Kalau ada cerita duka yang ingin disampaikan oleh aa burjo di mana pun mereka bekerja, pasti salah satunya adalah kelakuan mahasiswa yang kerap ngutang.
Sebagai seseorang yang sedang demam burjo (atau warmindo, sama saja), belakangan saya sedang giat-giatnya berkunjung ke beberapa warung burjo terdekat untuk makan berat maupun sekadar nongkrong-nongkrong. Sejujurnya, di Bandung, tempat saya kuliah, jumlah warung burjo tidak semasif seperti yang saya saksikan di Jogja.
Sebagai urang Sunda, satu hal yang membuat nyaman adalah saya bisa berinteraksi dengan para karyawan di sana menggunakan bahasa Sunda. Saat ini warung burjo yang jadi kesukaan saya adalah Motekar 16. Lokasinya tak jauh dari Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), di Jalan Kaliurang Km 14,5 Sleman, Yogyakarta.
“Tiasa nyarios Sunda geuningan, A?” (Bisa ngomong Sunda ya, Mas?) tanya Aa Adi (23), salah satu karyawan warung Motekar 16 sembari menyiapkan pesanan saya. Oke, supaya lebih hemat kalimat, untuk selanjutnya seluruh percakapan berbahasa Sunda akan langsung saya tulis terjemahannya saja.
Dalam beberapa menit, makanan yang saya pesan pun datang. Kebetulan tempat duduk saya berhadapan langsung dengan bagian warung tempat para karyawan menyiapkan pesanan. Sambil mengambil piring berisi makan malam tersebut, saya bertanya kepada Aa Adi dari mana saja para pegawai warung berasal. Saya tentu sudah punya dugaan awal perihal jawabannya.
“Saya asli Kuningan, A. Pemilik warung ini juga asli Kuningan. Kalau karyawan yang lain sih ada beberapa yang bukan dari Kuningan, tapi tetep banyaknya sih dari Kuningan,” jawabnya. Tepat seperti dugaan saya.
“Oalah. Terus sama karyawan-karyawan warung yang lain saling kenal juga gak, A?” tanya saya yang makin penasaran.
“Ada yang kenal, ada yang nggak kenal juga. Tapi kalau antarkaryawan warung Motekar yang lain sih semuanya saya hampir kenal. Soalnya kita juga banyak yang pernah tinggal satu kontrakan. Kalau karyawan di sini ada yang tinggalnya sama karyawan Motekar 17,” ujar Aa Adi sambil menunjuk arah warung Motekar 17 dengan jempol tangan kanannya.
Karena tampaknya mulut dan tenggorokan saya kurang pandai melakukan multitasking menyantap makanan dan berbincang secara bersamaan, percakapan antara saya dengan Aa Adi sepertinya perlu dihentikan sebentar.
Aa Adi juga perlu melanjutkan pekerjaannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.30 WIB. Satu per satu pelanggan lain mulai meninggalkan warung. Saya yang belum juga mengantuk memutuskan untuk berdiam sejenak di sana.
“A, kalau antarkaryawan tuh pada sodaraan apa gimana?” tanya saya sambil mengunyah gorengan.
“Ada yang sodaraan, tapi kebanyakan sih awalnya temenan di kampung terus diajak kerja ke sini. Tapi karena satu tempat kerja, ya akhirnya jadi temenan semua, A.”
“Sebenarnya ada paguyubannya. Paguyuban Pekerja Asal Kuningan. Dulu sempet aktif tapi kalau sekarang saya sudah kurang tahu, yang aktif di sana biasanya sih pemilik.”
Ketika saya tanya apakah paguyuban tersebut kerap mengadakan kumpul-kumpul atau kegiatan bersama lainnya, Aa Adi menjawab bahwa ia kurang tahu. Namun, sepengetahuannya, paguyuban tersebut sudah lama tidak berkegiatan yang melibatkan karyawan.
Selanjutnya Aa Adi juga bercerita mengenai penempatan kerjanya yang sudah tiga kali pindah-pindah warung.
“Dulu saya di warung yang di Semarang. Abis itu pindah ke warung yang di deket kampus UMY, kemudian UPN, baru deh saya di sini,” ujar Aa Adi yang usianya tidak begitu jauh dibanding usia saya.
Ia dan pekerja lainnya bekerja dua sif. Sif pertama mulai jam 7 pagi. Sif kedua mulai pukul 7 malam. Terserah siapa saja yang mau mengisi sif pagi atau malam, yang penting warung tidak boleh sampai kosong. Sedari dulu warung burjo memang umumnya buka 24 jam. Kalaupun tutup, itu juga hanya ketika Lebaran karena semua karyawan warungnya mudik.
