MOJOK.CO – Ini adalah trauma yang tertanam 20 tahun yang lalu. Sebuah kisah ketika saya dan keluarga masih tinggal di rumah nenek dari ayah. Sebuah rumah tua di pojok Kota Tangerang.
Nenek buyut saya ini berusia 102 tahun ketika meninggal pada 2007. Usia yang sangat renta, sebaya dengan rumah tua di Kota Tangerang yang kala itu kami tempati. Rumah nenek ini khas rumah zaman dulu; luas, terlihat megah, berlantai 2. Cat di sekeliling rumah sudah luntur dan di beberapa bagian terlihat mengelupas.
Rumah nenek ini berdiri di atas tanah seluas 900 meter persegi. Tanah yang cukup luas untuk “menampung” rumah bergaya khas Belanda itu. Nenek sendiri adalah anak “nyai” Belanda. Rambutnya sudah putih sempurna, panjang sepinggang, dengan mata kebiruan yang terlihat teduh. Nenek suka sekali mengenakan kebaya. Saya sangat merindukan sosok nenek.
Petualangan di rumah nenek
Salah satu kesukaan nenek adalah menceritakan kembali kisah-kisahnya di zaman Belanda. Setelah itu, biasanya, nenek akan bercerita soal Kota Tangerang dan sekitarnya di zaman penjajahan. Kisah-kisah yang kini menjadi pemantik trauma saya.
Saya masih bisa mengingatnya dengan jelas. Saat itu, saya masih berusia 5 tahun. Lantaran rumah nenek di Kota Tangerang memang cukup besar, keluarga besar kami tinggal bersama-sama di sana. Oleh sebab itu, saya punya banyak sepupu berusia 3 sampai 10 tahun. Sebaya membuat kami sangat akrab. Kami sering “berpetualang” di pekarangan rumah nenek.
Suatu ketika, sore hari, saya dan sepupu bermain hingga adzan Maghrib berkumandang. Saat itu kami bermain petak umpet dan saya menjadi orang yang “mencari”.
Rumah nenek begitu luas dan di pekarangan rumahnya juga banyak ditanami berbagai macam pohon. Bagi saya yang masih kecil, pekarangan rumah nenek mirip seperti hutan, padahal terletak di Kota Tangerang. Saya mengitari rumah dan pekarangan, kesulitan mencari kakak dan para sepupu hingga saya tiba di suatu gudang kecil di belakang rumah. Terpisah dari rumah utama.
Raihan tangan dari gudang
Trauma itu diawali dari gudang yang kumuh dan berdebu. Pintunya yang terbuat dari papan kayu sudah terlihat lapuk. Setahu saya, gudang itu digunakan untuk menyimpan barang-barang tua dan peralatan berkebun. Ya saya pikir, kakak kandung saya ada di situ karena satu-satunya orang yang belum ketemu saat itu cuma kakak saya.
Saya yang masih polos membuka pintu gudang itu tanpa pikiran aneh. Maklum, masih bocah, hampir tidak ada pikiran takut.
Setelah saya membuka pintu, embusan debu seperti menyergap hidung saya. Saya amati, penerangan di dalam gudang itu hanya lampu kecil berwarna kuning. Oleh sebab itu, mata saya perlu beberapa detik untuk beradaptasi dengan gelapnya gudang.
Enggan melangkahkan kaki ke dalam, saya memanggil kakak berulang-ulang di dekat pintu. Namun, tidak juga ada jawaban. Saat itu, saya anggap kakak tidak bersembunyi di sana. Oleh sebab itu, ditambah debu yang bikin saya nggak betah, saya segera membalikkan badan dan ingin segera pergi.
Begitu selesai membalikkan badan, saya mendengar suara berat dan serak memanggil nama saya dari kegelapan di ujung gudang. Saya menoleh ke belakang dan dalam waktu sepersekian detik, ada sesuatu yang meraih tangan saya.
