MOJOK.CO – Keluarga itu kompak untuk mengikat kontrak tumbal dan pesugihan. Namun, kisah mereka berkelok tajam tak terduga di ujung nyawa.
Tidak hanya warga sekitar yang menyimpan kecurigaan itu. Saya rasa, hampir semua orang di kota ini menyimpan pertanyaan yang sama. Bagaimana bisa, keluarga yang awalnya begitu melarat, menjadi super kaya dalam hitungan minggu. Sebuah pola lama yang terus terjadi. Cerita lama yang tak akan habis dicertikan sepanjang keturunan adam dan hawa.
Pagi sebelum kisah ini saya tuliskan, kabar meninggalnya anggota keluarga super kaya itu sampai di telinga kami. Saya, istri, dan mertua saya diam sejenak setelah mendengar kabar itu. Konon, salah satu anggota keluarga itu meninggal karena kecelakaan tunggal. Namun, dugaan tentang tumbal pesugihan lebih dominan ketimbang kabar yang beredar.
Keluarga super kaya yang saya maksud adalah sebuah keluarga kecil yang dulu bisa dibilang melarat. Keluarga itu beranggotakan 5 orang. Mbah Rejo, Pak Marno (kepala keluarga, anak Mbah Rejo), Mardi dan Kasan (anak Pak Marno), dan Lik Sardi (adik Pak Marno). Istri Pak Marno dikatakan sudah meningal sejak lama. Konon kemiskinan membuat istri Pak Marno stres lalu meninggal. Tak ada yang tahu kebenarannya.
Mbah Rejo sudah berusia 82 tahun. Sudah dipanggil Mbah Buyut oleh tetangga dekat. Namun, Mbah Rejo masih bugar, suaranya masih menggelegar, dan hidupnya selalu lurus. Bahkan ketika kemiskinan menjadi teman sehari-hari. Beliau sangat jarang mengeluh.
Pak Marno, anaknya, tidak bisa dikatakan pemalas. Entah kenapa, dia tak pernah mujur ketika bekerja atau ketika membuka usaha sendiri. Dua anaknya, Mardi dan Kasan, tidak jauh berbeda. Bahkan kemiskinan malah mendekatkan keduanya ke hal-hal gaib.
Keduanya mulai percaya bahwa hidup mereka hanya bisa berubah lewat “tumbal dan pesugihan”. Mardi dan Kasan, ditambah paman mereka, Lik Sardi, adalah contoh orang-orang yang menderita karena ketidakadilan. Mereka korban dari ketimpangan jabatan dan kekuasaan, yang mana tak bisa saya ceritakan di sini. Singkat kata, keluarga ini putus asa. Tanah mereka hilang, kebun untuk investasi dijarah, nyala semangat hidup mereka sudah lama meredup.
Kontrak tumbal dan pesugihan
Diawali oleh Pak Marno. Salah satu pekerjaan Pak Marno adalah pengepul ban bekas. Profesi yang belum lama dia geluti setelah gonta-ganti pekerjaan. Salah satu jujugannya mencari ban bekas adalah garasi bus. Saat itu, bus dalam kota masih ramai. Pak Marno cocok dengan para pegawai di sana, termasuk dengan pemilik garasi bus itu.
Dari pengepul ban bekas, Pak Marno mendapat tawaran untuk bekerja sebagai pegawai tetap di sana. Pekerjaannya antara membantu mencuci armada, bersih-bersih kantor, sampai mengantar pemilik garasi berbelanja kebutuhan armada.
Dua anaknya, Mardi dan Kasan bekerja di pasar. Mardi berjualan sayur-mayur sementara Kasan menjadi pekerja di sebuah warung mie ayam. Masih berdekatan dengan pasar. Sementara itu, Lik Sardi bekerja sebagai buruh tani, sesekali ikut menjaga kebun kelapa.
Saat itu, keempat anggota keluarga melarat itu bekerja dengan segala daya yang mereka bisa. Namun, saat itu juga, gaji yang mereka dapatkan tak seberapa. Kekecewaan karena ketidakadilan ditambah beban ekonomi yang makin menghimpit membuat jalan pintas itu ditempuh bersama-sama.
Dimulai dari Pak Marno….
Pak Marno yang semakin dekat dengan pemilik garasi mendapat cerita bahwa usaha transportasi itu menggunakan jasa paranormal supaya langgeng. Tolong bagian ini diingat. Jasa paranormal hanya digunakan supaya usahanya bisa terus bertahan, tidak mengincar keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu singkat.
