MOJOK.CO – Kemenangan Mahathir Mohamad sebagai Perdana Menteri Malaysia membangkitkan motivasi sendiri pada Fahri Hamzah dan Fadli Zon atas kemungkinan berjayanya Prabowo di pemilu Indonesia 2019.
Kemenangan Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia dekade 1981-2003, di Pemilu Malaysia langsung menjadi perbincangan jagat global. Selain sudah berumur 92 tahun, Mahathir juga mampu meruntuhkan kekuasaan Barisan Nasional milik Najib Razak yang telah berkuasa lebih dari 60 tahun. Tidak hanya diperbincangkan, kemenangan ini juga menjadi inspirasi banyak pihak, tak terkecuali untuk duet wakil rakyat paling comel yang negara ini punya, Fadli Zon dan Fahri Hamzah.
Kemenangan Mahathir Mohamad ini, kata Fahri, bisa menjadi inspirasi Prabowo Subianto dalam memenangkan Pemilu 2019. Wakil Ketua DPR RI tersebut berujar bahwa kekuasaan yang nampak begitu kuat dan mengontrol saja bisa tumbang dalam waktu singkat. Apalagi, yang kekuasaannya belum terlalu kuat, terlihat centang perenang, dan galau (yang saya yakin dia maksudkan untuk menyindir pemerintahan Jokowi). Astaga, centang perenang lho! Betapa kaya akan kosakata dirimu, Pak.
Pernyataan senada juga diungkapkan sejawatnya, Fadli Zon. Namun, karena sama saja, lebih baik kita loncati. Mari mulai menghargai waktu.
Pertanyaan yang lebih menarik untuk dianalisis daripada “centang perenang” adalah: apakah benar keadaan yang terjadi di Malaysia bisa terjadi di Indonesia pada pemilu tahun depan?
Saya paham bahwa situasi di Malaysia dan Indonesia, semirip apa pun kejadiannya, tidak bisa serta-merta dijadikan perbandingan dalam satu level analisis. Tapi, jawaban dari kemungkinan kekalahan serupa dalam pemerintahan Jokowi bisa sedikit diselidiki dari situasi yang dialami Najib menjelang kekalahan dalam Pemilu; apakah Jokowi berada pada situasi yang sama?
Skandal Korupsi 1MDB
Alasan paling kentara dari tumbangnya rezim Najib adalah skandal korupsi yang menjeratnya. Menurut Adriana Elisabeth, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), masyarakat Malaysia sudah tidak mampu menolerir skandal korupsi 1MDB (Malaysia Development Benhad) yang melibatkan petahana tersebut. Mahathir sendiri menyatakan bahwa skandal inilah yang membuatnya gerah untuk maju sebagai oposisi di umur 92 tahun. Padahal, bisa jadi karena dia belum mandi.
Putri Najib Razak dan Rosmah Mansor, Azrene Ahmad, bahkan secara terang-terangan menentang orang tuanya dan mengajak masyarakat untuk memilih Mahathir Mohamad. Alasannya, Azrene sudah muak menyaksikan tindakan korupsi yang dilakukan kedua orang tuanya itu. Menurut penyelidik asal AS, skandal 1MDB telah mencuri dan mencuci uang negara hingga 4,5 miliar dolar atau setara 62 triliun rupiah, sedangkan 700 juta dolar masuk ke rekening pribadi Najib.
Dari sini kita bisa lihat bahwa untuk menumbangkan sebuah rezim, entah yang telah berkuasa 60 tahun atau yang elektabilitasnya sampai 60%, dibutuhkan sebuah catatan kriminal berat milik si calon. Inilah yang perlu dicari oleh Fahri dan Fadli (loh kok kalau namanya disandingkan begini jadi mirip anak kembar).
Sebaiknya, dari sekarang, mereka berdua harus mencari-cari tindakan kriminal berat Presiden Jokowi: entah korupsi, entah genosida, pokoknya harus dicari. Penumbangan rezim kemungkinan terjadi apabila masyarakat kehilangan kepercayaan atas kesalahan pemimpin di masa lalu.
Sayang, sampai saat ini, tindakan kriminal berat yang terjadi adalah korupsi e-KTP yang justru menimpa kompatriot mereka sendiri.
Undang-Undang Berita Palsu
Najib Razak kembali membuat blunder ketika mengesahkan Undang-Undang Melawan Berita Palsu, April lalu. UU ini diduga disahkan untuk menghindarkan Koalisi Barisan Nasional dari berita yang memojokkan pemerintah, terkhusus skandal 1MDB. Denda sebesar 123 ribu dolar dan penjara 6 tahun akan diberikan kepada orang yang menyebarkan berita yang dianggap palsu.
Kecaman dari berbagai pihak terjadi. Salah satunya datang dari R. Sivarasa, seorang pengacara dan aktivis kemanusiaan asal Malaysia. Sembari mengecam, ia menyindir pemerintah yang mengaku menjamin “kebebasan berpendapat”, tapi tidak menjamin “kebebasan setelah berpendapat”.
Melihat Indonesia, apakah pemerintahan Jokowi melakukan opresi terhadap media yang mengkritisi pemerintah? Jelas tidak. Kalau iya, akun pribadi Fahri Hamzah dan Fadli Zon pasti sudah binasa. Selama bacot dua orang ini masih eksis, poin ini juga gugur.
Kebijakan Rasial
Pada April 2017, Najib mencanangkan program berjudul Bumiputera Economic Transformation Roadmap (BETR) 2.0. BETR adalah kebijakan pemerintah yang menggiring pengusaha pribumi (di Malaysia disebut “bumiputera”) untuk mendapatkan “bagian” lebih banyak. Tidak hanya pengembang, masyarakat juga merasakan hal serupa. Satu contoh: pengembang properti diperintahkan untuk memberikan diskon khusus kepada pembeli pribumi.
Hal ini membuat penduduk Malaysia beretnis Cina dan India memilih untuk meninggalkan pekerjaan birokrasi (juga sekolah dan universitas). Mereka juga memilih bekerja di institusi dan sektor swasta. Bahkan, banyak penduduk etnis Cina dan India kemudian meninggalkan Malaysia yang menyebabkan pelemahan pertumbuhan ekonomi. Tentu saja, kebijakan ini berimbas pada hilangnya suara Najib dari etnis di luar pribumi.
Pada bagian ini tentu Fahri dan Fadli perlu berpikir ekstra keras. Di bagian mananya, ya, Jokowi rasis? Untuk masyarakat Papua yang rentan tindakan rasis, Jokowi sudah menerapkan BBM satu harga. Untuk etnis Tionghoa, meminjam perspektif oposisi, mana mungkin, sih, Jokowi anti-China? Blio kan komunis. Lha, emang komunis berasal dari China? Ya, mana tau.
Boleh-boleh saja, sih, Fahri dan Fadli menjadikan kemenangan Mahathir sebagai inspirasi Prabowo memenangkan pemilu. Tapi, melihat tidak adanya kesamaan situasi yang dialami Jokowi dan Najib, mungkin keinginan dua punggawa DPR tersebut masih berpeluang menjadi centang perenang. Eh, bener gak cara penggunaannya, Om Fahri?