Saya kira tidak ada media online yang mencerminkan wajah Islam Indonesia kecuali PKS Piyungan (selanjutnya disingkat PKS-P). Wajah muslim Indonesia yang kalem, menyejukkan, cerdas dan membawa semangat kemajuan. Saya kira.
Sejak awal pekan lalu, PKS-P P menggoreng isu seksi: Putri Indonesia 2015, Anindya Kusuma Putri memposting fotonya berkaos palu-arit di Instagram. Penggorengan yang aduhai sekali. Layaknya trequartista jempolan, PKS-P mengirim umpan manis nan mematikan untuk para striker muslim internet, agar gol-gol spektakuler bisa dilesakkan ke gawang tim komunis—yang selama ini dikhayalkan sebagai musuh utama tim Islam.
Dengan gagah berani, PKS-P menurunkan laporan bertajuk Sensasi Puteri Indonesia 2015 Bangga Berkaos Palu Arit. Laporan yang mudah sekali tersebar secara viral, seperti virus. Isinya? Hanya kutipan komentar miring para facebooker tentang Anindya dan kaos palu-arit yang dikenakannya.
Sembari membagi tautan berita, PKS-P melempar pertanyaan, memancing interaksi di Twitter, “Layakkah Anindya jadi Putri Indonesia yang jargonnya 3B: Brain, Beuaty, Behaviour?” Tak lama, salah satu followernya menyambar dengan retwit ditambah cuitan: “Bego~ Bego~ Bego~.” Seorang follower lain tak kalah tangkas, datang dengan pernyataan senada yang dikemas agak lebih kreatif: “Bego, Bodoh, Bloon.” PKS-P Cerdas sekali, saya kira.
Saya langsung tepuk tangan di atas kepala begitu membaca rangkaian twit-retwit 3B PKS-P. Hampir saya menitikkan air mata, kalau saja Nody Arizona tidak sedang duduk di hadapan saya. Saya akui, saya memang menyalahi prinsip di mana bumi dipijak di situ air mata ditumpahkan—yang merupakan inti utama ajaran Guru Tisu Bangsa Eddward S. Kennedy dan Bapak Air Mata Nasional Nuran Wibisono. Sebagai pengikut setia beliau berdua, saya merasa gagal.
Mengikuti kisah sukses “berita” PKS-P, media-media besar latah meminta klarifikasi dan cenderung ikut-ikutan menyudutkan Anindya. PKS-P tentu dengan senang hati menyebarkan ulang berita-berita dari portal besar yang memakan umpannya.
Beberapa waktu sebelumnya, pernah pula PKS-P menunjukkan kecerdasan yang jenuin tiada banding. Kira-kira dia mencuit begini: Lihat dong, PKS-P mendapat kunjungan lebih dari empat juta sehari tapi servernya tidak pernah down. Luar biasa. Saya kehabisan kata-kata.
Kita tahu, PKS-P menggunakan layanan Blogspot milik Google. Untuk membuat down PKS-P, Anda harus menggoyang server raksasa milik Google. Sudah barang tentu bukan pekerjaan gampang. Berbeda misalnya dengan mojok.co yang kapasitas servernya terbatas, kunjungan jutaan dalam sehari otomatis akan membuatnya down alias tidak bisa diakses.
Selang beberapa menit setelah twit pamer PKS-P tadi, muncul retwit dari followernya dengan tambahan seruan “Allahu Akbar!” Saya tidak bisa menahan air mata saya mengalir, seketika. Haru saya. Benar-benar haru. Saya yakin Yang Mulia Eddward dan Kanjeng Nuran pasti bangga.
Saya lalu ingat artikel yang ditulis Gus Dur, Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme. Artikel yang mengkaji secara rinci dan jernih, hubungan Islam dan Komunisme. Gus Dur memulainya dengan membaca hubungan diametral-konfrontatif Islam vis a vis Komunisme, menjelaskan faktor-faktor yang menjadi penyebab keberhadapan keduanya, baik secara politis maupun ideologis.
Pada akhirnya, Gus Dur melihat adanya titik-titik persamaan—bukan titik sambung—antara keduanya di berbagai dimensi. Sehingga tidak perlu heran kalau komunisme atau bahkan partai komunis bisa tumbuh dan besar di banyak negara muslim.
Di Indonesia, penolakan terhadap Marxisme-Leninisme melalui TAP MPR XXV/66, menurut Gus Dur, bisa dijelaskan dengan kenyataan bahwa tim muslim pernah dua kali bergesekan dengan tim komunis pada tahun 1949 dan 1965. Bagi Gus Dur, penolakan demikian lebih berwatak politis daripada ideologis.
Gesekan itu yang kemudian didramatisasi, diruncingkan oleh pemerintahan orde baru. Di masa Soeharto berkuasa, stigmatisasi kelompok komunis berkembang luas di masyarakat, dipanaskan dengan kampanye massif pemerintah tentang bahaya laten komunisme, dan tentu saja, disokong negeri Paman Sam yang berusaha setengah mampus membendung komunisme internasional.
Ketika menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur mengusulkan pencabutaan TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan komunisme. Usul yang dimaksudkannya sebagai langkah awal terwujudnya rekonsiliasi nasional. Usul yang tak urung menuai penentangan di sana-sini, di mana-mana.
Gus Dur juga meminta maaf atas pembunuhan terhadap orang-orang yang dikatakan komunis, yang jumlahnya menurut Sarwo Edhie Wibowo tak kurang dari tiga juta jiwa. Tiga juta! Itu jumlah manusia Indonesia yang dilenyapkan secara tragis dari muka bumi, bukan semata statistik kunjungan PKS-P. Sekali lagi, yang selanjutnya terjadi, niat baik Gus Dur dimentahkan oleh so-called umat Islam.
Tulisan Gus Dur tentang Islam dan Komunisme muncul pertama kali pada tahun 1982, ketika dunia masih diselimuti nuansa perang dingin—yang berakhir setelah Liverpool menjuarai Liga Inggris untuk terakhir kali. Kini, peta politik internasional sudah benar-benar berbeda. Pasca 11 Sepetember 2001, Islam malah pernah jadi pengganti Komunisme sebagai musuh baru dunia Barat.
Sampai permusuhan Barat terhadap Islam dan Komunisme mereda, kita sebagai bangsa belum juga menyelesaikan pekerjaan rumah untuk rekonsiliasi.
Melihat gegeran kaos palu-arit Anindya, barangkali Gus Dur hanya cekikikan di kahyangan sana. Dan kata-kata kunciannya akan terdengar di sela derai tawa, “Gitu aja kok repot.”
Maka lihatlah, Gus, jangankan mengobati luka, melihat simbol palu-arit saja kami masih parno. Kami kesulitan bersikap adil, Gus, karena kami lebih senang merawat kebencian seperti hobi kami mengasah batu akik. Bukannya meminta maaf, kami justru terus-menerus merendahkan keluarga besar PKI yang menjadi korban.
Di situ kadang saya merasa hebat, Gus. Di situ kadang saya merasa pintar, sepintar PKS Pi-yu-ngan.