“Kenapa begitu? Kalau bisa langsung sukses, bukannya ke depannya lebih enak?” Tanya Pak Marno kepada pemilik garasi. Maaf, saya tidak diizinkan menuliskan nama beliau di sini.
Pemilik garasi menjelaskan secara singkat. Intinya, jika ingin mengincar kesuksesan dalam waktu singkat, tumbal yang dituntut sudah tak masuk akal, yaitu nyawa. Lebih baik ambil “paket standar” daripada nyawa hilang. Konsep pesugihan adalah mengambil rezeki dari keturunan yang akan datang. Menurutnya, itu saja sudah cukup menyiksa. Tak perlu berlebihan.
Suatu kali, pemilik garasi pernah mengajak Pak Marno menemui paranormal yang “menjaga” pesugihan armadanya. Pak Marno banyak “belajar” dari beberapa pertemuan itu, termasuk ketika mengajak Kasan dan Lik Sardi. Sejak saat itu, Pak Marno sudah menyimpan hasrat pribadinya.
Kedekatakan Pak Marno dengan pemilik garasi membuatnya mudah mendapatkan akses ke paranormal itu. Kesempatan yang sebetulnya sulit didapat orang biasa. Paranormal di selatan kota itu memang pilih-pilih klien. Privilise itu mengantar Pak Marno mempelajari salah satu kontrak gaib untuk sukses dalam waktu singkat.
Kompak
Kontrak gaib itu ada banyak ragamnya. Syaratnya juga cukup rumit. Kalau boleh menyederhanakannya, kontrak itu membutuhkan tumbal nyawa. tidak harus dari lingkar keluarga. Bisa siapa saja. Tak memandang siapa. Random. Inilah salah satu kontrak gaib yang sangat jahat.
Pak Marno, dua anaknya, dan Lik Sardi sepakat untuk sama-sama mengikat kontrak. Mbah Rejo naik pitam ketika tahu keturunannya hendak mengikat kontrak tumbal dan pesugihan demi keluar dari jerat kemelaratan. Mbah Rejo tidak terima.
Namun, usia memang tak berbohong. Dia tidak berdaya ketika kehabisan napas setelah mengamuk. Mbah Rejo, malam itu, hanya bisa berbaring. Menahan sakit di dada karena sesak. Menahan kecewa yang begitu dalam kepada anak keturunannya. Dia hanya bisa menangis sembari memohon maaf kepada Gusti Allah.
Singkat cerita, keempat orang penuh kekecewaan itu mengikat kontrak gaib. Mereka mulai menyembah berhala, melupakan ajaran Tuhan….
Pak Marno semakin dekat dengan pemilik garasi. Hingga sekitar satu bulan kemudian Pak Marno ditunjuk sebagai kepala garasi. Padahal, di sana, masih banyak pegawai yang lebih mumpuni dan berpengalaman. Penunjukkan ini, anehnya, tak menimbulkan pertentangan. Semuanya damai dan aman. Semoga penjelasan singkat ini bisa memberi pembaca gambaran betapa besar kekuatan kontrak gaib itu.
Dua anaknya langsung moncer kurang dari 1 minggu. Mardi kini dipasrahi satu los di pasar. Sementara itu, Kasan mengambil alih usaha mie ayam di mana dia sebelumnya cuma sebatas pegawai. Lik Sardi “bernasib” seperti Pak Marno, disayang pemilik kebun. Lik Sardi bahkan dijanjikan mendapat sertifikat dari sebagian kebun yang kelak akan sepenuhnya jadi miliknya.
Seperti yang saya ceritakan di atas, hanya dalam hitungan minggu, kata melarat sudah menjauh dari keluarga Pak Marno. Hidup mereka berubah drastis.
Masing-masing mendapat kontrak yang berbeda. Pak Marno dan Lik Sardi mendapat kontrak pengasih dan pemikat. Mardi dan Kasan mendapat kontrak pesugihan penarik uang (anak bajang) dan kesaktian. Kontraknya boleh berbeda, tapi syaratnya tetap sama, yaitu tumbal nyawa.
Dalam hitungan minggu, mereka bisa dibilang sudah kaya jika dibandingkan tetangga dan nasib mereka yang dulu. Dalam hitungan tahun, Pak Marno sudah menjadi pemilik garasi bus itu. Dulu, armana Pak Marno sempat merajai jalanan di kota ini sebelum amblas karena tumbal salah sasaran.
