MOJOK – Selain Ustaz Abdul Somad dan Ustaz Khalid Basalamah yang tidak direkomendasi oleh Kementerian Agama sebagai mubalig, ada juga tokoh penting dan berpengaruh nasional yang tidak masuk daftar. Siapa dia?
Menjadi mubalig yang baik tidaklah mudah. Selain gaya bicaranya yang mengharuskan menghibur para pendengarnya, isinya pun harus bisa membuat hati pendengarnya menjadi adem dan ayem.
Ada beberapa mubalig yang menurut saya selalu menghibur para pendengarnya. Seperti Cak Nun dan Anwar Zahid. Keduanya punya celetukan-celetukan yang unik, yang itu tidak hanya bikin hati adem dan ayem, melainkan juga membuat pendengarnya senyum sampai tertawa gerrrr…
Tadi malam, grup-grup wasap rame. Notifikasi hape bermunculan tiada henti. Saya, yang lupa menyailenkan hape, jadi penasaran kenapa hape saya mendadak jadi begitu berisik. Saat membuka hape, betapa kagetnya notifikasi berbuah pesan yang sama. Hampir semua orang berlomba-lomba membagikan daftar mubalig “yang terverifikasi” oleh Kementerian Agama (Kemenag).
Saya kemudian mengunduh dan mengecek. Satu demi satu. Ada dua ratus nama yang (mungkin) mengalami seleksi ketat dari ribuan mubalig. Ada nama Cak Nun, Anwar Zahid, dan Tuan Guru Bajang di daftar tersebut. Kemudian saya mencoba mencari nama-nama mubalig yang selalu viral dan sering muncul di media sosial.
Alangkah terkejutnya saya, tak ada nama Ustaz Abdul Somad, Adi Hidayat, dan Khalid Basalamah. Oh satu lagi, Felix Siauw. Kok bisa ya nama mereka tak ada?
Tapi ya apa boleh bikin, nama-nama tersebut memang beberapa kali dalam ceramahnya kurang menyejukkan. Saya bilang kurang, lho ya, sebab, tak seluruh ceramahnya bisa digeneralisir tidak menyejukkan.
Masa iya mereka kalo ceramah dibilang selalu bikin orang marah? Masa iya mereka kalo ceramah selalu isinya tak mengademkan hati masyarakat? Saya kira kok ndak begitu-begitu amat ya. Tidak selalu. Buktinya, pengikutnya ribuan bahkan ratus ribu kalo di dunia nyata. Apalagi kalo di dunia maya kayak Felix Siauw, itu pengikutnya bisa jutaan. Ndak kayak kamu, pengikutnya cuma ratusan. Itu pun kadang mesti beli.
Bahkan, setiap kali ketemu ibu saya, beliau selalu membangga-banggakan Ustaz Abdul Somad. Katanya lucu dan energik. Mungkin bagi orangtua saya, Abdul Somad menghadirkan oase. Segar dan menggelegar. Meski bagi saya, ya enggak begitu-begitu amat.
Gak hanya orangtua, tetangga-tetangga ibu dalam pengajian di lingkup perumahan pun demikian. Gak hanya Abdul Somad, melainkan juga si Felix Siauw. Kenapa bisa demikian ya? Kenapa ceramah mereka bisa masuk ke ranah orang tua dan tetangga saya sedangkan tidak dengan saya?
Barangkali, teknologi informasi yang membuatnya berbeda. Mereka rajin ceramah baik di dunia nyata dan maya. Yang paling penting mereka bisa masuk dan mudah diterima masyarakat perkotaan. Ranah yang barangkali jarang tersentuh oleh mubalig-mubalig lain yang muncul dari satu desa ke desa atau satu kecamatan ke kecamatan yang lain.
Tapi, sebenarnya banyak juga kok mubalig-mubalig kompeten tapi juga tidak masuk rekomendasi Kemenag. Maksudnya, mereka jarang disorot oleh media arus mainstream. Baik cetak maupun maya. Saya sih menganggap Kemenang bermaksud menghadirkan mubalig yang bisa selalu menyejukkan hati masyarakat saja. Lagipula nama dan bahasanya Kemenag juga “rekomendasi”, artinya bukan ketok palu final bahwa selain nama di dalamnya, benar-benar haram kalau diundang.
Saya sih juga berharap kepada mubalig “yang tidak terverifikasi” bisa kemudian “diverifikasi” oleh Kemenag setelah ada peninjauan kembali atau barangkali semacam pembinaan. Sebab, sejujurnya saya sih selalu mengharapkan variasi ceramah, yang mana tidak melulu harus didominasi oleh satu aliran tertentu. Menurut saya sih, makin banyak variasi ya makin banyak pengetahuan. Ibarat menu berbuka, gak harus selalu kolak terus lah, sekali-kali wedang ronde kan gak apa-apa.
