Saya yang berada di barisan depan ditempel oleh lima teman untuk jaga-jaga. Kami langsung saling melempar pandangan dan sadar ada yang janggal.
Salah satu teman saya yang memegang senter SWAT mengarahkan cahayanya ke arah semak. Cahaya senter yang terang itu seperti menyambut pemandangan yang bikin saya mulas dan sesak di dada.
Di depan kami, di balik semak raksasa Gunung Merbabu, berdiri sesok berambut panjang sampai pinggul. Sekitar bagian belakang kepala dan perut samping berlumuran darah. Sosok itu berjarak kurang lebih lima meter dari kami. Dia berdiri diam membelakangi kami. Sementara itu, kami juga mematung. Kepala ini tiba-tiba saja kosong.
Saya merasa sosok itu sadar bahwa kami ada di belakangnya. Oleh sebab itu, dia memutar kepalanya ke belakang secara perlahan. Seperti melirik kami dari depan, saya bisa melihatnya menyeringai.
Kami semakin terdiam dan mengunci mulut serapat mungkin. Kami tidak bisa, lebih tepatnya tidak tahu, harus bagaimana selain menunggu sosok itu menghilang.
Berjalan memutar
Saya tidak tahu sudah diam berapa lama. Sayangnya, sosok itu tak kunjung hilang. Saya sangat menyesal sudah melontarkan kata-kata kotor di Gunung Merbabu. Yah, tidak ada pilihan lain selain berjalan memutar. Dua teman saya berlari ke belakang untuk mengarahkan rombongan.
Sisa kami bertiga memilih untuk berjalan pelan. Baru juga beberapa langkah, salah satu teman terjatuh karena tersandung batu.
Begitu teman saya jatuh, terdengar suara tertawa dari salah satu sisi pohon. Untuk kedua kalinya kami terdiam dan saling melihat. Mental kami seperti dihajar habis.
“Kita malah diketawain,” kata saya lirih.
Kami memutuskan untuk berhenti sejenak, menenangkan diri, sembari menunggu rombongan sampai. Untung saja, selama istirahat, kami tidak lagi diganggu. Namun, perasaan dilirik oleh sosok berlumuran darah itu masih tersisa. Ketika rombongan sudah menyusul, kami bergegas ke basecamp.
Tradisi sehabis teror di Gunung Merbabu
Sesampainya di basecamp, tak sampai 15 menit, rombongan tengah sudah sampai. Namun, setelah menunggu agak lama, kelompok terakhir belum sampai juga. Kami bahkan sudah selesai makan dan membersihkan diri.
Sudah menjadi sebuah tradisi para pendaki bahwa jika melihat kejanggalan, jangan langsung cerita. Nah, pada momentum ini, mereka semua bercerita tentang seramnya jalur pendakian pada malam hari di Gunung Merbabu. Ternyata, kelompok tengah juga merasakan teror yang sama.
Pendamping yang menemani kelompok tengah itu lebih peka ketimbang semua orang yang ikut naik ke Gunung Merbabu. Dia menceritakan pengalamannya yang sama persis seperti kelompok saya. Perbedaannya ada di tempat dan jaraknya. Kelompok tengah melihat tepat di pos satu. Sosok tersebut berdiri tidak di semak-semak, tetapi berada di bawah satu-satunya pohon yang ada di tengah pos.
Lama sekali kelompok terakhir belum muncul juga. Kasak-kusuk sudah terdengar. Saya mengambil HT yang baterainya sedang diisi dan melakukan panggilan untuk kesekian kali.
“Kelompok terakhir, aman?”
Tidak ada jawaban.
Pendamping Sispala sudah berkoordinasi dengan penjaga basecamp Gunung Merbabu. Namun, saat itu, kondisinya kekurangan orang di basecamp jadi belum bisa melakukan pencarian.
Lantaran sudah sangat terlambat, para pendamping dan ketua regu akhirnya memutuskan untuk bergerak. Kami bergegas berangkat sambil terus melakukan panggilan lewat HT.
Setelah beberapa lama mendaki, akhirnya ada jawaban dari HT. Kelompok terakhir mengaku tersesat dan kelelahan. Mereka meminta bantuan untuk mengangkut logistik dan peralatan. Kami jadi agak tenang, meski kelelahan sudah sangat terasa.
Kembali ke lokasi teror
Meski sudah agak tenang, tapi kami tidak menurunkan kecepatan. Bahkan saya merasa kami agak tergesa-gesa. Saat melewati pos satu, saya menutup mulut serapat mungkin. Saya juga tidak berani menoleh. Pokoknya jalan saja, tidak terpisah dari rombongan, dan menjaga omongan.
Kami akhir “menemukan” kelompok terakhir di antara pos satu dan dua Gunung Merbabu. Beberapa anggota mereka sakit, ada yang kelelahan, dan satu orang cedera engkel. Oleh sebab itu, mereka harus berhenti beberapa kali dan berjalan dengan lambat. Namun, batin saya, kok agak terlalu lambat, ya. Tapi ya sudahlah.
Setelah sampai di antara pos satu dan pintu rimba, saya mendengar suara motor dan klakson. Ternyata sudah ada tiga motor penjaga basecamp yang menjemput kami. Total kelompok terakhir ada tujuh orang. Jadi, hanya yang kelelahan dan terkilir saja yang naik motor untuk dievakuasi. Tersisa empat orang yang harus meneruskan perjalanan turun Gunung Merbabu dengan berjalan kaki.
Supaya tidak ambruk karena kehabisan tenaga, kami memutuskan berjalan pelan saja. Saya dan beberapa teman dari kelompok pertama berjalan paling belakang.
Sesampai di pintu rimba Gunung Merbabu, jarak kami dan rombongan agak terpisah jauh. Lantaran sudah tidak terlalu jauh dari basecamp, kami memutuskan untuk istirahat lima menit sambil merokok. Kaki saya pegal sekali.
Rokok baru menyala, rasa tidak enak kembali saya rasakan. Teman-teman yang menemani juga merasakan hal yang sama. Kami hanya bisa berusaha berpikir positif. Ketika hendak melanjutkan perjalanan, dari semak di sisi kanan, kami melihat sosok yang berbeda.
Kali ini kami bisa melihatnya dari depan. Kulitnya hitam. Dia tinggi sekali.
Dalam hati saya berkata, “Setan Gunung Merbabu ini nggak tahu kalau saya capek banget apa, ya?”
Pasrah
Kami, sekali lagi, hanya bisa diam dan menundukkan kepala. Rokok masih setengah batang dan kami memilih menghabiskannya dalam diam. Kami juga beranjak dari duduk dengan diam. Eh, baru beberapa langkah, sosok yang muncuk di pos satu menampakkan dirinya.
Kepala dan perutnya berlumuran darah. Dia masih menyeringai sambil mengawasi kami dari kegelapan. Kali ini kami tidak berhenti, tetapi memberanikan diri berjalan. Ya tetap pasrah. Sesampainya di basecamp, rasa lelah sudah sampai puncak. Kami tertidur pulas.
Satu hal yang saya syukuri adalah dua sosok itu tidak “menyerang” atau membuat kami tersesat lebih jauh. Mereka menampakkan diri setelah saya, dan mungkin beberapa orang lain, berbuat “tidak benar”. Dimensi yang berbeda itu mungkin terganggu ketika “rumah” mereka dibuat kotor oleh “sebatas tamu”.
BACA JUGA Pendakian ke Gunung Pulosari: Uji Nyali di Kedalaman Banten dan cerita menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Petrus Risang Bentara
Editor: Yamadipati Seno