MOJOK.CO – Teror kuyang di kampung saya di Kota Cimahi adalah sebuah peristiwa yang tak pernah saya duga akan terjadi di sini. Sedih sekali.
Kuyang itu pernah menggegerkan kampung saya di Kota Cimahi. Pengalaman itu sangat membekas sampai sekarang. Trauma yang sempat membuat saya tidak berani pulang ke rumah di malam hari. Terutama setelah saya memilih kos di dekat sekolah.
Pengalaman ini terjadi pada 2019. Belum lama terjadi dan sampai sekarang rasa takut itu masih terasa segar. Saat itu saya duduk di bangku kelas dua di sebuah SMA di Bandung. Saya dan keluarga asli dari Cimahi. Jarak antara sekolah dan rumah memang jauh. Oleh sebab itu, saya sudah dipasrahi sepeda motor bekas milik bapak saya.
Meskipun masuk ke wilayah Kota Cimahi, rumah saya masuk wilayah kampung. Sebuah kampung dengan banyak pepohonan besar. Favorit saya adalah pohon mangga yang cukup lebat dengan pemandangan bentangan sawah. Dan, di sini, cerita soal kuyang itu berkembang dan menggegerkan kampung.
Rumor yang beredar
Awalnya adalah rumor. Kabar tidak jelas yang dengan cepat menyebar. Warga di kampung membicarakan sebuah hal yang pada awalnya tidak begitu saya pahami.
Suatu ketika, ketika sedang berbelanja di warung Bu Imas, diam-diam saya menguping obrolan mereka.
“Bu Imas, kemarin malam katanya Pak RT bawa Pak Ustaz Endang. Memangnya kenapa, Bu, sampai terburu-buru seperti itu?”
“Iya, Bu Ina. Katanya Kuyang balik lagi cari orang.”
“Aduh, kudu hati-hati itu si Mila yang sebentar lagi mau lahiran. Semoga kuyang itu cepat tertangkap, ya.”
Kata “kuyang” itu menyita perhatian saya. Sebuah kata yang jarang didengar di sebuah kampung di Kota Cimahi. Selesai berbelanja, di sebuah kantor pos, saya bertemu guru ngaji dan beberapa teman.
Penasaran, saya pun bertanya kepada mereka. Beberapa teman saya sudah pernah mendengar rumor kuyang. Namun, mereka juga sama tidak paham seperti saya. Sementara itu, guru ngaji kami memilih diam dan tidak mau bercerita.
Pengakuan ibu
Pukul delapan malam, selesai mengaji, saya sudah sampai di rumah. Begitu masuk, ibu langsung menarik lengan saya sembari berbisik.
“Dek, malam ini tidur di kamar Ibu, ya. Malam ini Bapak lembur. Ibu takut, soalnya Ibu sering melihat kuyang itu lewat jendela kamar.”
Akhirnya rasa penasaran saya terjawab. Jadi benar ada sebuah makhluk yang bikin resah warga. Saya yang masih membutuhkan jawaban mengiyakan saja permintaan ibu.
“Iya, Bu. Di kampung sudah ramai soal kuyang itu, tapi nggak ada yang mau cerita. Saya kan baru balik dari Bandung, jadi belum tahu ada apa.”
Ibu mengangguk sembari mewanti-wanti saya untuk tidak bersuara kalau kuyang itu beneran lewat di jendela rumah kami. Saya hanya bisa menelan ludah.
Hari pertama: Akhirnya saya melihatnya
Selepas pukul sembilan, saya sudah di dalam kamar ibu. Khawatir, ibu kembali mengingatkan saya untuk tidak bersuara dan menatap ke jendela kamar. Meski sudah dipasang gorden, tetap saya kalau ada yang lewat atau menatap dari luar, pasti akan terlihat oleh mereka yang berada di dalam. Gawat juga pikir saya.
Kami berdua sama-sama tidak bisa tidur. Kami juga tidak banyak mengobrol. Baru setelah tiga jam bertahan, akhirnya kantuk itu datang menyerang. Sebelum tertidur, saya memutuskan untuk kencing dulu.