Tapi, belum tentu semua orang setuju dengan pendapat saya. Wajar. Bukankah alangkah baiknya menyeragamkan isi ceramah sesuai apa yang diharapkan oleh Kemenag? Sehingga semua umat muslim satu suara dan tidak berpikir aneh-aneh? Mungkin kekhawatiran Kemenag ini merupakan respons dari kejadian teror di beberapa kota di Indonesia menjelang puasa Ramadan belakangan ini, yang mau tidak mau, harus kita akui KTP si pelaku teror memang menunjukkan yang bersangkutan beragama Islam.
Jadi, Kemenag mungkin merasa punya tanggung jawab. Sudah saatnya keras dikit dengan membatasi doktrinasi yang menyimpang, kurang baik, dan sekali lagi, kurang menyejukkan di akar rumput. Kalo landasan kekhawatiran Kemenag seperti ini sih saya setuju-setuju saja. Tapi kalau tujuannya umat Islam cuma biar jadi satu aliran tertentu, saya kok malah kurang sreg. Terasa diskrimintif saja rasanya.
Saya khawatir kepada orang tua yang mengidolakan Abdul Somad tiba-tiba jadi malas mendengarkan ceramah agama lagi. Lha gimana, wong menjelang sahur ada keluarga yang bertanya, “Mas, kok nama Ustaz Abdul Somad gak ada di daftar mubalig? Kenapa ya? Rekomendasi ini salah kan ya?”
Saya bingung. Mau menjawab ceramahnya salah, lha orang tua menganggapnya baik-baik saja. Mau menjawab Kemenang salah, ya ndak mungkin juga nanti dikira malah saya yang radikal. Ya gimana lagi, harus diakui Abdul Somad dalam beberapa kali ceramahnya—atau potongan video ceramahnya—memang sering mengundang kontroversi sih. Repot juga ya jadinya.
Saya sih masih percaya dan berusaha terus husnuzan, hampir semua mubalig memberikan ceramah itu pada dasarnya ingin mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Toh, kita hanyalah manusia yang selalu ingin dicintai oleh Tuhan. Cuman, caranya saja yang bisa jadi kurang tepat.
Masak ya mendekatkan diri dengan cara aksi teror sampai membunuh orang lain? Hambok mending cari aktivitas yang menghidupkan, bukannya mematikan. Bagi-bagi nasi kepada anak-anak yatim piatu misalnya, atau bagi-bagi hidangan berbuka buat saya juga boleh.
Dan, itu pula yang sedang dipraktikkan oleh Pakde Amien Rais di masjid-masjid di daerah saya.
Baidewai, saya juga tidak menemukan nama Pakde Amien Rais di daftar tersebut. Mungkin gara-gara ucapan-ucapan kontroversial belio yang kemarin-kemarin itu ya?
Jadi begini. Kemarin, sehari sebelum saya menulis catatan ini, saya kebetulan mengikuti kultum Pak Amien sebelum tarawih. Meskipun usianya sudah 75 tahun, beliau masih hadir memberikan ceramah di salah satu masjid megah di Yogyakarta. Saya kira, itu baru benar-benar kultum. Lha gimana? Ndak ada politik-politiknya babar blas seperti yang biasa disampaikan blio di depan media kok pas malam itu. Enggak tahu deh malam-malam sebelumnya.
Berarti benar, ndak melulu mubalig akan bicara ceramah yang seharusnya tidak boleh dibicarakan di depan publik. Ya kali, masak ada orang kok salah terus, sejahat-jahatnya orang toh selalu punya sisi kebaikan yang bisa dijadikan pelajaran tho?
Kalau terlalu membatasi diri terhadap seseorang karena ada satu-dua-tiga-empat-lima-sampai seratus pernyataan yang tidak kamu setujui dari orang tersebut, berarti kamu menutup peluang pelajaran positif yang bisa kamu ambil dari satu manusia ciptaan Tuhan. Yah, meskipun pelajaran dari Pakde Amin itu kebanyakan jatuhnya jadi pelajaran sabar kan gak apa-apa juga.
Nah, begitu tarawih usai, saya berusaha mengikuti ceramah blio lagi. Di hari sebelumnya, panitia bilang topiknya cukup provokatif: “Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia”. Mungkin karena ada yang memberitahukan panitia dan terasa kurang menyejukkan, topik ceramahnya mendadak diganti. Jadi: “Tantangan Indonesia Mewujudkan Kemerdekaan.”
Isinya apa? Ya ala Pakde Amien lah ya. Kayak ada wagu-wagu-nya gitu.
Tapi, beliau sadar diri kok kalo sudah lanjut usia. Buktinya, Pak Amien berkata di hadapan para jamaah, “Saya sudah berusia 75 tahun, kalo bisa jangan diminta sehari tiga kali (maksudnya ngisi ceramah dari habis subuh, sebelum tarawih, selepas tarawih pada hari yang sama), kasihan yang muda-muda.”
Bagus Pakde, njenengan sadar. Dikunci ya omongannya. Jangan esuk dele, sore tempe. Tapi Pakde, Mahathir Mohamad maju jadi perdana menteri usia 92 tahun? Njenengan apa ndak mau coba-coba juga?
Ya sapa tau beruntung ya kaaaaan? ~