Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Jadi Miskin di Hadapan Tuhan dan Tabung Gas Melon 3 Kilogram

Muhammad Zaid Sudi oleh Muhammad Zaid Sudi
17 Oktober 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ketika tabung gas mulai langka sampai bikin keluargamu tak bisa masak, lalu anakmu ajukan pertanyaan sederhana yang nyentil, “Pak, apa kita ini miskin?”

Hari-hari ini, di tempat saya, tabung gas 3 kilogram (kg) sedang langka. Di warung, toko, SPBU, bahkan di agen stoknya tidak selalu tersedia. Kalaupun kemudian ada, harganya melonjak dan mesti berebut. Situasi ini—bagi saya yang pantang membuat kopi dengan air dari alat pemanas dan tidak mempunyai tabung serep—sungguh buruk. Apalagi pawon di rumah juga sudah kadung dibongkar.

Kehadiran tabung gas memang banyak memberi kemajuan. Praktis, bersih, dan relatif murah. Kelebihan-kelebihan tersebut akan melengkapi nilai plus andai kelangkaan tidak sering terjadi. Kelangkaan selalu  menjadi berita yang menyedihkan. Dan kesedihan saya kali ini lebih dalam karena anak yang saya ajak keliling mencari gas bertanya, “Bapak, apakah kita ini miskin?”

Rasanya sesaat bumi berhenti berputar.

Orang tua mana coba yang tidak sesak napas mendengar pertanyaan seperti itu?

Meski diucapkan dengan pelan, datar, dan tanpa ekspresi pertanyaan itu tetap terasa seperti sembilu. Saya kehilangan kata-kata. Bumi terasa goyah. Tapi sekuat tenaga saya berusaha menatap mata anak berumur sepuluh tahun di depan saya itu lekat-lekat. Saya ingin menyelami luka, kesedihan, dan penderitaan macam apakah yang telah memberinya ide bertanya demikian.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” akhirnya saya berhasil bertanya setelah merasa gagal menemukan tanda-tanda yang saya cari.

Dia melihat saya. Ekspresinya tak berubah. Tampak sekali dia tidak menangkap gejolak di dada bapaknya. Seperti tak berdosa, tangannya hanya menunjuk tulisan berwarna putih yang tercetak di tabung gas yang dia tenteng: “Hanya untuk keluarga miskin.”

Demi kerang ajaib, rupanya tulisan ini biang keroknya. Padahal pikiran saya sudah kalut tak keruan. Sudah beberapa tahun tabung gas melon keluar masuk dapur dan menjadi bagian dari keluarga saya. Tapi rasanya baru kali ini saya benar-benar menyadari keberadaannya. Dan entah mengapa tiba-tiba saja pikiran semacam ini terasa mengganggu.

Mungkin karena hal tersebut ditanyakan oleh orang terdekat saya. Seseorang yang seharusnya saya bahagiakan dan jaga perasaannya. Label miskin, saya khawatir, bakal membuatnya memiliki persepsi buruk tentang dunianya, meski kita tahu kemiskinan juga bukan sesuatu yang mudah dipahami.

Siapa yang dimaksud dengan orang miskin?

Jawaban untuk pertanyaan ini tentu tak cukup dengan mengatakan mereka adalah orang yang tidak kaya. Kemiskinan memiliki dimensi subjektif dan objektif. Secara subjektif, tiap orang memiliki ukuran sendiri-sendiri. Standar miskin bagi si A belum tentu sama dengan si B.

Uang 100 ribu bagi si Anu mungkin tidak ada artinya dan hanya dianggap bisa buat beli bawang merah dan cabe, tapi bagi orang lain jumlah segitu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup barang sehari atau dua hari.

Subjektivitas itulah yang mendorong diciptakannya parameter untuk melakukan objektifikasi.

Iklan

Ada yang menggunakan income per capita atau pendapatan rata-rata per kepala; banyaknya gizi dalam makanan sehari-hari; jumlah makan dalam sehari; ketersediaan sembako (sembilan bahan pokok); angka rata-rata kematian (death rate), dan lain-lain.

