MOJOK.CO – Gunung Merbabu menawarkan keindahan dan pesona yang unik. Namun, di balik itu semua, ada teror yang mengiringi.
Saya paham bagaimana kehidupan ini memiliki dimensi yang berdampingan. Pengalaman saya ini menjadi salah satu buktinya. Lokasinya di Gunung Merbabu, sebuah lokasi di mana teror kecil ini terjadi.
Pengalaman saya terjadi pada 2019. Ketika naik gunung menjadi kegiatan favorit di sekolah dan teman-teman saya. Oleh sebab itu, saya memutuskan bergabung ke organisasi Siswa Pencinta Alam (Sispala).
Proses menjadi anggota Sispala memang cukup panjang. Mulai dari pendidikan dasar, mendapatkan nomor dada, pendidikan lanjutan, dan masih banyak lagi.
Proses menjadi anggota Sispala
Pendakian wajib adalah syarat yang sudah mutlak untuk mendapatkan nomor dada. Kelak, nomor dada akan melekat pada baju lapangan setiap anggota. Angkatan saya ada sekitar 25 calon anggota. Saat itu kami akan mendaki Gunung Merbabu via Selo Gancik Baru. Jalur yang agak berat dan masih sepi pendaki.
Rombongan kami berangkat menuju Gunung Merbabu selepas salat Asar. Kami berangkat dari Sleman menuju Boyolali menumpang truk pasir. Kami tidak menempuh jalan Jogja-Magelang, tapi menembus jalur truk pasir. Maka, kamu bisa membayangkan betapa perut kami jadi sangat mual karena goncangan. Tak sedikit dari kami yang akhirnya mengeluarkan semua santapan makan siang dari lambungnya.
Awal pendakian Gunung Merbabu
Malam sekitar pukul 20.00 kami sampai basecamp. Kalau menengok jadwal, kami akan mulai mendaki Gunung Merbabu di pagi hari. Jadi, masih ada waktu satu malam untuk istirahat dan mempersiapkan semuanya. Kemudian, tepat pukul 05.30, pendakian siap dimulai.
Kombinasi warna merah jambu dan oranye dari matahari terbit menemani awal pendakian kami. Setelah itu, indahnya pemandangan ladang memanjakan mata. Cuaca cerah dan udara segar menjadi awal dari sebuah teror kecil di Gunung Merbabu.
Supaya lebih mudah diawasi, 25 orang dibagi menjadi tiga kelompok. Setiap kelompoknya didampingi oleh pendamping Sispala. Sebagian besar dari kami merupakan pendaki pemula dan baru pertama kali mendaki gunung. Oleh sebab itu, banyak yang kaget dan belum bisa mengatur tenaga serta logistiknya.
Kalau dari segi logistik, kami masih bisa mengatasinya dengan mematuhi peringatan untuk tidak boros air. Namun, untuk urusan stamina, kami harus belajar mengaturnya supaya pendakian selama enam jam bisa berjalan dengan baik.
Rombongan kami memang sudah melakukan latihan fisik bersama. Namun, antara latihan dan kondisi di medan asli di Gunung Merbabu sangat berbeda. Kelelahan datang dengan cepat dan membuat pendakian jadi agak molor. Maklum namanya pendaki pemula. Jalannya seperti siput. Kami sampai di sabana saja ketika menjelang Magrib.
Pendakian hari kedua di Gunung Merbabu
Selesai mendirikan tenda, kami menghitung ulang anggota rombongan. Untung pas, batin saya. Setelah itu, kami mulai memasak, makan, lalu mendapat instruksi untuk langsung tidur.
Pendakian hari kedua dimulai pada pukul 05.30 seperti kemarin. Kali ini kami tidak membawa beban seberat kemarin. Hanya jaket dan perbekalan ringan. Tujuan kami adalah mencapai puncak dan turun lagi secepat mungkin. Nanti, di puncak, nomor dada akan dibagikan.
Perjalanan sampai puncak Gunung Merbabu berjalan sangat lancar. Tidak ada gangguan. Teror yang saya maksud tidak terjadi di sini. Mungkin karena kami mendaki sambil ditemani sinar matahari. Makanya, kami bisa menikmati pemandangan dan rimbunnya padang sabana sehabis musim hujan.
Perjalanan turun dari Gunung Merbabu
Sekitar pukul 15.00, rombongan kami sudah sampai camp area tempat kami mendirikan tenda. Kami tidak mempunyai banyak waktu untuk bersantai. Oleh sebab itu, setelah dari puncak Gunung Merbabu, kami bergegas masak, makan, lalu packing.
Menjelang pukul 16.30, kami sudah selesai packing dan membersihkan area tenda. Sebelum menempuh perjalanan pulang, kami pemanasan dulu biar nggak terkilir ketika turun. Maklum, bagi sebagian orang, perjalanan turun gunung itu bisa lebih berbahaya.
Kami berjalan masih menggunakan formasi yang sama, yaitu tiga kelompok. Saya berada di kelompok paling depan dan mendapatkan tanggung jawab memegang HT untuk berkomunikasi dengan kelompok lain.
Dalam sebuah pendakian, hal yang paling berbahaya setelah turunnya suhu udara secara ekstrem, adalah perjalanan turun, seperti yang saya singgung di atas. Oleh sebab itu, saya sadar harus mobile memeriksa kelengkapan anggota. Apesnya, setiap kelompok ini pasti ada satu atau dua anggota yang sedikit tidak sehat. Lebih apesnya lagi kita terpaksa untuk melewati cekaman malam Gunung Merbabu.
Malam di Gunung Merbabu
“Wei, kelompok yang paling depan agak cepat saja. Sampai basecamp langsung bergegas bilang orang basecamp untuk evakuasi yang sakit,” ujar teman saya yang berada di kelompok paling belakang menggunakan HT.
Segera saya pindah ke depan dan tidak lagi mobile untuk menjaga stamina. Sekitar pukul 20.00, rombongan saya hampir sampai di pos satu. Area di sekitar pos satu ini disesaki ranting dan semak yang tingginya hampir sama seperti manusia pada umumnya.
Sebetulnya saya sudah merasa tidak nyaman. Turun dengan kecepatan lebih laju dan keberadaan anggota yang sakit membuat saya lebih mudah cemas. Dan, rasa tidak nyaman itu seperti langsung termanifestasikan.
Ada suara keras di semak-semak di depan saya. Suara gesekan tubuh dan ranting itu terdengar sangat jelas.
Dan, saya membuat blunder di sini.
“Weh, bangsat! Ono demit, jingan!” Secara refleks saya mengumpat.
Baca halaman selanjutnya….