Mardi menjadi distributor sayuran segar ke beberapa provinsi. Kasan masih berjualan mie ayam, yang rasanya jauh dari kata enak, tapi bisa membangun beberapa kontrakan dan tanahnya tersebar di beberapa kecematan. Lik Sardi menjadi pemilik puluhan petak sawah dan kebun kelapa. Bahkan dalam waktu dekat, green house Lik Sardi sudah selesai dibangun.
Tumbal salah sasaran
Cerita di atas adalah sekilas timeline kesuksesan keluarga Pak Marno dalam waktu singkat. Kini, kita masuk ke bagian tragedi yang mulai dialami keluarga kecil ini….
Jadi, anggota keluarga yang baru saja meninggal adalah Kasan. Salah satu “berkah” dari kontrak yang dia terima adalah kesaktian. Kelebihan ini membuat Kasan cukup percaya diri untuk menjadi seorang paranormal. Selama beberapa bulan, Kasan memang mulai kedatangan banyak tamu untuk memakai jasanya.
Sore kemarin, Kasan mendapat telepon. Salah satu kliennya bersedia memenuhi syarat penggandaan uang. Warga melihat Kasan keluar rumah mengendarai hartop, mobil kesayangannya. Wajahnya nampak semringah. Dia menyapa warga yang tengah berkumpul di pos ronda. Katanya mau menjemput rezeki.
Malam harinya, keluarga Pak Marno digaketkan dengan telepon dari polisi yang mengabarkan bahwa Kasan mengalami lakalantas di dekat jalur provinsi. Tidak ada luka luar padahal hartop yang dia kendarai ringsek di bagian depan. Namun, kata orang, organ dalamnya hancur, terlihat dari tubuhnya yang berubah jadi berwarna ungu. Saya tidak paham.
Mulai saat itu, desas-desus soal tumbal mulai terdengar. Ada yang menduka bahwa Kasan dijadikan tumbal oleh saudaranya sendiri. Pasalnya, selama beberapa minggu terakhir, di jalan desa, sering ada uang jatuh. Karena terlalu sering, warga menjadi curiga. Jangan-jangan itu uang tumbal yang akan mencelakakan siapa saja yang memungutnya.
Dan jika dipikirkan lagi, hanya keluarga Pak Marno yang punya “kekuatan” seperti itu. Kelebihan yang sudah menjadi rahasia umum dan meresahkan. Pasalnya, beberapa bulan yang lalu, dua warga desa meninggal dunia karena memungut dan menyimpan “uang tumbal”. Katanya, dua warga itu meninggal karena covid-19. Namun, tak ada yang percaya karena keduanya termasuk warga yang jarang sekali keluar rumah.
Pagi tadi, Pak Marno dan Mardi lebih banyak diam ketika warga sibuk mendirikan tenda untuk melayat. Sementara itu, Lik Sardi tidak terlihat. Sebuah pagi yang seharusnya muram, tapi hawa yang terasa lebih kepada mencekam. Terasa begitu tegang.
Sebuah pagi yang ketika hampir beranjak siang, sebuah kegaduhan meledak. Dari dalam rumah, beberapa ibu tetangga yang sedang membersihkan rumah berteriak histeris.
Mbah Buyut, orang tua yang dicintai warga. Mbah Rejo, yang masih bugar di usia 82 tahun, mendadak muntah darah, dadanya yang tinggal tulang kembang-kempis menandakan kesulitan bernapas. Batuk yang terdengar sangat kolosal diiringi muntahan darah terjadi selama beberapa detik.
Mbah Rejo seperti kehilangan daya hidup ketika matanya menjadi putih sempurna. Sebelum terjatuh, Mbah Rejo sempat berujar, “Ya Allah….”
Tak ada yang tahu makna ungkapan Mbah Rejo. Apakah sebagai bentuk permohonan untuk ampunan atau kekecewaan yang mendalam kepada anak dan cucunya. Siang tadi, menyusul Kasan cucunya, Mbah Rejo meninggal dunia. Dari saku kemeja batik lengan panjang itu, seorang tetangga menarik keluar uang 20 ribuan. Konon, pagi tadi, Mbah Rejo memungutnya di jalan.
Pak Marno dan Mardi berpelukan sambil menangis. Dari dalam bilik, terdengar raungan getir, disusul teriakan, “Ampun… ampun… ampun….”
