MOJOK.CO – Bagai disambar petir, kenyataan itu membuat saya terhenyak. Kenapa kuyang itu sampai hati meneror sebuah kampung kecil di pelosok Kota Cimahi.
Baca dulu bagian pertama di sini: Misteri Kuyang di Kota Cimahi (Bagian 1)
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh warga sebuah kampung di pelosok Kota Cimahi setelah pasangan janggal itu menghilang. Setelah rapat dua RT disepakati bahwa kami akan meningkatkan penjagaan. Terutama di RT 03 tempat kampung saya berada. Sementara itu, di kampung sebelah, RT 04, kewaspadaan juga ditingkatkan.
Poin kedua adalah beberapa warga dari RT 04 akan ikut berjaga di RT 03. Ide yang langsung disambut dengan tepuk tangan dan anggukan setuju oleh warga RT 03. Mengingat saat itu masih ada satu warga kampung saya yang akan melahirkan. Semakin ramai, pikir saya, semakin bagus. Semakin kuyang itu tidak bisa menembus barikade dan meneror calon ibu.
Poin ketiga yang disepakati adalah masalah kuyang tidak boleh sampai bocor lebih dari ini. Jujur, sebetulnya, saya agak aneh mendengar kesepakatan ketiga ini. Bukankah kalau semakin banyak yang tahu, bala bantuan akan semakin banyak? Tapi entahlah, suara anak kecil yang masih SMA pasti tidak akan didengar.
Sepanjang sisa hari itu, pertanyaan itu terus bergelayut di dalam kepala saya. Tapi, saya tidak punya banyak waktu untuk tenggelam di tengah pertanyaan yang tidak bisa saya temukan jawabannya saat itu juga.
Pilihan saya tidak banyak. Saya, dan semua warga kampung di Kota Cimahi yang akan berjaga, harus segera menyiapkan nyali. Hanya itu. Mengingat kegilaan di jam-jam yang akan datang sungguh tak terbayangkan. Selain itu, kami hanya bisa berdoa….
Hasil rapat kedua
Keesokan harinya, beberapa perwakilan dari dua RT berkumpul untuk rapat lanjutan. Satu keputusan yang diambil adalah ketimbang menunggu kuyang itu muncul lagi, gabungan warga akan melakukan patroli. Misi utama kami adalah menemukan kediaman dua sosok mencurigakan yang salah satunya dicurigai sebagai kuyang. Patroli dimulai dengan mengabari beberapa RT tetangga karena kami curiga dua sosok itu masih punya kontrakan lain.
Aksi yang kami lakukan adalah mengunjungi beberapa rumah kontrakan di RT 03 dan 04 terlebih dahulu. Jika hasilnya masih nihil, baru kami akan mengunjungi beberapa RT yang bertetangga dekat. Hal ini mengingat di Kota Cimahi cukup banyak kos pasutri dan kontrakan.
Kalau tidak salah menghitung, kami menghabiskan waktu hampir 12 jam untuk menelusuri setiap kos dan kontrakan. Kami tidak bisa gegabah melakukan patroli. Bisa saja dua sosok itu tahu kalau kediamannya akan dikunjungi warga dan memilih pergi meninggalkan Cimahi. Namun sayang, kami tidak berhasil menemukan pasangan mencurigakan itu.
Peraji yang mencurigakan
Malam harinya, kami kembali berkumpul di pos. Saya dan tiga teman (namanya Epul, Jaenal, dan Adi) sampai paling awal. Kami mendengar kabar kalau Bu Nuri dan Bu Ayu akan melahirkan. Sementara itu, di kampung kami, hanya ada satu peraji. Iya, peraji yang ikut menjadi kemunculan kuyang beberapa hari yang lalu. Oleh sebab itu, ditemani beberapa warga, kami diperintahkan untuk membantu memanggilkan peraji di RT 04 (kampung sebelah).
