MOJOK.CO – Ini adalah trauma yang tertanam 20 tahun yang lalu. Sebuah kisah ketika saya dan keluarga masih tinggal di rumah nenek dari ayah. Sebuah rumah tua di pojok Kota Tangerang.
Kami kini sedang berada di situasi yang bahkan sebelumnya tidak pernah kami alami sama sekali. Ketika pak ustaz membuka pintu itu, perasaan trauma, takut, dan penasaran berkecamuk menjadi satu.
“Astaghfirullah!”
Teriakan pak ustaz membuat saya dan orang-orang yang berada di belakangnya kaget. Pintu yang dibuka pak ustaz menuju sebuah ruang bawah tanah, gelap, dan ada bau anyir tercium. Di bawah tangga menuju ke bawah, berserakan bangkai ayam hitam tapi hanya tersisa kepalanya saja. Bau kemenyan tercium tipis.
Pak Ustaz meminta izin terlebih dahulu sebelum turun. Melihat pak ustaz sudah hendak turun, pakdhe sigap meraih senter yang ada di laci gudang. Dia juga mengeluarkan sebilah pisau. Kilap dari pisau sempat membuat saya merinding dan menjadi trauma tersendiri.
Budhe dan sepupu-sepupu saya memilih untuk tidak ikut masuk. Demi keamanan, mereka menunggu di rumah pak ustaz. Sementara itu, Mbak Darmi hanya melihat dari pojokan pintu gudang. Ekspresinya datar. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata saya, ada seutas senyum yang tersungging. Saya menghampiri Mbak Darmi dan menggamit lengannya. Entah kenapa, saya ingin ditemani Mbak Darmi untuk ikut turun ke ruang bawah tanah itu.
Dia mengangguk, paham dengan keinginan saya. Kami bergandengan tangan ketika berjalan meniti tangga turun ke ruang bawah tanah.
Ruang bawah tanah
Pak ustaz masuk duluan, disusul ayah, pakdhe, ibu, kakak, lalu saya dan Mbak Darmi. Sinar dari lampu senter kecil itu terlihat kesusahan menerangi jalan kami.
Setelah membiasakan mata dengan kegelapan, kami mendapati kalau ruang bawah tanah itu cukup luas. Lorongnya agak panjang. Kami memilih salah satu lorong dan mengikuti alurnya dengan gerak perlahan dan… jalan buntu.
Buntu. Tidak ada lagi jalan. Di hadapan kami hanya ada sebongkah batu yang letaknya aneh, yaitu di pinggiran dinding. Rombongan itu saling bergumam sambil memeriksa setiap inci ruangan. Suasana sepi itu dipecahkan oleh Mbak Darmi yang tiba-tiba bersuara mengajak kami untuk segera pergi. Dia agak ngotot kalau ini cuma jalan buntu.
Tiba-tiba, secara samar saya mendengar suara berbisik lirih di kuping saya. Suara seperti menghembuskan napas dan berbisik sesuatu. Sebuah kalimat yang memancing trauma selama puluhan tahun ke depan:
“Hartendeur om te zien….”
Ternyata bukan saya saja yang mendengarnya. Ibu juga mendengar bisikan itu. Saya mengulungkan liontin itu ke tangan ibu. Tak butuh waktu lama, seperti memahami harus bagaimana, ibu mendekati batu itu dan seperti mencari-cari sesuatu di balik bongkahan batu.
Di balik batu itu, ibu menemukan sebuah katrol. Saya tidak bisa mengingat secara pasti benda yang ditemukan ibu. Namun, setelah obrolan panjang dengan ibu beberapa tahun kemudian, kami bersepakat kalau itu katrol.
Ibu meminta ayah dan pakdhe untuk menggeser bongkahan batu tersebut dan menarik katrol yang berada di belakangnya. Setelah itu, yang tadinya kami pikir itu jalan buntu ternyata adalah sebuah pintu. Pintu batu itu bergeser ketika katrol itu ditarik dan di balik sana masih ada lorong lagi yang akhirnya menuju ruangan lainnya.
Pintu hati
Ibu menjelaskan kepada kami bahwa tulisan di liontin adalah sebuah petunjuk. Maksud dari “pintu hati untuk melihat” dibagi menjadi dua arti. Kata “pintu” di sini menunjukkan bahwa memang ada pintu menuju sesuatu dan jika dibaca seksama, maknanya seperti terdengar bahwa ada sesuatu yang tidak bisa langsung dilihat oleh mata tetapi bisa dilihat oleh hati.
