penting untuk dikuasai supaya bisa bertahan hidup. Seperti tidak bisa memasak, mencuci, memasang bohlam lampu, mengangkat galon, sampai membedakan mana dada ayam, mana paha atas, atau sayap kanan dan sayap kiri ayam ketika beli lalapan.
Padahal, pada usia yang sama, ibu saya sudah bekerja, menikah, dan punya anak laki-laki (kakak saya). Ibu saya juga secara ajaib bisa memperbaiki berbagai kerusakan yang ada di rumah. Terakhir saya lihat dia bisa memperbaiki setrika jadul kami yang sudah kurang panas. Saya tidak tahu dari mana beliau mempelajari itu. Intinya, tanpa susah-susah kuliah teknik elektro, ibu saya—saya pikir—sudah terkualifikasi sebagai elektrowati yang baik. Apaan tuh elektrowati?
Ibu saya pernah cerita bahwa dulu anak-anak perempuan seusia saya hampir semuanya mahir memasak, menjahit, meskipun tanpa mesin jahit, mereka setidaknya bisa menambal pakaian bolong, juga mengangkat beban yang relatif berat. Pun tak jauh berbeda dengan para lelaki. Waktu itu, sebagian besar mereka bisa bertukang dan bahkan bisa membangun rumah mereka sendiri. Mulai dari bikin rancangan, pilih-pilih bahan, menyusun satu per satu batu-bata sampai tercipta rumah yang kokoh. Dan lagi-lagi, semuanya tanpa perlu repot-repot kuliah arsitektur atau teknik sipil.
Sementara sekarang, saya yang sarjana sudah bisa apa? Oh jelas, tentu saja saya bisa menjelaskan berbagai teori Hubungan Internasional (HI) dan analisis politik luar negeri. Kalau itu masih terdengar kurang keren, saya juga bisa menganalisis diskursus pakai teori poststrukturalisme. Ngerti nggak kalian itu teori apa? Pasti nggak ngerti kan! Huahahahahaha~
Tapi sayangnya saya malah nggak ngerti kalau disuruh bedain mana kencur mana jahe, mana kunyit mana merica, mana lada mana ketumbar. Saya jadi sangsi, mana yang lebih berguna untuk kehidupan? Teori poststrukturalisme-nya Derrida atau pengetahuan atas bumbu dapur? Ya nggak usah dijawab lah ya, kan sudah ketahuan.
Saya kemudian jadi bertanya-tanya, kenapa ya orang dewasa zaman dulu lebih bisa diandalkan berbeda dengan orang dewasa zaman sekarang—ya termasuk saya ini.
Usut punya usut, setelah saya menggali google dengan dalam, saya menemukan jawaban atas hal itu. Ada banyak jurnal berbahasa inggris yang menjelaskan sebuah teori menarik bernama “Life History Theory”, teori ini adalah cabang dari evolutionary biology yang juga bersinggungan dengan adaptive psychology. Mamam, jadi ruwet gini.
Gini, gini, saya jelasin.
Kita tahu bahwa sebagai manusia yang hidup di sebuah planet yang bernama bumi, kita memiliki sumber daya yang terbatas karena kita harus berbagi dengan penghuni bumi lainnya. keterbatasan ini membuat kita harus melakukan berbagai pilihan (dan pengorbanan). Nah, kata si Life History Theory ini, cara kita membuat keputusan atas pilihan ini dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan kita pada masa kecil.
Misal, anak yang tumbuh dari keluarga misqueen, ketika punya uang, cenderung ingin langsung belanja (karena butuh banyak kebutuhan yang dianggap akan memperpanjang peluang dia untuk bertahan hidup), beda dengan anak yang tumbuh dari keluarga old money yang ketika punya uang cenderung untuk diinvestasikan (karena tidak lagi memikirkan bertahan hidup, dan lebih memilih untuk mengingkatkan well being di masa depan).
Secara sederhana, kata si Life History Theory ini, kondisi masa kecil manusia secara alamiah akan mendorong mereka mengambil salah satu dari dua strategi dalam menjalani kehidupan. Pertama fast life strategy, yaitu pada masa kecil si anak merasakan bahwa dunia ini kejam, tidak bersahabat, kompetitif, dan membahayakan. Maka dia akan tumbuh lebih impulsif, tumbuh lebih cepat, mempelajari banyak hal yang bisa mendukung mereka untuk bertahan di lingkungan yang sulit itu, dan mereka juga akan menikah lebih cepat untuk mendapatkan rasa aman.
Kebalikannya, slow life strategy diadopsi oleh mereka yang tumbuh dengan lingkungan yang bersahabat dan tidak mengancam kelangsungan hidup mereka. Anak yang tumbuh dalam lingkungan ini lebih banyak melakukan investasi melalui pendidikan dan tidak lagi merasa butuh untuk membentuk keluarga cepat-cepat karena lebih mementingkan self–development mereka terlebih dahulu.
Nah, orang tua kita zaman dulu, cenderung hidup dengan mengadopsi fast life strategy, ya wajar lah ya, mereka tumbuh dalam lingkungan yang tidak stabil; konflik, krisis ekonomi, represi negara, dan sebagainya, makanya mereka tumbuh lebih cepat, bekerja, dan mengambil tanggung jawab pada usia muda, dan sudah dewasa paripurna sehingga bisa menikah.
Beda dengan generasi milenial dan yang lahir setelahnya. Generasi ini tumbuh dalam lingkungan yang cukup stabil dan tanpa konflik. Maklum, orang tua mereka sudah bekerja keras bagai quda sejak muda. Sehingga mereka cukup mapan untuk naik tingkat masuk ke dalam golongan middle class untuk bisa mewariskan lingkungan yang aman (dan keenakan) dan membuat kita cenderung mengambil slow life strategy sejak dini.
Sebagai tambahan, saya pikir karena para orang tua zaman sekarang sangat sayang kepada anaknya serta tidak ingin anaknya merasakan kesulitan yang pernah mereka alami, generasi milenial yang keenakan ini akhirnya hidup dengan pola asuh yang berbeda, segala hal diberikan, yang penting si anak harus rajin belajar (dan kalau bisa juara azan dan hafal Al-Quran).
Dampak dari hal ini adalah kita tumbuh dengan kondisi over parenting yang membuat kita sedikit manja, takut bereksplorasi, takut membuat kesalahan, dan tidak bisa membela diri kita sendiri. Hal ini juga diamini oleh Lythcott-Haims seorang penulis terkenal cum mantan dekan Stanford University dalam bukunya How to Raise an Adult: Break Free of the Overparenting Trap and Prepare Your Kid for Success.
Saya kasih tahu hal yang lebih seram lainnya. Kemudahan yang diberikan teknologi, ditambah dengan kecanduan dari media memperburuk kemampuan adaptasi dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental seperti anxiety, insecurity, dan depresi. Melihat ini semua ya wajar saja kalau generasi saya cenderung belum dewasa dan takut menghadapi kehidupan yang sebenarnya.
Satu hal yang harus disyukuri sebenarnya adalah, ini terjadi pada mayoritas generasi kita, jadi jangan takut sendirian. Masih banyak kok orang dewasa yang bertindak kekanak-kanakan dan bermental 16 tahun seperti saya. Tapi tentu jangan terlalu tenang apalagi senang. Kita harus sedikit panik supaya bisa memikirkan jalan untuk keluar dari zona nyaman dan mulai belajar kehidupan.
Kalau saya sih, memulai semuanya dengan belajar untuk tidak nangisan. Kalau kata orang-orang di kantor saya jangan dikit-dikit “nangeeees, nangeeees!”