MOJOK.CO – Ketika para Khan arus utama masih saja memainkan kisah cinta yang itu-itu saja, Irrfan Khan sudah selesai dengan perannya. Ia pergi terlalu awal, menghilang terlalu cepat dari layar. Namun, jelas, semua orang mencintainya.Â
Dari penunggu toko ban, ke pemain kriket yang gagal, banting setir ke sekolah drama, begitu Irrfan Khan pernah menggambarkan perjalanan hidupnya dalam sebuah wawancara. Di National School of Drama (NSD, dari mana sebagian aktor watak di Bollywood dihasilkan), Irrfan menemukan masa depannya. Ia bertemu istrinya, Sutapa Sikdar. Ia menemukan panutan pada diri Naseeruddin Shah, seorang alumnus NSD yang menjadi bintang pujaan di dunia teater dan skena Sinema Parallel. Ia juga bertemu Tigmanshu Dulia, seorang teman kuliah yang bercita-cita jadi sutradara dan konon ingin menjadikan Irrfan sebagai hero-nya.
Irrfan jadi kameo di Salaam Bombay! karya Ratu Sinema Parallel, Mira Nair, meski penampilannya nyaris tak tersisa, disikat proses editing. Di saat yang sama, di arus utama Bollywood, dua Khan seangkatannya, Aamir dan Salman, dua bangsawan Bollywood yang lahir dan besar di studio syuting, menggebrak India dengan film cinta remajanya masing-masing, dan tak pernah melepaskan lagi kebintangannya sejak itu. Ketika Shah Rukh, Khan berikutnya, seorang pendatang asing dari Delhi, menyeruak dan kemudian memimpin di antara tiga Khan, Khan kita yang malang masih bertahan sebagai kameo di sebuah film seni yang lain, kali ini karya Tapan Sinha, Ek Doktor Ki Maut.
Irrfan membutuhkan belasan tahun untuk menyadarkan pemirsa Bollywood bahwa ada “Khan yang lain” selain yang tiga. Sebagian besar tahun-tahun itu dihabiskannya untuk bermain di serial-serial TV buruk, tempat ia dianggap sebagai pelakon tak berbakat. “Aku bahkan pernah tak dibayar karena dianggap bermain buruk oleh para pembuat sinetron itu,” katanya kepada Nosheen Iqbal dari Guardian. Merasa terjebak di serial TV, akhir ’90-an ia hampir berhenti dari dunia akting. Asif Kapadia, seorang berkebangsaan Inggris yang belakangan lebih dikenal sebagai sutradara film dokumenter olahraga, menyelamatkannya dengan mengajaknya bermain di The Warrior.
The Warrior mendapat perhatian di BAFTA, dan wajah Irrfan sedikit mulai dikenali. Tapi The Warrior tak serta merta membuatnya mendapat apa yang berhak didapatnya. Jadi polisi tidak penting atau peran pendukung tak jelas di film-film thriller murah produksi Mahesh Bhatt masih memenuhi CV Irrfan. Sampai Tigmanshu Dulia datang dengan naskah Haasil (2003).
Kawan lamanya di NSD itu mencoba mewujudkan janjinya kepada Irrfan. Setelah “magang” jadi penulis dialog di film-film sutradara-sutradara besar dan nyeni seperti Shekar Kapur dan Mani Ratnam, Tigmanshu sedang membuat film besar pertamanya. Namun, tak ada peran hero untuk Irrfan, sebab sudah diberikan kepada Jimmy Shergill, bocah ganteng baru yang mengorbit bersama Shah Rukh Khan di Mohabbatein. Haasil memberikan Irrfan penghargaan “Penjahat Terbaik”.
Maqbool yang juga rilis di tahun yang sama memantapkan kepenjahatan Irrfan. Dibuat oleh “anak magang” lain, Vishal Bhardwaj, komposer musik untuk dua sutradara maestro, yaitu Gulzar (Maachis) dan Ram Gopal Verma (Satya). Vishal baru saja sukses dengan sebuah film anak-anak dan sedang memulai proyek pertama adaptasi Shakespeare-nya. Dikelilingi para seniornya di NSD (Naseeruddin Shah, Om Puri, Pankaj Kapur, dan Piyush Mishra), Irrfan jadi Maqbool, versi India-nya Macbeth, yang membunuh dan mengambil istri majikan sekaligus bapak angkatnya. Maqbool mendapat premier di Toronto Film Festival dan mendapat layar di Cannes, namun melempem di bioskop India.
Penampilannya di Maqbool yang menggetarkan bersama Tabu mempertemukan Irrfan kembali dengan orang yang pertama memberinya kesempatan, Mira Nair. Mira memasangkan kembali Irrfan dan Tabu di The Namesake.
Sepertinya The Namesake adalah pembuka pintu bagi Irrfan ke Hollywood. Sebab, setelah The Namesake, ia muncul di The Mighty Heart, The Darjeeling Limited, dan tentu saja film yang disangka banyak orang sebagai film India, Slumdog Millionaire. Dua di antara film itu, Irrfan main dalam peran stereotipikal, yaitu menjadi polisi.