Setelah bertemu dengan Pak RT 04, kami diberi tahu kalau ada satu peraji di RT itu. Dia masih muda, cantik, dan sudah agak lama menetap di Cimahi. Katanya sih lulusan keperawatan dan sudah sering membantu proses persalinan.
Adi, teman saya, adalah yang pertama kali menyadari sesuatu. Peraji yang masih muda itu memiliki lesung pipi. Persis dengan ciri-ciri sosok mencurigakan di rumah yang kami datangi. Sosok yang dicurigai sebagai kuyang. Kami semua jadi ikut mengamati sosok peraji muda itu. Dan ya, kami sepakat punya kecurigaan yang sama.
Peraji itu bernama Santi.
Pengajian
Sebagai salah satu usaha membangun “benteng pertahanan” dari serangan kuyang adalah doa. Oleh sebab itu, Pak Ustaz Endang berinisiatif menggelar pengajian di RT kami. Semua warga langsung setuju untuk menggelar pengajian di lapangan voli sebelah pos ronda. Warga RT 04 juga ikut diundang.
Cukup banyak warga yang menghadiri pengajian. Butuh waktu yang agak lama bagi saya untuk menyadari sesuatu. Sore itu, sekitar pukul empat, terlihat banyak perempuan yang tidak saya kenal. Bahkan warga RT 04 tidak mengenal rombongan itu. Janggal sekali, pikir saya.
Pak RT sendiri lebih memilih untuk mengabaikannya setelah mendapatkan laporan. Pokoknya, acara pengajian harus berjalan lancar. Soal kejanggalan yang saya ceritakan, akan dibahas belakangan.
Yah, namanya penasaran, terkadang memang membutakan. Sepanjang pengajian, mata saya tidak pernah lepas dari Santi. Saat pembacaan surat Al-Jinn, entah hanya perasaan saya atau memang rombongan perempuan itu serempak menatap tajam ke arah saya. Saya yang kaget langsung memalingkan muka. Saya tahu ini janggal dan ada yang tidak beres.
Pengajian selesai beberapa menit sebelum Maghrib datang. Petang itu lebih gelap dari biasanya. Selesai membereskan segala keperluan untuk pengajian, banyak warga yang memilih pulang. Beberapa banyak lainnya masih ngumpul di pos ronda.
Gedung serbaguna
Sebetulnya saya ingin segera pulang lantaran perut ini minta diisi ketika Santi mendekat. Dia meminta saya untuk menemaninya mengembalikan perlengkapan mengaji ke gedung serbaguna.
Katanya, dia diminta Pak RT untuk mengajak saya membereskan perlengkapan tersebut. Dalam hati saya bertanya, kenapa Pak RT malah menyuruh warga kampung sebelah untuk membereskan perlengkapan. Namun, saya tak kuasa menolak.
Gedung serbaguna di kampung saya adalah sebuah gedung yang berubah jadi menyeramkan ketika gelap sudah turun. Jangan bayangkan seperti gedung serbaguna di pusat Kota Cimahi, ya.
Oleh sebab itu, saya meminta Epul untuk menemani. Mengingat Epul bukan warga RT 03, dia mau saja ketika saya minta menemani. Dia belum tahu kondisi gedung tersebut. Maaf ya, Epul.
Saya, Epul, dan Santi berjalan dalam diam. Sesampainya di gedung serbaguna, Epul langsung menggerutu. “Gini amat bangunannya. Ternyata serem banget, Sal. Sialan!” Saya hanya nyengir saja.
Santi sendiri tidak berkomentar. Namun, anehnya, dia seperti kedinginan dan sering memegang lehernya. Dia seperti sedang merasakan sesuatu. Imajinasi saya langsung terbang ke arah kuyang. Saya membayangkan kepala Santi agak segera terlepas.
