Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan

Sedikit Curhat Aa Burjo, dari Mahasiswa yang Ngutang hingga Tak Jujur Ambil Gorengan

Muhammad Arief Dwyangghara oleh Muhammad Arief Dwyangghara
8 Februari 2021
A A
Sedikit Curhat Aa Burjo, dari Mahasiswa yang Ngutang hingga Tak Jujur Ambil Gorengan mojok.co

Sedikit Curhat Aa Burjo, dari Mahasiswa yang Ngutang hingga Tak Jujur Ambil Gorengan mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Kalau ada cerita duka yang ingin disampaikan oleh aa burjo di mana pun mereka bekerja, pasti salah satunya adalah kelakuan mahasiswa yang kerap ngutang.

Sebagai seseorang yang sedang demam burjo (atau warmindo, sama saja), belakangan saya sedang giat-giatnya berkunjung ke beberapa warung burjo terdekat untuk makan berat maupun sekadar nongkrong-nongkrong. Sejujurnya, di Bandung, tempat saya kuliah, jumlah warung burjo tidak semasif seperti yang saya saksikan di Jogja.

Sebagai urang Sunda, satu hal yang membuat nyaman adalah saya bisa berinteraksi dengan para karyawan di sana menggunakan bahasa Sunda. Saat ini warung burjo yang jadi kesukaan saya adalah Motekar 16. Lokasinya tak jauh dari Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), di Jalan Kaliurang Km 14,5 Sleman, Yogyakarta.

“Tiasa nyarios Sunda geuningan, A?” (Bisa ngomong Sunda ya, Mas?) tanya Aa Adi (23), salah satu karyawan warung Motekar 16 sembari menyiapkan pesanan saya. Oke, supaya lebih hemat kalimat, untuk selanjutnya seluruh percakapan berbahasa Sunda akan langsung saya tulis terjemahannya saja.

Dalam beberapa menit, makanan yang saya pesan pun datang. Kebetulan tempat duduk saya berhadapan langsung dengan bagian warung tempat para karyawan menyiapkan pesanan. Sambil mengambil piring berisi makan malam tersebut, saya bertanya kepada Aa Adi dari mana saja para pegawai warung berasal. Saya tentu sudah punya dugaan awal perihal jawabannya.

“Saya asli Kuningan, A. Pemilik warung ini juga asli Kuningan. Kalau karyawan yang lain sih ada beberapa yang bukan dari Kuningan, tapi tetep banyaknya sih dari Kuningan,” jawabnya. Tepat seperti dugaan saya.

“Oalah. Terus sama karyawan-karyawan warung yang lain saling kenal juga gak, A?” tanya saya yang makin penasaran.

“Ada yang kenal, ada yang nggak kenal juga. Tapi kalau antarkaryawan warung Motekar yang lain sih semuanya saya hampir kenal. Soalnya kita juga banyak yang pernah tinggal satu kontrakan. Kalau karyawan di sini ada yang tinggalnya sama karyawan Motekar 17,” ujar Aa Adi sambil menunjuk arah warung Motekar 17 dengan jempol tangan kanannya.

Karena tampaknya mulut dan tenggorokan saya kurang pandai melakukan multitasking menyantap makanan dan berbincang secara bersamaan, percakapan antara saya dengan Aa Adi sepertinya perlu dihentikan sebentar.

Aa Adi juga perlu melanjutkan pekerjaannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.30 WIB. Satu per satu pelanggan lain mulai meninggalkan warung. Saya yang belum juga mengantuk memutuskan untuk berdiam sejenak di sana.

“A, kalau antarkaryawan tuh pada sodaraan apa gimana?” tanya saya sambil mengunyah gorengan.

“Ada yang sodaraan, tapi kebanyakan sih awalnya temenan di kampung terus diajak kerja ke sini. Tapi karena satu tempat kerja, ya akhirnya jadi temenan semua, A.”

“Sebenarnya ada paguyubannya. Paguyuban Pekerja Asal Kuningan. Dulu sempet aktif tapi kalau sekarang saya sudah kurang tahu, yang aktif di sana biasanya sih pemilik.”

Ketika saya tanya apakah paguyuban tersebut kerap mengadakan kumpul-kumpul atau kegiatan bersama lainnya, Aa Adi menjawab bahwa ia kurang tahu. Namun, sepengetahuannya, paguyuban tersebut sudah lama tidak berkegiatan yang melibatkan karyawan.

Iklan
Burjo Moetekar 16 (Muhammad Arief D)
Burjo Moetekar 16. Foto oleh penulis.

Selanjutnya Aa Adi juga bercerita mengenai penempatan kerjanya yang sudah tiga kali pindah-pindah warung.

“Dulu saya di warung yang di Semarang. Abis itu pindah ke warung yang di deket kampus UMY, kemudian UPN, baru deh saya di sini,” ujar Aa Adi yang usianya tidak begitu jauh dibanding usia saya.

Ia dan pekerja lainnya bekerja dua sif. Sif pertama mulai jam 7 pagi. Sif kedua mulai pukul 7 malam. Terserah siapa saja yang mau mengisi sif pagi atau malam, yang penting warung tidak boleh sampai kosong. Sedari dulu warung burjo memang umumnya buka 24 jam. Kalaupun tutup, itu juga hanya ketika Lebaran karena semua karyawan warungnya mudik.

Meskipun bisnis warung burjo sudah mengakar kuat karena kerap diturun-temurunkan, para pemilik dan karyawannya tetap butuh pulang kampung. Ada orang tua yang dirindukan, ada saudara dan kerabat dekat lainnya yang pasti juga sudah menanyakan.

Di lain kesempatan, saya pun kembali berbincang-bincang dengan karyawan warung Motekar lainnya ketika saya kembali mampir untuk makan siang.