Insting itu akan membangkitkan rasa ingin tahu manusia dan akhirnya manusia itu akan mengeksplor rasa keingintahuan itu. Jadi ibu berpikir pasti ada sesuatu di sini, semacam pintu atau apa saja yang berhubungan dengan kalimat tersebut.
Saat itu, saya sama sekali tak bisa memahami penjelasan ibu. Bahkan ketika trauma ini tertanam, saya masih tak bisa memahami makna di balik kalimat liontin itu. Mungkin… lebih tepatnya enggan untuk memahaminya lebih lanjut.
Pak ustaz yang sudah mendapatkan izin, kembali berjalan di depan. Kami menelusuri lorong baru itu dengan perlahan sampai kami sampai di sebuah ruangan agak luas. Pemandangan di sana sangat tidak ramah dan sangat sulit dipahami oleh saya yang masih bocah.
Saya baru bisa memahami pemandangan itu setelah beranjak remaja. Namun, sore itu, saya mendapatkan kosakata baru, yaitu ruang penyiksaan. Ada berbagai alat, mungkin benda tajam, yang diletakkan di atas meja. Sebuah kursi berwarna cokelat gelap berdiri di tengah ruangan. Baunya bau darah. Di belakang kursi itu ada sesajen yang masih baru. Kepala saya langsung pusing. Saya tidak bisa mengingatnya lebih detail. Trauma itu terlalu kuat membendung.
Tangisan dan sosok “Dia”
Dengan berani, pak ustaz berjalan memasuki ruangan itu. Ayah, ibu, dan kakak memeriksa besi-besi tajam yang dijejer di atas meja. Sementara itu, saya dan Mbak Darmi ditemani Pakdhe mengikuti pak ustaz. Sialnya, senter yang dibawa Pakdhe malah mati. Memang, itu senter lawas yang sudah lama tersimpan di gudang.
Pandangan kami semakin terbatas. Ayah memanggil-manggil nama kami masing-masing dan memastikan untuk selalu berdekatan. Pak ustaz berzikir, berdoa meminta perlindungan dari Tuhan. Nampaknya pak ustaz sudah tahu kejadian selanjutnya….
Rombongan kami berdiri sangat dekat dan berusaha menuju pintu keluar. Ketika tinggal beberapa langkah kecil dari pintu, kami mendengar suara tangis dari kursi cokelat yang berada di tengah ruangan. Suara tangisnya lirih tapi terdengar sangat jelas.
Dia ada di sini….
Sekujur badan saya bergetar hebat. Kakak menggenggam tangan saya dan terasa sekali getaran yang cukup hebat dari tangannya. Ibu juga sama.
Dia yang tak menjawab
Kami semua merasakan ketakutan yang luar biasa saat itu. Kami mematung ketika suara tangisan dari kegelapan itu tak kunjung reda. Orang-orang dewasa di sana spontan melafalkan Ayat Kursi. Pakdhe yang panik berusaha menyalakan senternya yang sudah kadung mati. Namun, entah bagaimana, senter itu mau hidup, tapi hanya lampu bawah yang menyala jadi tidak terlalu terang.
Pakdhe langsung mengarahkan senter itu ke arah kursi. Namun, kami tidak menemukan sosok Dia di sana. Kaget, Pakdhe menurunkan senternya dan seketika, kami semua yang mengikuti arah cahaya senter ke bawah, bisa melihat sepasang kaki perempuan yang berwarna abu-abu tua dengan luka-luka sayat di beberapa tempat.
Sontak, kami berjalan menjauh dengan cepat. Jantung saya seperti mau meledak. Sensasi yang sama yang saya rasakan malam sebelumnya. Detik-detik awal trauma saya terbentuk.
Setelah keluar dari ruangan dan mata yang sudah beradaptasi dengan kegelapan, kami bisa melihat dengan samar pemandangan di depan. Dia berdiri di hadapan kami, di ambang pintu ruangan penyiksaan itu. Dia mengenakan baju terusan berwarna putih-biru. Rambutnya agak panjang dan dia berdiri sambil memandangi kami.
Pak ustaz yang sudah bisa menguasai diri lantas bertanya kepada Dia. “Kamu siapa? Kamu mau apa?”
Pertanyaan pak ustaz tidak dijawab. Dia masih mematung. Diam.
Tidak ada yang berani bergerak. Kaki-kaki kami seperti diikat ke lantai ruangan itu. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba, terdengar suara kencang bergema. Gendang telinga rasanya mau pecah. Rasanya seperti petasan besar menyalak di samping telinga.
Di balik suara dentuman itu, ada suara lain yang seperti disampaikan untuk kami. Namum, tidak ada dari kami yang memahami bahasa. Sementara saya, hanya bisa menutup telinga rapat-rapat.
