MOJOK.CO – Memutuskan untuk lepas hijab secara personal di Indonesia, bakal jadi persoalan komunal. Harus siap diadili.
Tulisan saya ini nantinya mungkin akan terasa nantangin bagi banyak orang—terutama bagi laki-laki muslim di Indonesia. Tapi, bagaimanapun ini pengalaman spiritual yang saya rasakan dan saya rasa perlu untuk membagikannya.
Akhir tahun lalu saya memutuskan lepas hijab. Bukan karena biar bisa memakai baju lengan sabrina ataupun biar bisa memakai floral dress dan berbagai model baju yang cute lainnya.
Saya lepas hijab secara sadar, melewati pergulatan batin yang cukup lama, dan saya belajar tentang berbagai perspektif berhijab. Pergulatan itu akhirnya bikin saya dipertemukan literatur soal aurat yang kontesktual dan mendengarkan pendapat para cendekiawan muslim.
Singkat pengalaman, saya awalnya membaca perspektif dari Prof. Quraish Shihab dan menonton berbagai tayangan video yang menayangkan pendapat beliau soal aurat perempuan.
Proses belajar saya tersebut lalu membawa saya menuju berbagai cendekiawan lain yang punya sensitivitas kontekstual Islam serta pemahaman gender, seperti Lailatul Fitriyah, Nong Darol Mahmada, Kiai Husein Muhammad, hingga keluarga Gus Dur.
Dari merekalah kemudian saya memahami bahwa Tuhan mengapresiasi elastisitas berpikir manusia sehingga perspektif soal aurat perempuan pun sebetulnya tidak monokrom, eh, monoton alias tunggal.
Saya tahu pengalaman belajar ini juga bentuk privilese yang mungkin tidak semua perempuan dapat mengaksesnya, jadi saya hormati siapapun yang tidak sepemikiran dengan saya.
Ketika saya memutuskan menanggalkan hijab, saya tidak sedikitpun memiliki keraguan atas agama ini.
Saya juga kemudian tidak merasa “telanjang” dan “ditelanjangi” dengan penampilan baru saya karena secara pribadi menyadari bahwa saya tidak membutuhkan simbol apapun untuk menikmati keintiman saya dengan Tuhan.
Sekali lagi ini perspektif saya. Pengalaman spritual saya. Kamu jelas bisa berbeda. Dan itu tak mengapa.
Di samping karena saya memiliki perspektif hijab yang berbeda dari kebanyakan orang (setidaknya di lingkungan saya), saya juga ingin lebih berempati pada perempuan yang tidak berhijab. Itu sedikit alasan saya yang lain soal keputusan lepas hijab ini.
Saya sangat melek akan hal itu. Perempuan berhijab lebih punya privilese di Indonesia belakangan ini. Setidaknya itu yang saya rasakan setelah sebelumnya saya memakai hijab dan kini menanggalkannya.
Dengan cukup jelas, saya mengetahui ada ketidakadilan justifikasi yang didapat teman saya yang berhijab dibandingkan saya serta kawan saya yang tidak berhijab.
Tanpa bermaksud misoginis, perempuan berhijab seringkali direduksi kesalahannya, walaupun terkadang terhitung fatal. Contoh termudah adalah, ketika perempuan berhijab melakukan tindak kejahatan, orang-orang cenderung komen, “Padahal berhijab.”
Memangnya kenapa? Memangnya hijab bikin kejahatan jadi nggak mungkin dilakukan oleh pemakainya? Dan ketika seseorang tidak pakai hijab melakukan hal kebaikan, yang terjadi juga terjadi dalam kadar sebaliknya, “Kurang nutup aurat aja padahal.”
Saya pikir itu hanya gejala yang berlangsung sebentar saja, terutama ketika tren hijab muncul. Tapi belakangan ini, stigma itu justru semakin mengerucut. Bahkan ketika ada seorang koruptor yang perempuan, bakal jadi pemandangan “lumrah” kalau ia mendadak pakai hijab untuk mereduksi kesalahannya.
Kembali lagi ke pengalaman spiritual yang saya alami. Sebelumnya saya mengatakan bahwa saya tidak memiliki keraguan apapun atas agama ini ketika mulai melepaskan hijab kepala.
Saya juga merasakan ada kesombongan yang pada akhirnya terlepas dari diri saya sekarang. Sebelumnya, saya merasa punya privilese dari Tuhan bahwa Dia lebih mencintai kami yang berhijab daripada perempuan lain yang tidak berhijab.
Dulu saya juga berpikir bahwa seberat apapun kelalaian kami, Tuhan tidak mungkin mengingatkan kami seberat perempuan yang tidak berhijab. Lingkungan saya yang konservatif memang menanamkan itu pada saya.
Ketika saya lepas hijab, pemikiran tersebut benar-benar terbantahkan karena Tuhan sering memberi saya kejutan. Terutama ketika menyaksikan orang-orang di sekitar saya yang gualaknya nggak ketulungan ketika tahu keputusan saya ini.
Anehnya, saya justru merasa dilindungi oleh-Nya dari orang-orang kayak gini. Orang-orang yang justru kelihatan cuma melampiaskan amarahnya doang, ketimbang benar-benar menasihati atau merangkul.
Dan kini saya tinggal jauh dari lingkungan saya yang konservatif itu, dan justru semakin merasakan bahwa perlindungan terbesar saya adalah diri-Nya semata.
Mungkin sebagian perasaan terlindungi saya yang dulu adalah perasaan palsu yang terbentuk dari rasa sombong. Tapi, entah kenapa saya merasa jauh lebih dekat dengan-Nya ketika kini saya lepas hijab.
Terutama ketika jauh dari orang-orang galak yang seolah memegang hak beragama di tangannya sendiri. Atau ketika makin banyak orang yang “menyerang” keputusan saya lepas jilbab.
Semakin banyak yang nyerang, hal itu jutru menambah keyakinan saya lepas jilbab. Semakin saya yakin bahwa tafsir menutup aurat pasti tak sekaku dan semaskulin itu. Maklum, karena yang “mencaci” keputusan saya ini kebanyakan memang lelaki.
Saya tidak bilang bahwa lepas hijab dapat membuat seseorang merasa lebih dekat dengan Tuhan ya, ini semua hanya ada dalam pengalaman empirik personal saya. Dan karena hubungan ini intim, setiap orang pasti punya ceritanya masing-masing.
Saya hanya merasakan dengan sangat pekat bahwa kini saya jauh lebih bersandar dan menikmati keimanan saya, walaupun tanpa adanya penutup di kepala. Anomali ini, biarlah saya nikmati sendiri.
Saya sudah duga bahwa tidak sedikit yang akan menghakimi saya karena pengakuan ini. Tapi itu tak mengapa, lagian siapa sih saya di hadapan hakim netizen yang mulia, terhormat, dan saya sayangi ini?
BACA JUGA Lepas Jilbab Bisa Sama Beratnya dengan Pindah Agama di Negeri Ini dan tulisan soal Hijab lainnya.