Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Salman Taseer dan Kasus Penistaan Agama yang Bermula dari Hal-Hal Remeh

Made Supriatma oleh Made Supriatma
12 Januari 2017
A A
Salman Taseer dan Kasus Penistaan Agama yang Bermula dari Hal-Hal Remeh

Salman Taseer dan Kasus Penistaan Agama yang Bermula dari Hal-Hal Remeh

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Salman Taseer adalah bekas gubernur Provinsi Punjab di Pakistan. Dia diangkat menjadi gubernur tahun 2008. Dia dibunuh tahun 2011. Penyebabnya adalah karena dia menentang hukum penistaan agama yang amat keras di Pakistan. Penentangan itu dia ucapkan dalam satu talk-show di TV lokal.

Kasus penistaan agama ini bermula dari hal yang sangat sehari-hari. Adalah sekelompok perempuan desa sedang memanen bersama. Salah satu dari perempuan itu adalah Aasiya Noreen atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Asia Bibi. Kebetulan pula, perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan suaminya buruh pembuat batu bata ini beragama Kristen (Katolik). Sebagaimana umumnya kaum Kristen di Pakistan dan Asia Selatan, mereka berasal dari kelas dan kasta terendah.

Kejadiannya berawal dari sesuatu yang sangat sepele. Bibi minum dari gelas yang sama dengan perempuan-perempuan lain yang muslim. Mereka yang muslim menganggap Bibi yang bukan muslim itu kotor sehingga tidak boleh minum dari gelas yang sama dengan mereka. Hingga di sinilah muncul percekcokan, dan itu berubah menjadi soal agama. Dalam adu mulut Bibi dituduh mengatakan sesuatu yang menghina Nabi. Otomatis ini adalah soal penghinaan dan penistaan agama. Di Pakistan, hal yang demikian ini juga berarti surat kematian yang sudah ditandatangani.

Kasus ini memancing kemarahan yang meluas di masyarakat Pakistan. Provokasi terjadi di mana-mana. Mereka yang merasa saleh merasa terhina kesalehannya. Mereka yang taat pada Tuhan, yang sesungguhnya menganjurkan untuk tidak boleh membunuh, justru merasa perlu untuk membunuh. Demi membela Tuhan!

Bibi pun diadili. Seperti kehendak masyarakat luas, pengadilan pun menghukum mati dirinya karena melakukan penistaan terhadap agama.

Kekerasan pun meledak di mana-mana. Seorang menteri untuk urusan minoritas yang kebetulah beragama Kristen, Shahbaz Bhatti, dibunuh. Demikian juga Salman Taseer. Gubernur Punjab ini mengajukan petisi agar Asia Bibi dibebaskan.

Taseer dibunuh ketika dalam perjalanan keluar makan siang bersama temannya. Pembunuhnya adalah pengawalnya sendiri, Malik Mumtaz Qadri, yang menghujani dia dengan 27 kali tembakan memakai AK-47.

Proses pengadilan Malik Mumtaz Qadri pun berbelit. Dia lama tidak ditahan. Namun, akhirnya pengadian memutuskan dia dihukum mati. Pada tanggal 29 Februari 2014, Malik Mumtaz Qadri akhirnya menjalani hukuman tersebut.

Reaksi publik Pakistan sangat mengejutkan. Ratusan ribu orang turun ke jalan untuk mengiringi pemakaman Malik Mumtaz Qadri.

Aatish Taseer, putra Salman Taseer, kemudian menulis sebuah esai di New York Times tentang pemakaman pembunuh ayahnya itu. Ini adalah salah satu prosesi kematian paling besar di Pakistan setelah Benazir Bhutto dan si Bapak Pakistan, Muhammad Ali Jinah.

Sekaligus ini mungkin adalah prosesi kematian terbesar untuk seorang pembunuh. Orang-orang ini, demikian keluh Aatish Taseer, “terdorong bukan oleh cinta mereka kepada yang mati, namun kebencian mereka kepada yang dibunuh.”

Di sini kita melihat sebuah kasus di mana negara berusaha tegak dengan akal sehatnya, yakni menghukum mati dia yang membunuh. Namun, sebagian masyarakat Pakistan memiliki kehendak lain. Untuk mereka, hukum haruslah mendukung kebencian mereka. Inilah yang mereka pertunjukkan dengan mobilisasi kebencian besar-besaran.

Haruskah kita bersyukur bahwa hal seperti ini tidak terjadi di Indonesia?

Hei, siapa bilang tidak terjadi? Seperti di Pakistan, di sini pun kita melihat para politisi—termasuk politisi yang berjubah agamawan—sibuk memobilisasi kebencian. Kita terluka ketika kita diberi tahu oleh para politisi itu bahwa agama kita dinistakan. Kita marah dan menumpahkan amarah itu menjadi kebencian yang teramat sangat.

Iklan

Namun, kita lupa bahwa ada yang berpesta pora dengan kemarahan dan kebencian kita itu!

Terakhir diperbarui pada 6 November 2018 oleh

Tags: benazir bhuttofeaturedkebencianmaliq mumtaz qadrimuhammad ali jinnahsalman taseershahbaz bhatti
Made Supriatma

Made Supriatma

Peneliti dan jurnalis lepas.

Artikel Terkait

kepala suku
Kepala Suku

Mengajak Hidup Rusak-rusakan

15 November 2018
penyekapan karena kritik seragam mojok.co
Prejengan

Hari-Hari Seragam PNS Kementerian Keuangan

16 Mei 2017
Es Goreng Rasa Mellow van Yogyakarta
Smokol

Es Goreng Rasa Mellow van Yogyakarta

15 Mei 2017
Membubarkan NU Lebih Mudah daripada Membubarkan HTI
Status

Membubarkan NU Lebih Mudah daripada Membubarkan HTI

15 Mei 2017
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

UGM.MOJOK.CO

Ketika Rumah Tak Lagi Ramah dan Orang Tua Hilang “Ditelan Layar HP”, Lahir Generasi Cemas

20 Desember 2025
bapakmu kiper.MOJOK.CO

Fedi Nuril Jadi Mantan “Raja Tarkam” dan Tukang Judi Bola di Film Bapakmu Kiper

17 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Praja bertanding panahan di Kudus. MOJOK.CO

Nyaris Menyerah karena Tremor dan Jantung Lemah, Temukan Semangat Hidup dan Jadi Inspirasi berkat Panahan

20 Desember 2025
Sirilus Siko (24). Jadi kurir JNE di Surabaya, dapat beasiswa kuliah kampus swasta, dan mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola amputasi MOJOK.CO

Hanya Punya 1 Kaki, Jadi Kurir JNE untuk Hidup Mandiri hingga Bisa Kuliah dan Jadi Atlet Berprestasi

16 Desember 2025
Keturunan Keraton Yogyakarta Iri, Pengin Jadi Jelata Jogja Saja! MOJOK.CO

Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya

18 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.