Mbak Darmi
Dalam beberapa detik, tiba-tiba tubuh saya seperti ditarik. Sensasi dingin dan mengerikan itu terasa di sekujur tubuh saya. Saya menangis dan berteriak ketakutan. Histeris tanpa henti.
Ternyata, yang menarik saya adalah Mbak Darmi. Namun, itu bukan “Mbak Darmi”. Matanya berubah putih dan badannya bergetar hebat. Mbak Darmi kerasukan. Mbak Darmi punya trauma tersendiri setelah kejadian ini.
Pak ustaz yang melihat kejadian itu langsung berteriak, “AUDZUBILLAH HIMINAS SYAITON NIROJIM!”
Pak ustaz, dengan sedikit membentak, mengusir sosok yang merasuki Mbak Darmi. Mbak Darmi sendiri setelah itu pingsan tidak sadarkan diri. Saya yang masih menangis histeris memohon-mohon agar kami cepat pergi meninggalkan ruangan itu.
Ayah langsung menggendong saya, dan menyuruh semua yang ada di situ untuk pergi. Mbak Darmi yang tidak sadarkan diri dibopong oleh Pakdhe sedangkan kakak digendong langsung oleh Ibu, mereka berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat gelap dan menakutkan itu.
Dan Dia, masih berdiri di depan ruangan mengerikan itu, memperhatikan kami yang lari menuju pintu keluar.
Kejadian di ruang bawah tanah itu sukses menciptakan trauma bagi saya dan keluarga. Hingga akhirnya, ayah memutuskan untuk segera menjual rumah nenek walaupun belum 40 harian.
Keesokan harinya, plang “Rumah Ini Dijual” menancap di depan pagar rumah. Kami saling membantu untuk bergegas packing. Perabotan rumah nenek akan ditinggal dan diserahkan ke pembeli rumah itu.
Saya dan anak-anak lainnya diminta untuk bermain sesuka kami. Orang-orang tua khawatir kami jadi trauma… padahal sudah. Kami yang masih lelah karena menangis dan ketakutan semalam suntuk, hanya duduk di lantai sambil bersandar ke dinding. Dan saat itu, mata saya tertuju ke kamar nenek yang pintunya terbuka.
Buku nenek
Saya menarik tangan kakak dan mengajaknya masuk ke kamar nenek. Namun, kakak malah marah karena dia melihat pintu kamar nenek itu tertutup.
Aneh, kan? Saya melihatnya terbuka, tapi kakak saya melihat pintu kamar itu tertutup.
Sebetulnya saya sangat takut untuk masuk ke kamar nenek. Namun, Saya teringat dengan kalung liontin itu. Saya tidak berhak menyimpan dan ingin mengembalikan liontin itu ke kamar nenek. Jadi, dengan sedikit berlari, saya masuk ke kamar nenek, menaruh liontin di meja rias, lalu bergegas keluar karena ibu juga sudah memanggil.
Namun, karena buru-buru, saya malah menabrak rak buku di samping kamar. Beberapa buku tua jatuh ke lantai. Sambil mengambil napas, saya bereskan buku-buku itu dengan cepat. Sampai ke buku terakhir yang membuat saya penasaran. Saya pernah melihat nenek memegang buku berwarna hitam itu. Ketika dibuka, pada lembar pertama, ada tulisan VDB. Kelak, kisah di balik nama VDB ini yang agak meredakan trauma saya.
Belum sempat mengembalikan buku itu ke rak, ibu sudah memanggil. Karena terburu-buru, buku itu malah saya bawa.
Melihat saya menenteng buku bersampul hitam, ibu jadi heran dan bertanya menyelidik. Saya menceritakan semuanya. Mulai dari keputusan mengembalikan liontin, kakak yang melihat pintu kamar nenek tertutup, sampai buku itu. Tiba-tiba ibu jadi agak panik.
Buku itu ditulis menggunakan Bahasa Belanda. Ibu bisa sedikit Bahasa Belanda karena diajari nenek. Setelah sedikit membaca tulisan di buku itu, ibu semakin gelisah lalu memanggil ayah.
Rumah nenek laku dalam sekejap
Ibu menunjukkan buku tersebut dan menjelaskan kepada ayah isi dari buku tersebut. Karena saya tidak terlalu mengerti, saya hanya menangkap bahwa pembicaraan mereka mengarah kepada kejadian kemarin. Akhirnya buku itu disimpan oleh Ibu.