Itu dari segi ekonomi. Dari segi non-ekonomi, kemiskinan diukur dari keterpenuhan kebutuhan utama (primary needs) dan kebutuhan sekunder (secondary needs). Kebutuhan dasar terkait dengan pangan, papan dan sandang. Adapun kebutuhan sekunder berhubungan dengan keperluan pendidikan, komunikasi, rekreasi, dan kebutuhan lain yang membuat seseorang dipandang memenuhi standar hidup yang pantas.

Dalam konteks yang lebih luas, ukuran kepantasan hidup bahkan dihubungkan dengan terpenuhinya fasilitas lingkungan yang sehat atau perlindungan hukum dari pemerintah. Artinya, cakupan golongan yang disebut miskin sangat luas. Karena itu, sekalipun tidak miskin-miskin amat dan tidak kaya juga saya merasa tetap berhak menggunakan tabung melon.

Maka, untuk membesarkan hati anak saya sekaligus menghibur diri, saya katakan kepadanya, bahwa semua orang bakalan miskin kalau di hadapan Tuhan. Jadi, label miskin di tabung gas tidak perlu membuat gundah.

Toh, label itu juga tidak otomatis bisa diterima secara objektif. Sebab kalau diterima, maka tabung gas 3 kg sudah menjadi pengganti Surat Keterangan Miskin. Dan orang tidak lagi perlu repot-repot ke Kelurahan tapi cukup melampirkan foto tabung di dapur rumahnya. Nyatanya soal itu belum pernah terdengar.

Lagi pula, warga perumahan di kampung sebelah yang notabene dianggap kaya juga rata-rata menggunakan tabung melon. Di luar urusan miskin dan tidak miskin, ada pertimbangan yang lebih mendasar dalam memilih tabung melon, yaitu efektivitasnya. Tabung melon jelas lebih cangking–able dibanding yang berwarna pink atau biru, terutama bagi ibu-ibu yang terkait langsung dengan urusan tabung.

Aspek ini pula yang membuat orang-orang sepertinya tidak lagi tertarik bahwa di tabung 12 kg ada tulisan: “Nyalakan cinta keluarga.” Sebab yang paling penting adalah api di kompor bisa nyala, dan itu cukup untuk menyalakan cinta di rumah. Mau dari tabung gas warna biru, pink, atau tabung gas melon stabilo.

Terakhir diperbarui pada 17 Oktober 2018 oleh

Tags: 3 kilogramdeath rateGasincome per capitamiskinNyalakan cinta keluargatabungTuhan
Muhammad Zaid Sudi

Muhammad Zaid Sudi

Kadang penulis, kadang penerjemah, kadang guru ngaji. Tinggal di Jogja.

Artikel Terkait

Cerita Mereka yang Berhasil Stop Main Judi Online Setelah Kehilangan Segalanya: Kalah Puluhan Juta, Ingin Resign dari PNS, Tapi Bisa Taubat Gara-Gara Grup Facebook.MOJOK.CO
Esai

Tentang Sebuah Kampung yang Ketagihan Judi Togel

4 Januari 2024
Tuhan, Mengapa Saya Terlahir Menjadi Manusia Seperti Ini? MOJOK.CO
Kilas

Tuhan, Mengapa Saya Terlahir Menjadi Manusia Seperti Ini?

25 Desember 2023
Mungkin Tuhan Menamparku, Cinta Perempuan itu Bukan Untukku. MOJOK.CO
Kilas

Mungkin Tuhan Menamparku, Cinta Perempuan itu Bukan Untukku

4 Juni 2023
Kepala BPID Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Ivanovich Agusta dan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X di Kepatihan, Kamis (26/01/2023) menyampaikan tidak ada lagi desa tertinggal di DIY MOJOK.CO
Kilas

Disebut Provinsi Termiskin, DIY Tak Punya Desa Tertinggal

27 Januari 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.