Selesai kencing, baru mau masuk kamar lagi, terdengar teriakan warga. Mereka seperti sedang mengejar maling saja. Sontak, saya segera lari ke depan dan membuka pintu. Dan, yang saya lihat pertama adalah pemandangan yang sungguh janggal.
Kuyang itu lewat di depan rumah. Mungkin lebih tepatnya melayang. Reflek, saya mundur dengan cepat. Pemandangan organ tubuh yang hanya disangga kepala itu mengejutkan saya. Rasa ngeri menjalar ke suluruh tubuh ketika melihat organ dalam itu melayang dan menggores tanah meninggalkan jejak merah di sana.
Saya yang jatuh terduduk hanya terpaku. Tidak mampu bergerak. Lantaran tidak bisa bergerak, saya malah jadi punya waktu untuk mengamati kepala terbang yang menyangga organ dalam manusia itu. Wajahnya pucat. Sangat pucat. Lidahnya merah. Matanya yang justru terlihat biasa menatap lurus ke mata saya.
Beberapa detik berlaku dengan sangat lambat. Ketika setengah kesadaran saya kembali, lagi-lagi secara reflek, saya berteriak. Ibu lari tergopoh-gopoh mendatangi saya. Tak lama, warga mengerumuni saya yang kata mereka saya langsung pingsan setelah berteriak.
Kuyang itu menghilang di rimbunan pohon mangga….
Hari kedua: Rapat warga
Keesokan harinya diadakan rapat di pos ronda dekat rumah. Saya datang untuk menyimak saja. Beberapa kesimpulan yang diambil siang itu antara lain, kuyang itu belum sempat memangsa korban jadi kekuatannya melemah. Terbukti dari dia tidak bisa terbang tinggi.
Oleh sebab itu, warga akan melakukan pengepungan lebih rapat di setiap titik. Khususnya di rumah Mila yang sedang mengandung dan akan segera melahirkan. Bersama Ustaz Endang, warga membagi beberapa kelompok. Anggotanya antara enam sampai delapan orang untuk berjaga di tiga titik lokasi.
Sementara itu, kelompok yang beranggotakan empat sampai lima orang akan patroli dan mengisi setiap gang yang dirasa perlu diawasi. Hal itu harus dilakukan karena ternyata bukan Mila saja yang akan melahirkan di kampung saya. Saat itu ada dua orang lagi yang kondisi kandungannya sudah menginjak sembilan bulan.
Kelompok terakhir, yang anggotanya berisi dua atau tiga orang akan mengunjungi setiap rumah. Tujuan mereka adalah mendeteksi siapa dari orang kampung yang berubah menjadi kuyang dan merepotkan warga di Kota Cimahi itu.
Hari ketiga: Sesuatu yang tidak terduga
Saya dan para remaja di kampung juga diminta aktif. Apalagi karena kami sedang libur sekolah. Oleh sebab itu, saya menghubungi dua teman sekolah yang rumahnya tidak jauh dari Kota Cimahi. Paginya, sebelum pertemuan warga di pos ronda, mereka berdua sudah datang. Mereka akan menginap setidaknya tiga hari.
Kami bertiga diperbantukan ke kelompok yang bertugas menjaga rumah Mila. Kami ditemani Kang Eko, suami Mila. Tubuhnya kekar dan punya tinggi di atas rata-rata warga kampung. Pak Daru, ayah Mila juga menemani kami. Pak Daru punya paras seram dan galak.
Sebuah kejutan terjadi malam itu, yaitu tiba-tiba Mila merasakan kontraksi yang hebat. Katanya, itu tanda sudah akan melahirkan. Kang Eko sebenarnya sudah siap membawa Mila ke rumah sakit. Namun, Pak Daru mencegahnya karena menurutnya, Mila sudah akan melahirkan sebelum sampai di rumah sakit.
Saya dan Kang Eko langsung sibuk menghubungi warga lainnya untuk menyampaikan kabar bahwa Mila akan melahirkan. Salah satu warga datang membawa peraji atau bidan tradisional. Kamu pasti mengenalnya dengan istilah dukun bayi. Di Kota Cimahi saat itu masih banyak peraji.