Itu suara Lik Sardi. Lolongannya terdengar menyanyat hati.
Pemakaman untuk satu orang berubah menjadi dua. Ratapan dari Pak Marno dan Mardi mendominasi. Kehilangan Mbah Rejo nampaknya tidak masuk dalam “rencana tumbal” mereka. Sementara itu, dugaan soal tumbal dan pesugihan masih menjadi pembicaraan warga yang datang melayat.
Apakah tragedi itu sudah usai? Tunggu dulu….
Tepat tengah hari, warga mulai heboh. Beberapa pini sepuh atau orang tua desa mengaku melihat sosok Dewi, istri Pak Marno yang katanya sudah meninggal sejak lama.
Para orang tua itu mengaku melihat Dewi berbaur dengan para pelayat lainnya. Ada juga yang mengaku melihat Dewi di dalam dapur sedang membersihkan tungku untuk memasak. Ada juga yang melihat Dewi sedang menyiapkan kain jarik untuk memandikan Mbah Rejo.
Pak Marno pucat pasi ketika mendapat laporan itu. Mardi diam saja, tak paham dengan apa yang terjadi. Maklum, Mardi masih terlalu bocah ketika ibunya “meninggal”. Sementara itu, Lik Sardi akhirnya keluar dari bilik dengan raut wajah panik.
“Endi, Dewi! Endi! Asu!”
Makian dan kemarahan Lik Sardi semakin menambah ketegangan di acara layat itu. Selama beberapa menit, Lik Sardi berlari mengelilingi rumah untuk mencari Dewi. Kalau tidak ditahan warga, Lik Sardi sudah meraih pacul hendak dihantamkan ke kepala Dewi… kalau ketemu. Masalahnya, Dewi tak ada di sana. Warga yang ikut mencari juga tak berhasil.
Hingga pada akhirnya ketegangan reda dan cerita-cerita, spekulasi, rumor, mulai merebak. Kenapa Kasan meninggal? Kenapa Mbah Rejo mati mendadak? Kenapa Dewi muncul? Siapa yang menumbal siapa? Siapa yang menjadi tumbal?
Hingga menjelang sore sebelum pemakaman Kasan dan Mbah Rejo, pertanyaan itu tak terjawab….
Pak Marno dan Mardi ikut berjalan di belakang rombongan pelayat yang mengantar 2 jenazah menuju kuburan desa. Lik Sardi sibuk menatap jalanan desa ketika tiba-tiba di muntah darah, matanya memutih, dan terjatuh sambil bergumam, “Ya Allah….” Kali ini tak ada uang tumbal 20 ribuan yang tersimpan di baju Lik Sardi.
Arus pelayat terhenti. Ketegangan kembali terbangun. Hari ini, warga menguburkan 3 jenazah yang masih satu keluarga. Kami tidak tahu harus bagaimana selain menguburkan mereka secara layak. Pak Marno dan Mardi tak lagi berjalan berdampingan. Keduanya saling menjauh dan terlihat sangat waspada.
Sore dan gerimis mengantar pelayat kembali ke rumah duka. Warga memutuskan mengantar dan menjaga Pak Marno dan Mardi. Sampai di rumah duka, di sudut kanan rumah, di bawah kanopi, tampak sosok Dewi yang menjadi misteri itu.
Saya tak tahu sejarah Dewi dan desa ini. Namun, warga seperti histeris melihat kedatangannya. Ada yang berdoa, ada yang menyebut nama Allah, ada yang memaki, ada yang terdiam saja. Mardi ikut terdiam. Dia sibuk mengamati sosok ibunya yang konon sudah lama meninggal.
Pak Marno juga terdiam. Matanya berkaca-kaca. Dia bergumam, “Ampun… ampun… ampun,” disusul, “ya Allah,” sebelum muntah darah dan ambruk. Pak Marno belum meninggal, dia cuma kehilangan kesadaran. Tubuhnya panas sekali kata warga yang membopongnya masuk rumah.
Mardi masih terdiam ketika dia bergumam, “Emak….”
Pini sepuh desa menangis sejadi-jadinya, sosok Dewi tak lagi terlihat. Saya pulang dengan seribu pertanyaan.
BACA JUGA Doa Rosario Memandu Arwah Itu Kembali ke Permukiman Jenazah di Kete Kesu, Tana Toraja dan kisah misteri lainnya di rubrik MALAM JUMAT.