Sensasinya cukup membuat trauma sampai sekarang. Sensasi dingin terasa dari tangan yang meraih badan saya. Kaget setengah mati, saya langsung pingsan.
Larangan mendekati gudang
Meski kejadian itu membuat saya ketakutan setengah mati sampai pingsan, sialnya, saya masih ingat detail apa yang terjadi. Keluarga saya menceritakan semuanya, bahwa saya pingsan di dalam gudang. Saya agak heran di sini, karena satu-satunya hal yang saya ingat adalah saya berdiri di pintu. Namun, namanya masih bocah, saya percaya saja meski jadi agak trauma.
Tukang kebun yang menemukan saya petang itu. Anehnya, meski ada tukang kebun, tapi dia jarang masuk ke gudang untuk mengambil peralatan. Alat berkebun yang biasa dipakai tidak disimpan di gudang. Saya lihat, di dalam gudang, alat-alat yang disimpan mayoritas berdebu. Artinya, alat-alat itu sudah lama tidak dipakai, bukan?
Nenek buyut mendengarkan cerita saya dengan penuh perhatian. Setelah itu, dia menatap saya agak lama. Tatapan khawatir. Setelah diam agak lama, nenek melarang semua orang untuk mendekati atau masuk ke gudang tersebut. Secara khusus, nenek meminta tukang kebun untuk memindahkan semua alat-alat dan peralatan dari gudang ke tempat lain.
Aneh?
Kembang 7 rupa dan tatapan tajam
Udara Kota Tangerang sore itu terasa lembap. Saya dan kakak iseng jalan-jalan ke halaman samping. Sebetulnya, kami ingin menghindari gudang itu, tapi sebuah pemandangan membuat kami sangat penasaran. Jadi, kami melihat nenek buyut berjalan pelan ke arah gudang itu. Karena penasaran, kami mengikuti nenek dari jarak aman.
Saya melihat nenek berdiri diam di depan gudang yang pintunya terbuka. Dia diam, mungkin, selama 5 menit. Setelah itu, nenek menyebarkan kembang 7 rupa ke dekat pintu gudang yang terbuka. Sementara itu, saya dan kakak hanya bisa mengintip dari balik semak-semak. Tidak lama kemudian, tiba-tiba, nenek terjatuh.
Spontan, saya langsung berlari ke arah nenek untuk menolong, sementara kakak lari meminta tolong ke rumah utama. Saya menangis dan panik, mencoba membangunkan nenek. Namun, perasaan dingin itu datang lagi. Tiba-tiba saya merinding dan ketakutan, sebelum akhirnya melihat mata merah menyala dari dalam gudang.
Mata itu menatap tajam ke arah saya dan nenek. Saya hanya bisa menangis dalam diam. Saya mencoba berteriak, tapi suara saya terdengar lirih. Mata itu membuat tubuh saya seperti mematung dan merinding sekaligus.
Rasa takut itu membuat waktu beberapa menit menjadi terasa sangat lama. Mungkin titik inilah yang menjadi awal mula trauma saya. Perasaan saya jadi agak lega ketika kakak dan ayah datang menghampiri. Saya lihat dari sudut mata, sepasang mata merah dari dalam gudang itu sudah hilang.
Sebelum menolong nenek dan saya, ayah sempat menengok ke dalam gudang. Ayah bergegas menutup, lalu mengunci pintu gudang rapat-rapat. Setelah itu, ayah menggendong nenek, sementara ibu, yang datang belakangan, menggandeng saya menuju rumah utama.
Teror yang berlanjut
Sekitar pukul 8 malam, ibu menghampiri saya dan kakak yang sedang belajar di kamar. Ibu dan ayah pamit akan membawa nenek ke rumah sakit Kota Tangerang. Ayah dan ibu akan ditemani pakdhe. Sementara itu, saya, kakak, budhe, dan beberapa sepupu di rumah saja. Malam itu, ada sekitar 10 orang di dalam rumah. Budhe, yang mungkin agak takut, mengajak semua orang untuk tidur ramai-ramai di ruang tamu.