Selesai menaruh peralatan mengaji di dalam gedung, kami mempercepat langkah kaki supaya bisa segera pulang. Namun, kami bertiga dikejutkan dengan suara rintihan binatang dari sisi kanan gedung itu. Celakanya, jalan pulang kami adalah belok kanan dari arah pintu masuk gedung serbaguna. Oleh sebab itu, meskipun enggan, kami akan secara otomatis melihat kondisi di sisi kanan gedung.
Kuyang dan kegelisahan yang memuncak
Dan di sana, sebuah pemandangan menjijikkan menyambut kami. Suara rintihan itu berasal dari kucing. Perutnya koyak, darah di mana-mana. Ketika mata kami sampai ke titik di mana kucing itu berada, pandangan kami disambut pandangan kuyang yang hampir selesai mengoyak perut kucing itu.
Saya yang pertama kali berlari, disusul Santi dan Epul. Saya berlari secepat mungkin ke arah pos ronda yang sebetulnya tidak terlalu jauh.
“Kuyang! Kuyang! Di Gedung serbaguna!”
Warga yang melihat saya berlari sambil berteriak, langsung menghampiri. Yang tidak saya sadari adalah ketika akan berlari menyusul saya, Santi tiba-tiba pingsan. Epul sedang berusaha keras untuk menyadarkan Santi.
Rombongan warga langsung menuju sisi kanan gedung. Kuyang itu sudah menghilang, menyisakan bangkai kucing yang perutnya koyak.
Mendapati kenyataan itu, yang saya rasakan di tengah kumpulan warga adalah kegelisahan. Sebuah perasaan yang terasa sudah sangat mendesak dan memuncak.
Kegelisahan yang memuncak
Malam itu, warga yang sudah pulang, kembali ke pos ronda. Mereka ramai membicarakan kuyang yang kembali lagi setelah empat hari menghilang. Warga semakin gelisah. Mereka yang dewasa inginnya terus berkumpul, rumah-rumah jadi lebih sepi.
Mulai malam itu, jalanan di kampung saya semakin sepi. Biasanya, antara pukul enam sampai tujuh, masih banyak anak-anak berlarian di jalanan. Ada yang pulang mengaji, ada yang baru saja ikut les. Semenjak gegeran kuyang, orang tua mereka memilih langkah aman. Anak-anak dilarang keluar rumah begitu sore datang.
Satu hal yang entah kenapa membuat saya lega adalah Santi ternyata bukan kuyang. Pak RT juga mengamini kelegaan saya. Mungkin kebetulan saja dia memiliki lesung pipi sama seperti ciri-ciri sosok mencurigakan tempo hari.
Pak RT sendiri membuat pengumuman bahwa semua laki-laki yang bukan buruh pabrik, terutama yang bekerja jauh di Kota Cimahi, diharap ikut ronda bergiliran. Sama seperti sebelumnya, dibagi beberapa kelompok untuk patroli di setiap titik. Beberapa orang dewasa dari RT 04 ikut bergabung sebagai tambahan tenaga.
Malam kelahiran
Malam itu hari Senin. Dua peraji yang “bertugas” adalah Bu Enok dan Santi. Kesimpulan mereka, dua calon ibu di kampung kami akan melahirkan malam itu juga. Saya membatin, kenapa calon ibu di kampung kami sering melahirkan di malam hari. Kenapa nggak pas siang aja begitu.
Akhirnya kami membagi tugas. Epul diminta menemani Santi mengambil beberpa keperluan melahirkan di kontrakannya. Saya sendiri menemani Bu Enok.
Malam itu, penjagaan pemuda lebih ketat lagi. Bahkan ada beberapa warga yang berjaga di dalam rumah ketika persalinan berlangsung. Bu Enok sudah mulai prosesi membantu persalinan. Namun, Epul dan Santi belum muncul juga.
Pak RT berinisiatif meminta saya, Kang Edi, dan Jaenal untuk menyusul Epul dan Santi. Kami segera berangkat mengingat kelahiran seharusnya sudah berlangsung. Kalau tidak salah ingat, kami bahkan berlari-lari kecil supaya cepat sampai.