“Dua kali lah Mas, dalam satu tahun. Lebaran sama tahun baru,” ujar Aa Asep (24) ketika saya tanya berapa kali biasanya para karyawan pulang kampung. Lebih lanjut, saya juga bertanya bagaimana interaksi para karyawan dengan pelanggan-pelanggannya.

“Kalau sekarang-sekarang ini meskipun lebih sepi dari biasanya, tetap mayoritas yang ke sini ya mahasiswa. Baik-baik semua sih, A,” imbuh Aa Asep sembari sibuk menghitung uang kembalian.

“Untungnya karena lebih sepi, jadi nggak ada yang ngutang juga. Biasanya waktu dulu saya di warung Motekar 13, yang ngutang banyak. Ada yang selepas lulus langsung melunasi, ada juga yang nggak dateng-dateng lagi, padahal belum lunas. Udah biasa sih, A,” tambahnya.

Karyawan burjo yang lain, Aa Aep, bercerita tentang karakter mahasiswa yang datang di burjo yang ia jaga. Hampir tidak ada perbedaan jenis menu yang diminta mahasiswa antara awal bulan dan akhir bulan.

“Awal bulan sama akhir bulan mah nggak ada perbedaan. Paling kalo menu yang paling laku sehari-hari sih nasi ayam Bali,” katanya.

“Berapa gajinya sebulan?”

“Lumayan lah. Udah 4,5 tahun jadi karyawan Motekar, 4,5 tahun itu bisa ngerenovasi rumah di kampung jadi lebih luas,” kata Aep.

Kini, istilah “burjo” untuk menamai warung mereka perlahan ditinggalkan. Sejak PT Indofood Sukses Makmur selaku perusahaan yang memproduksi Indomie membuat program kemitraan dengan para pemilik usaha burjo, nama depan warung mereka berubah menjadi warung makan Indomie atau warmindo dengan desain spanduk seragam. Sebagai kompensasi, pembuatan spanduk tersebut dibiayai Indofood.

Bersamaan dengan itu, menu bubur kacang hijau yang menjadi ciri khas burjo a.ka. warmindo juga makin hilang. Padahal nama burjo diambil dari akronim bubur kacang hijau.

Saya bertemu dengan Keni (23), salah satu pegawai warung Motekar 16 lainnya.

“Bubur kacang hijau sama bubur ketan masih jual sih, tapi ya udah nggak terlalu laku. Sehari cuma masak satu kali. Kadang-kadang malah dua hari sekali. Itungannya menu bubur sekarang cuma menu pelengkap aja sih. Kalau gorengan baru tiap hari selalu habis. Laku. Yang paling laku tempe sama bakwan,” kata Keni, pegawai warung Motekar 16 lainnya.

Soal duka jaga warung, apa yang dirasakan Keni mungkin juga dirasakan penjaga warung burjo lainnya.

“Dukanya itu gorengan ngambilnya banyak, tapi pas bayar cuma ngaku sedikit. Beberapa kali sempet saya diem-diem hitungin terus ketahuan. Tapi nggak apa-apa, diikhlaskan saja,” kata Keni tertawa.

“Duka selain itu nggak ada sih. Seneng-seneng saja. Di sini juga aman tempatnya. Nggak ada preman-preman begitu. Urusan keamanan setiap malam selalu ada penarikan iuran keamanan dari kelurahan, cuma Rp1.000,” ujar Keni.

Sapardi Djoko Damono di dalam buku kumpulan sajaknya yang berjudul Mata Pisau menulis sebuah baris sajak yang bagus sekali.

Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang.

Baris sajak tersebut kemudian diparodikan oleh Joko Pinurbo dalam bukunya yang berjudul Srimenanti. Ia menulis:

Kopi dan saya tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang lebih pahit.

Setelah menggali serba-serbi mengenai bubur kacang hijau dan warung burjo/warmindo di Yogyakarta yang harmonis dan erat sekali hubungannya dengan orang Kuningan selama puluhan tahun, mungkin baris sajak tersebut bisa juga dituliskan begini:

Bubur kacang hijau dan warmindo tidak bertengkar tentang siapa di antara mereka yang lebih Kuningan.

BACA JUGA Kolonialisasi Warung Burjo di Tanah Mataram: Sebuah Teori Konspirasi dan tulisan tentang burjo lainnya.

 

[Sassy_Social_Share]

Terakhir diperbarui pada 9 Februari 2021 oleh

Tags: bubur kacang hijauburjoIndomieKulinerMahasiswaMakananmi instanwarmindo
Muhammad Arief Dwyangghara

Muhammad Arief Dwyangghara

Mahasiswa Universitas Padjadjaran. Gondrong tapi laki-laki. Semoga tahun ini bisa wisuda.

Artikel Terkait

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO
Liputan

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
3 Ciri Warmindo di Jogja yang Masih Asli, Jangan Ketuker Sama Warteg.MOJOK.CO
Ragam

3 Ciri Warmindo di Jogja yang Masih Asli, Jangan Ketuker Sama Warteg

22 Oktober 2025
Penyesalan ikuti kata kating/senior kampus yang aktif organisasi mahasiswa. Ngopa-ngopi dan diskusi, lulus tak punya skill MOJOK.CO
Kampus

Muak sama Kating Kampus yang Suka Ajak Ngopa-ngopi, Cuma Bisa Omong Besar tapi Skill Kosong!

24 September 2025
beasiswa kuliah. MOJOK.CO
Ragam

Kuliah Modal Beasiswa, tapi Malah “Durhaka” ke Orang Tua: Dulu Dibanggakan, Kini Menyakitkan

17 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.