Selang beberapa hari, rumah nenek sudah terjual. Cepat sekali, bahkan beberapa tahun kemudian saya tahu kalau perusahaan besar yang membelinya tidak pernah menawar harga. Begitu papan iklan rumah dijual dipasang di depan pagar, ada perwakilan perusahaan yang langsung menemui ayah. Proses pembelian berlangsung begitu cepat dan sekarang di sana berdiri pabrik besar.
Ayah, ibu, kakak, dan saya untuk sementara tinggal di rumah orang tua ibu di Jakarta. Sementara itu, sepupu-sepupu saya tinggal sementara di rumah kerabat jauh di Palembang. Ya, kami semua meninggalkan rumah nenek. Mbak Darmi pulang kampung untuk pertama kalinya.
Sejarah keluarga
Jadi, sebenarnya apa sih yang terjadi?
Belum lama ini, saya dan ibu ngobrol cukup lama. Kami membahas lagi peristiwa traumatis yang terjadi 20 tahun yang lalu. Semenjak angkat kaki dari rumah nenek, kami tidak pernah membahas kejadian itu secara utuh. Hanya informasi sepotong-sepotong yang saya dapat.
Ibu mengawali cerita dengan kenangannya akan buku diary nenek bersampul hitam yang saya temukan di kamar nenek. Sampai saat ini, ibu masih menyimpannya dengan baik.
Ibu memperlihatkan buku itu kepada saya dan kakak saya. Dia menjelaskan bahwa dari buku dengan tanda VDB itu, ibu bisa menyimpulkan beberapa hal. Misalnya, rumah nenek adalah bekas markas rahasia tentara Belanda. Yah, sebetulnya enggak rahasia banget. Seperti rumah singgah begitu. Rumah itu juga jadi saksi kekejaman yang sifatnya masih rahasia yang dilakukan penjajah terhadap pribumi. Namun maaf, saya tidak sanggup menceritakan bentuk kekejaman itu di sini.
Mistis Tanah Jawa
Dari buku VDB itu ibu juga menemukan beberapa cerita soal kisah-kisah mistis yang terjadi di sekitar Banten, Jakarta saat ini, Tangerang, hingga sebagian Jawa Barat. Mungkin si pemilik diary ini mencatat kejadian-kejadian mistis yang mengganggu orang-orang Belanda di sana.
Singkat kata, kekuatan mistis itu menghambat kerja orang Belanda bahkan sudah dalam taraf mengganggu kerja militer juga. Sayang, di dalam buku itu tidak didetailkan.
Ibu juga menemukan catatan tentang taktik Belanda untuk mengadu domba para pribumi. Salah satu yang berhasil “dibelokkan” oleh Belanda adalah Sultan Haji, yang memicu perang saudara pada 1682.
Ibu tidak bisa membaca sebagian tulisan di buku itu karena huruf-hurufnya rusak. Namun, ibu sendiri membuat kesimpulan bahwa rumah nenek itu milik keluarga VDB. Pertanyaannya, apakah nenek dan kami tentu saja, masih keturunan dari keluarga VDB ini? Kami sendiri tidak tahu apa kepanjangan VDB. Tidak ada catatan pendukung sementara seisi rumah nenek langsung kosong dalam sekejap setelah laku terjual.
Dia
Nah, bagaimana dengan sosok Dia, yang mengenakan baju terusan putih-biru? Kami hanya bisa menyimpulkan bahwa Dia adalah salah satu korban kekejaman zaman dulu. Mungkin Dia pernah disiksa di ruang bawah tanah itu. Kami hanya bisa mengirim doa dan meminta maaf apabila keluarga kami punya dosa terhadap Dia.
Nah, satu hal yang masih menjadi misteri sampai saat ini adalah keberadaan sesajen yang masih segar di dekat kursi cokelat. Siapa yang secara rutin mengirim sesajen? Padahal sudah jelas pintunya hanya satu dan digembok. Apa mungkin ada pintu lain yang tidak kami ketahui?
Sebetulnya masih banyak pertanyaan yang ingin saya buka ke ibu. Namun, rasa trauma ini seperti menghalangi. Sensasi dingin dan gemetar hebat itu tidak bisa saya lupakan sampai detik ini.
Namun, setidaknya, akhirnya saya bisa menceritakan pengalaman ini. Meskipun menulis dalam kungkungan rasa takut. Meskipun rasa sesak itu kadang datang. Meskipun kamu tahu keluargamu punya dosa kelam yang sepertinya belum juga tertebus. Terima kasih sudah membaca….
TAMAT
BACA JUGA Trauma yang Tersimpan di Kota Tangerang (Bagian 2) dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Yamadipati Seno