Menyusul Santi
Sekitar 15 menit, terima kasih untuk lari kecil yang kami lakukan, kami sampai di kontrakan Santi. Kondisinya sepi dan gelap. Lampu di luar dan dalam kontrakan dalam kondisi mati. Kang Edi maju duluan, dia hendak mengetuk pintu. Satu langkah sebelum sampai pintu, tiba-tiba sosok mencurigakan, yang botak berbaju serba hitam, membuka pintu sambil mengacungkan golok.
Kaget, Kang Edi menghindar ke kanan. Si botak itu mengejar Kang Edi. Kang Edi berlari ke area perkebunan. Sementara saya dan Jaenal menghambur ke area persawahan.
Baru sebentar berlari, Jaenal berhenti dan menarik lengan saya.
“Sal, kita balik lagi! Kita cari si Epul.”
Saya sempat mendebat ide Jaenal. Menurut saya, melaporkan hal ini ke warga adalah prioritas. Di tengah perdebatan itu, di sisi sawah tempat gerumbulan pohon pisang, Jaenal melihat kuyang tiba-tiba saja muncul. Refleks saya menoleh dan benar saja, kepala terbang itu melihat ke arah kami dengan tatapan marah.
Kekagetan kedua terjadi ketika kepala itu memilik wajah yang kami kenali. Santi!
Kuyang itu melayang dengan gerakan yang agak lambat. Tiba-tiba saja dia berteriak.
“Ulah ngaganggu bisi didahar ku aing!”
(Kamu jangan ganggu! Aku makan kamu!”)
Saya mematung. Sementara itu, di sisi saya, Jaenal menangis. Iya, laki-laki dewasa itu menangis setelah mendengar ancaman dari kuyang itu.
Setelah membaca ayat-ayat dengan cepat, badan saya bisa digerakkan lagi. Tapi, sebagai hasilnya, saya terjatuh di sisi pematang sawah. Tangan saya menyenggol batu, yang dengan cepat saya pungut dan lemparkan ke arah kuyang itu.
Batu itu tepat mengenai sisi kanan wajah si Santi. Dia menjerit dengan sangat kencang. Jeritan paling menyeramkan yang pernah saya dengar. Sementara itu, tangis Jaenal malah makin menjadi. Saya berusaha menggamit lengannya, membantunya berdiri, tapi kakinya seperti jadi sangat berat.
Untungnya, jeritan kuyang itu menjadi pertanda bagi warga yang sedang patroli. Mereka berlari ke arah kami sambil membawa obor dan bambu kuning. Santi yang melihat warga menghambur datang segera melayang pergi. Warga yang sudah menahan kemarahan selama beberapa hari langsung mengejarnya.
Sejenak kemudian saya berpikir bagaimana nasib Desi yang melahirkan. Selain itu, bagaimana nasib Epul yang tadi mengantar Santi. Malam makin panjang di sudut Kota Cimahi
Malam yang sangat panjang
Menenangkan diri malah jadi masalah tersendiri. Pasalnya, saya malah jadi kepikiran. Kalau Santi adalah kuyang yang selama ini mengusik sebuah kampung kecil di pelosok Kota Cimahi, lantas siapa yang memakan kucing di samping gedung serbaguna? Pikiran itu bikin saya pusing lantaran kesimpulannya hanya satu, yaitu ada dua kuyang yang bikin warga RT 03 dan 04 menderita.
Dan benar saja, saya memang nggak boleh menenangkan diri. Lamunan saya pecah ketika Pak RT berteriak dengan kencang.
“Ada dua kuyang! Ada dua!”
Saya, Jaenal, dan banyak warga lainnya berlari secepat mungkin ke rumah yang digunakan sebagai lokasi persalinan. Di sana, Bu Enok sudah hampir selesai membantu persalinan. Semuanya lancar dan aman. Namun, di rumah sebelah, teriakan Desi membuat kami menahan napas.