Meskipun bisnis warung burjo sudah mengakar kuat karena kerap diturun-temurunkan, para pemilik dan karyawannya tetap butuh pulang kampung. Ada orang tua yang dirindukan, ada saudara dan kerabat dekat lainnya yang pasti juga sudah menanyakan.
Di lain kesempatan, saya pun kembali berbincang-bincang dengan karyawan warung Motekar lainnya ketika saya kembali mampir untuk makan siang.
“Dua kali lah Mas, dalam satu tahun. Lebaran sama tahun baru,” ujar Aa Asep (24) ketika saya tanya berapa kali biasanya para karyawan pulang kampung. Lebih lanjut, saya juga bertanya bagaimana interaksi para karyawan dengan pelanggan-pelanggannya.
“Kalau sekarang-sekarang ini meskipun lebih sepi dari biasanya, tetap mayoritas yang ke sini ya mahasiswa. Baik-baik semua sih, A,” imbuh Aa Asep sembari sibuk menghitung uang kembalian.
“Untungnya karena lebih sepi, jadi nggak ada yang ngutang juga. Biasanya waktu dulu saya di warung Motekar 13, yang ngutang banyak. Ada yang selepas lulus langsung melunasi, ada juga yang nggak dateng-dateng lagi, padahal belum lunas. Udah biasa sih, A,” tambahnya.
Karyawan burjo yang lain, Aa Aep, bercerita tentang karakter mahasiswa yang datang di burjo yang ia jaga. Hampir tidak ada perbedaan jenis menu yang diminta mahasiswa antara awal bulan dan akhir bulan.
“Awal bulan sama akhir bulan mah nggak ada perbedaan. Paling kalo menu yang paling laku sehari-hari sih nasi ayam Bali,” katanya.
“Berapa gajinya sebulan?”
“Lumayan lah. Udah 4,5 tahun jadi karyawan Motekar, 4,5 tahun itu bisa ngerenovasi rumah di kampung jadi lebih luas,” kata Aep.
Kini, istilah “burjo” untuk menamai warung mereka perlahan ditinggalkan. Sejak PT Indofood Sukses Makmur selaku perusahaan yang memproduksi Indomie membuat program kemitraan dengan para pemilik usaha burjo, nama depan warung mereka berubah menjadi warung makan Indomie atau warmindo dengan desain spanduk seragam. Sebagai kompensasi, pembuatan spanduk tersebut dibiayai Indofood.
Bersamaan dengan itu, menu bubur kacang hijau yang menjadi ciri khas burjo a.ka. warmindo juga makin hilang. Padahal nama burjo diambil dari akronim bubur kacang hijau.
Saya bertemu dengan Keni (23), salah satu pegawai warung Motekar 16 lainnya.
“Bubur kacang hijau sama bubur ketan masih jual sih, tapi ya udah nggak terlalu laku. Sehari cuma masak satu kali. Kadang-kadang malah dua hari sekali. Itungannya menu bubur sekarang cuma menu pelengkap aja sih. Kalau gorengan baru tiap hari selalu habis. Laku. Yang paling laku tempe sama bakwan,” kata Keni, pegawai warung Motekar 16 lainnya.
Soal duka jaga warung, apa yang dirasakan Keni mungkin juga dirasakan penjaga warung burjo lainnya.
“Dukanya itu gorengan ngambilnya banyak, tapi pas bayar cuma ngaku sedikit. Beberapa kali sempet saya diem-diem hitungin terus ketahuan. Tapi nggak apa-apa, diikhlaskan saja,” kata Keni tertawa.
“Duka selain itu nggak ada sih. Seneng-seneng saja. Di sini juga aman tempatnya. Nggak ada preman-preman begitu. Urusan keamanan setiap malam selalu ada penarikan iuran keamanan dari kelurahan, cuma Rp1.000,” ujar Keni.
Sapardi Djoko Damono di dalam buku kumpulan sajaknya yang berjudul Mata Pisau menulis sebuah baris sajak yang bagus sekali.
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang.
Baris sajak tersebut kemudian diparodikan oleh Joko Pinurbo dalam bukunya yang berjudul Srimenanti. Ia menulis:
Kopi dan saya tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang lebih pahit.
Setelah menggali serba-serbi mengenai bubur kacang hijau dan warung burjo/warmindo di Yogyakarta yang harmonis dan erat sekali hubungannya dengan orang Kuningan selama puluhan tahun, mungkin baris sajak tersebut bisa juga dituliskan begini:
Bubur kacang hijau dan warmindo tidak bertengkar tentang siapa di antara mereka yang lebih Kuningan.
BACA JUGA Kolonialisasi Warung Burjo di Tanah Mataram: Sebuah Teori Konspirasi dan tulisan tentang burjo lainnya.
[Sassy_Social_Share]