Malam itu tinggal saya yang masih melek. Istri dan anak sudah lama tidur di kamar. Sendirian saya rebahan di ruang tengah. Jam dinding menunjuk angka satu.
Lamat-lamat saya merasa ada yang mengetuk jendela samping rumah. Suaranya pelan, tapi malam yang sunyi memantulkan bunyinya cukup keras. Mungkin hanya angin, pikir saya. Tapi sejak kapan angin mengetuk rumah orang? Saya melihat jendela. Dari korden yang belum sepenuhnya tertutup saya melihat ada yang berdiri di baliknya.
Saya punya teman yang hobi bertandang tengah malam. Seperti ikan lele yang nokturnal ia sering kelayapan tengah malam, membangunkan teman dan memaksa begadang hingga pagi. Tapi ini jelas bukan gayanya. Lagi pula ia sudah lama pindah dari Jogja. Saya coba menatap lebih lekat. Sosoknya makin jelas dan saya makin menyadari bahwa ia bukan teman yang saya kenal. Ia adalah pocong.
Wajahnya pucat seperti berhari-hari begadang. Mata merahnya menyala menatap saya. Mungkin dia yang kemarin menampakkan diri kepada istri saya, batin saya.
Beberapa malam sebelumnya, istri saya terbirit-birit masuk rumah. Hari masih sore, sekitar pukul delapan malam ketika ia berada di halaman belakang. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, katanya, di bawah pohon rambutan, seseorang terlihat duduk-duduk. Pakaiannya putih. Dari cahaya yang samar-samar, ia melihat mata berwarna bara itu menatapnya.
Pocong itu lalu melambaikan tangan, meminta saya mendekat. Saya pura-pura celingukan, berharap ada orang lain yang di sekitar saya. Tentu saja tidak ada. Terpaksa saya patuh.
Saya bangkit dengan kaki gemetar. Rasanya seperti mendapat panggilan maju dari guru matematika untuk menyelesaikan soal di papan tulis. Ketika posisi kami hanya dipisahkan oleh teralis, ia menghardik, “Awas kamu, jangan main-main!” Ia lalu melengos pergi sambil terus mengoceh tak keruan.
Syukurlah, saya juga tidak berniat mengundangnya masuk ke ruang tamu lalu ngobrol berlama-lama. Cepat-cepat saya menutup jendela dan bergelung di samping istri dan anak saya.
Rumah saya memang dikenal banyak dihuni hantu. Sebelum saya tempati, rumah itu sempat kosong beberapa lama. Dua bangunan di seberang rumah dibiarkan kosong sejak diambrukkan gempa tahun 2006. Rumah di belakang juga tak berpenghuni, begitu juga rumah di sisi timur. Mungkin karena itu, ia lama terjual meski banyak yang tertarik dengan lokasi, spesifikasi, dan harganya.
Bangunan rumah berdiri di atas tanah seluas 260 m. Terletak di tengah dusun, jauh dari pemakaman, dekat sungai, terhubung dengan jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat. Pokoknya KPR-able. Dan harganya kurang dari 150 juta. Cocok untuk kantong karyawan.
Untungnya, desas-desus soal hantu itu saya dengar setelah kontrak jual beli selesai. Ketika kami mulai mencoba bergaul dengan tetangga barulah cerita-cerita tentang adanya sosok yang menghuni rumah kami terdengar. Ada yang bercerita melihat sosok anu atau anu. Mereka biasanya menghubung-hubungkan cerita dengan pohon besar yang tumbuh di halaman depan rumah, yang belakangan saya ketahui sebagai pohon kopi.
Ketakutan para tetangga makin menghebat ketika pohon kopi itu berbunga. Malam hari aroma wangi kembang kopi menguar, menyerbu kamar-kamar tidur dan memaksa mereka tidur lebih awal sambil memeluk anak-anak kecil mereka lebih erat. Beberapa orang dewasa memilih jalan memutar ketimbang melintasi jalan depan rumah yang gelap gulita.
Malam pertama menempati rumah itu, seorang kakek-kakek muncul di hadapan saya. Wajahnya cerah ditumbuhi bulu-bulu putih. Sebelum saya sempat terkejut dengan kehadirannya, ia mengambil tangan saya dan menjabatnya erat-erat. Ia memperkenalkan diri sebagai tetangga. Lalu, hap! Lenyap. Mungkin mereka memang tidak pernah berbasa-basi.
Sampai sekarang kadang terlihat ada yang berjalan-jalan di dalam rumah atau berjoget-joget di halaman belakang. Tapi saya memegang ucapan si kakek-kakek bahwa kami bertetangga. Seperti lazimnya tetangga, ada yang baik, pengertian, ada juga yang reseh, usil, dan cerewet.
Meski tidak turut membantu membayar KPR, saya tetap berhutang kepada mereka. Setidaknya mereka telah berjasa menjaga rumah itu dari godaan harga yang menggila. (Jangan-jangan, hanya para hantu yang bisa menstabilkan harga properti).
Soal ancaman tetangga pocong itu, saya hanya menduga ada sangkut pautnya dengan pohon kopi yang akhirnya saya tebang, karena saran (lebih tepatnya paksaan) dari para tetangga (yang manusia).
Di pertemuan singkat itu, sebenarnya ada keinginan saya untuk meminta maaf jika keputusan itu kurang berkenan di hatinya. Lagi pula kalau ia penyuka kopi, saya bisa informasikan bahwa sekarang di Jogja makin banyak warung kopi yang bisa dikunjungi. Malah kabarnya, ada jenis kopi baru di Angkringan Mojok, Blue Tamblingan namanya.
Kalau kapan-kapan ia muncul lagi saya berencana mengusulkan agar sesekali ia bisa meluangkan waktu mampir ke sana, ngopi bareng Mas Agus Mulyadi. Ya, kalau saya tidak keburu kencing di celana.