“Di jendela! Jendela!”
Saya dan Adi berlari ke sisi kiri rumah Desi. Jaenal dan beberapa pemuda mengekor di belakang. Saat itu, Desi memang belum melahirkan. Entah sudah bukaan berapa. Suami Desi sudah mengontak dokter, tapi belum juga datang. Sementara itu, membawanya ke Puskesmas atau rumah sakit cukup berisiko; antara diserang kuyang atau menempuh perjalanan yang terlalu jauh bagi ibu yang hamil tua.
Nah, ketika sampai di sisi kiri rumah Desi, kami tidak menemukan kuyang itu. Namun, kami mendengar suara tubrukan antara sebuah benda dengan batang pohon. Kami mengejar dengan semangat tinggi. Mungkin lebih tepat dengan emosi yang sudah lama belum tersalurkan.
Benar saja, kuyang itu menubruk batang pohon. Namun, itu bukan Santi. Namun, kami sudah tidak peduli siapa itu. Fokus kami adalah menangkap si pembuat onar.
Tertangkap!
Dua orang bapak, usia mereka sudah di atas 50, membawa jaring berukuran besar. Jaring itu terbuat dari tali ijuk. Dua bapak yang tidak lagi muda itu masih gesit bergerak. Sangat cekatan mereka mencegat kuyang yang hendak terbang lebih tinggi. Dengan gerakan yang mulus, kuyang itu terjaring dengan mudah.
Tiga pemuda menyusul kemudian membawa tiga cermin yang dihadapkan ke kuyang. Pak Ustaz Endang juga gesit menancapkan sebuah linggis yang sudah dipendekkan di kerongkongan kuyang. Tujuannya supaya makhluk sesat itu tidak bisa berubah ke bentuk semua.
Saya tidak tahu persisnya, tapi si kuyang itu mengeluarkan minyak
meskipun Si Kuyang sudah beberapa kali mengeluarkan minyak kawiyang. Katanya, minyak tersebut adalah bentuk pertahanan diri. Selain itu, katanya, minyak kawiyang sangat ampuh menjadi bahan pesugihan. Konon, tidak cuma di Cimahi, masih banyak orang yang mencari minyak tersebut.
Lantaran sudah “dijepit” oleh cermin dan linggis, kuyang itu sudah tidak berdaya. Baru saja warga mau merayakan keberhasilan itu, satu lagi kuyang melintas di atas rumpun pohon bambu. Sepertinya dia berusaha lari dari tempat itu.
Gerak cepat warga
Pak RT langsung membagi dua kelompok. Yang pertama, bertugas mengejar kuyang itu. Kelompok kedua, dikawal warga RT 04, bergegas ke kontrakan Santi. Kerja sama antara warga sepertinya sudah semakin matang. Tanpa komando lebih jauh, warga membagi sendiri kelompok tersebut dan melaksanakan tugasnya.
Saya, dan banyak pemuda lainnya, termasuk tiga teman saya ikut dalam kelompok ketiga, yaitu menemani Pak Ustaz yang sedang menjinakkan kuyang itu.
Rasa takut sudah agak luntur. Kini diganti rasa penasaran yang sangat kuat. Saya memberanikan diri melihat wajah kuyang itu baik. Dia mengeluarkan suara rintihan yang justru menyeramkan karena suara itu berasal dari kepala dengan organ dalam yang menjuntai.
Setelah saya amati dengan jelas wajah si kuyang, sebuah kebenaran menghantam. Butuh beberapa detik untuk memproses kenyataan itu. Astaga… ternyata kuyang itu….
BERSAMBUNG….
BACA JUGA Ekspedisi Alas Purwo: Penjelajahan Pertama ke Hutan Angker (Bagian 1) dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Faisal Syaiful Mustofa
Editor: Yamadipati Seno