Peran sebagai hero itu akhirnya datang. Irfan jadi pemeran utama film Billu (2009), kisah seorang tukang cukur miskin yang ternyata berteman dengan superstar Bollywood. Malangnya, Billu dibiayai oleh sang superstar Bollywood di dunia nyata, Shah Rukh, lewat rumah produksinya Red Chillies. Meski diberi kredit sebagai “penampil kebetulan”, Shah Rukh mengambil porsi terlalu banyak dari apa yang direncanakan sebagai film pertama Red Chillies yang tak menjadikan Shah Rukh pemeran utama. Dibantu oleh penampilan bintang-bintang seksi yang biasa berpasangan dengan Shah Rukh, untuk mengisi lagu-lagunya, jelas sekali film ini memang tak percaya dengan kemampuan Irrfan menarik penonton. Dugaan itu benar, film itu tak laku, dan penampilan Shah Rukh tak menolong film tersebut.
Yang tak bisa dibendung, Billu memberi gambaran tentang telah munculnya Khan yang berbeda. Berdepan-depan di layar dengan Shah Rukh yang berjaket warna metalik dan pipi berurai air mata, Irrfan mendefinisikan kepahlawanannya sendiri dalam baju kumal, handuk di kepala, sepeda kumbang, dan mata sendunya.
Paan Singh Tomar (2012), sebuah biopik seorang veteran tentara dan mantan atlet Asian Games India yang kemudian menjadi bandit, adalah karakter yang akan membuat bioskop bergetar-getar jika dimainkan Khan yang lain. Di tangan Irrfan, Paan Singh adalah tetangga kita yang jadi begal karena tanahnya dirampas dan haknya tak dilindungi negara. Ia kurus karena miskin, lelah karena dendam dan rasa kecewa, dan penuh curiga karena sering dikhianati. Irrfan membuat Paan Singh yang nyata hidup kembali setelah mati ditembak polisi pada 1981. Irrfan mendapatkan National Award untuk penampilannya.
Meski mulai menjadi penampil yang rutin di Hollywood (Life of Pi, The Amazing Spider-Man, Jurassic World, Inferno), dunia tetap terperanjat oleh kemunculannya sebagai akuntan dan duda pemurung di film cinta India yang tak lazim, The Lunchbox. Apalagi ada embel-embel bunga palem ala Cannes lagi. “Oh, ada toh film India kayak gini,” begitu kebanyakan orang akan bilang. Dari The Lunchbox, orang kemudian menonton Piku, dan menemukan sopir songong yang banyak omong itu. Dua film itu akan dengan mudah jadi komedi romantis jika bukan Irrfan yang membintanginya.
Akuntan Sajan tak pernah sempat bertemu Ila, sementara si sopir Rana hanya berakhir sebagai rekan main bulu tangkis bagi Piku. (Bandingkan: Aamir pernah jadi sopir taksi, sementara Shah Rukh menjadi pegawai PLN, tapi keduanya memperoleh cintanya.) Karena itulah, tokoh-tokoh romantik yang dimainkan Irrfan berbeda dengan kebanyakan pahlawan romantik di film India.
Irrfan seingat saya (koreksi kalau salah) tak pernah terlihat menyanyi di film-filmnya. Jika ia mesti ikut menari, ia akan menari dengan sangat canggung, seperti yang ditunjukkannya di Maqbool, atau bahkan lari menjauh seperti di Billu. Ia tahu ia tak cocok dengan itu. “Wajahku tak ada potongan bisa bikin orang jatuh cinta,” katanya suatu kali.
Irrfan jelas meremehkan dirinya. Ila jatuh cinta dengan Sajan bahkan tanpa perlu melihat wajahnya. Sementara kita, para penonton filmnya, mencintainya–mungkin diam-diam, tanpa ekspresi berlebihan, dan tak ditunjuk-tunjukkan, sebagai ekspresi standar Irrfan dalam film-filmnya–dengan seluruh tampilannya: matanya yang berkantung, berdirinya yang canggung, bicaranya yang datar dan seperti tak berselera. Kita mencintainya dengan biasa saja, sebab itulah dirinya. Tapi, menjadi biasa, di sebuah industri yang menuntut keluarbiasaan yang kadang berlebihan, menjadikannya luar biasa. “Menjadi orang biasa itu luar biasa,” demikian tagline di poster Billu.
Dan, ya, Irrfan sepertinya memang benar-benar bukan tipe pahlawan Bollywood. Ketika para Khan arus utama masih saja memainkan kisah cinta yang itu-itu saja, ia sudah selesai dengan perannya. Ia pergi terlalu awal, menghilang terlalu cepat dari layar. Namun, jelas, semua orang mencintainya. Seluruh penonton meratapinya.
“Maqbool akan menguasai Mumbai,” ramal dua polisi korup yang sekaligus dukun di film Maqbool. Irrfan, tanpa tampak terlalu keras berusaha, sebagaimana ia memainkan peran-perannya, telah menguasai Bollywood dan Hollywood dalam satu tatapan. Are yaar….
BACA JUGA Aamir Khan dan Poskolonialisme dalam Sinema Bollywood dan esai Mahfud Ikhwan lainnya.