Hal bodoh terjadi lama itu. Saya merasakan kombinasi yang menyebalkan, yaitu haus dan kebelet kencing pada saat bersamaan. Saya mencoba membangunkan budhe. Namun, budhe tidur lelap sekali dan sulit dibangunkan. Akhirnya, tidak bisa lagi menahan kencing, saya pergi ke toilet dan dapur sendirian.
Pembaca masih ingat, kan, kalau rumah tua di sudut Kota Tangerang ini ukurannya cukup besar? Nah, oleh karena itu, jarak dari ruang tamu ke toilet dan dapur itu agak jauh. Selesai kencing, saya merasa sangat haus dan agak berlari kecil menuju dapur. Ada rasa takut juga, sih.
Belum sampai dapur, pembantu nenek saya muncul mengagetkan. Dia bertanya kenapa saya kok sendirian malam-malam di dapur. Saya bilang haus dan pengin minum.
Mendengar penjelasan saya, pembantu itu bergerak dengan sangat cepat mengambil botol minum, mengisinya dengan air, lalu menggandeng saya kembali ke ruang tamu. Dia melarang saya berkeliaran sendirian di dalam rumah, apalagi ketika malam hari. Saya yang takut, memilih diam dan menurut saja.
Dia yang datang
Setelah puas minum, saya mencoba tidur lagi. Namun, tidak lama kemudian, saya mendengar suara langkah kaki dan ketukan di pintu. Seseorang mengetuk pintu sebanyak 3 kali. Saya pikir ayah, ibu, dan pakdhe sudah pulang.
Saya membangunkan budhe dan bilang kalau kalau ayah sama ibu kayaknya sudah pulang. Kali ini, saya berhasil membangunkan budhe.
Budhe, bangun susah payah dan berjalan sempoyongan karena masih ngantuk. Pintu depan, yang tadi diketuk 3 kali, dibuka oleh budhe. Namun, tidak ada orang di sana. Budhe yang selama beberapa detik keheranan, malah mengira saya iseng. Agak jengkel, budhe kembali tidur.
Malam itu, tiba-tiba rasa takut dan trauma yang saya rasakan waktu di gudang itu datang begitu saja. Rasa dingin mulai terasa. Benar saja, tidak lama, ada yang memanggil nama saya dari arah lantai dua dekat tangga.
Ketika agak mendongak dari posisi tidur, saya bisa melihat ada sosok berbaju putih dengan rambut panjang sepinggang berdiri persis di samping tangga. Saya yang kaget langsung menutup muka menggunakan selimut. Agak lama saya menutup muka pakai selimut sebelum memberanikan diri mengintip.
Pembukaan trauma
Saya rasa, adegan di film horor di mana sosok makhluk halusnya hilang, tapi tiba-tiba muncul itu di dekat sang tokoh benar adanya. Setelah agak lega, saya memiringkan badan ke arah budhe. Dan di sana, saya melihat sosok berambut panjang itu sudah berdiri di dekat budhe. Dia sedang menatap tajam ke arah kami.
Beberapa detik kemudian, dia berjalan ke arah saya. Saya ingat menjerit begitu keras. Namun, tidak ada yang terbangun. Saking takutnya, saya berdiri lalu berlari ke arah dapur. Saya gedor pintu kamar pembantu nenek sekuat tenaga.
Rupanya, pembantu nenek saya belum tertidur. Dia membuka pintu dan segera menarik saya ke dalam kamar!
Dia memeluk saya dengan erat sambil menenangkan saya yang menangis sejadinya. Di dalam pelukan sang pembantu nenek, saya mendengar pintu kamar diketuk 3 kali dan nama saya dipanggil.
Suaranya lirih dan menakutkan….
[BERSAMBUNG]
BACA JUGA 3 Kontrakan Paling Horor di Jogja yang Pernah Saya Huni dan kisah menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Yamadipati Seno