Ibu-ibu kampung dengan sigap menyiapkan ruangan untuk persalinan. Ruangan khusus itu harus bersih. Makanya, ibu-ibu juga menyapu ruangan itu sampai ke sudut-sudut. Dan, lagi-lagi, kejutan terjadi.
“Kuyaaang!”
Ibu Mila berteriak sangat kencang. Ketika menyapu ke kolong tempat tidur, Ibu Mila melihat kuyang itu sudah ada di sana.
Kejutan yang tidak menyenangkan
Mendengar teriakan ibu dari Mila, peraji itu ikut masuk ke dalam kamar. Saat itu, kuyang yang tadinya sembunyi di bawah tempat tidur sudah terbang dan berhenti di hadapan Mila. Melihat kejadian itu, ibu dari Mila dan peraji sama-sama ambruk dan tidak bisa bergerak.
“Tolong! Tolong!” Mila berteriak begitu kencang.
“Tolong! Jangan anak saya!”
Kang Eko yang paling cepat bergerak, disusul Pak Daru. Begitu masuk ke kamar, Kang Eko menemukan sebuah pemandangan horor. Istrinya menangis histeris, sementara kuyang itu melayang di depan perutnya yang membuncit karena mengandung.
“Anjing siah setan indit!!!” Kang Eko berteriak sembari mengayunkan kayu jati untuk menghantam setan itu.
Mendengar kegaduhan di dalam rumah, Pak RT dengan sigap memerintahkan kami untuk membuat pagar betis. Kami bergerak serempak sembari saling mengingatkan untuk waspada. Namun, nampaknya Kang Eko gagal menghantam setan itu.
Dari jendela samping, kuyang itu melesat menembus kaca. Saya dan beberapa remaja yang berdiri di samping rumah bisa melihat setan itu terbang ke arah kami. Kami semua justru mematung. Rasa takut lebih dominan ketimbang niat memusnahkan setan jahanam itu.
Setelah melayang ke arah kami, kuyang itu berbelok menjauh. Kami yang masih terpaku tidak berdaya. Warga yang lebih dewasa, yang masih bisa bergerak, langsung mengejar kuyang yang melayang menjauh itu.
Dibekap rasa takut
Saya melihat kedua teman saya yang niatnya membantu malah tidak bisa bergeral seperti si peraji dan ibu dari Mila. Seperti pingsan tapi masih sadar. Membatu, tapi masih sadar dengan apa yang terjadi. Saya, dibantu beberapa warga, membawa mereka ke pos ronda.
Di sana, kami dipaksa minum air putih yang sudah didoakan. Air yang bisa sedikit membuat kami agak “lega dalam hati”. Katanya, ketakutan yang teramat sangat memang bisa melumpuhkan tubuh manusia. Sial, pikir kami. Ternyata kami tidak sekuat Kang Eko yang masih bisa menyerang kuyang itu.
Para warga yang tadi sempat mengejar kuyang itu kembali ke pos ronda dengan tangan kosong. Kami hanya bisa saling memberi semangat mengingat ini bukan pekerjaan yang mudah.
Di ujung malam, Mila melahirkan anaknya dengan selamat. Semua yang hadir di pos ronda dan yang masih berjaga di rumah Mila sangat lega mendengar kabar bahagia itu. Setidaknya ada satu kabar baik di tengah kejutan tidak menyenangkan.
Hingga matahari sudah agak tinggi, beberapa warga masih berjaga di rumah Mila. Beberapa bertahan di pos ronda. Saya dan dua teman saya pulang untuk beristirahat. Lelah dan sisa rasa takut membuat kami tumbang di ranjang dengan cepat.
Hari Keempat: “Tolong hentikan kegilaan ini!”
Siang harinya, dua teman saya bangun dengan badan lemas dan sisa rasa terkejut. Mereka bangun tidur dengan perasaan tak menentu. Keduanya masih tidak menyangka kalau di Kota Cimahi ada kuyang. Awalnya, mereka agak tidak percaya dengan cerita saya. Mereka mengira kuyang itu cuma ada di Kalimantan saja.
Ketika matahari sudah di atas kepala, datang pengumuman bagi warga untuk berkumpul di pos ronda. Kang Edi katanya sudah tahu siapa yang berubah menjadi kuyang di malam hari.
“Pak RT, saya tahu orangnya! Dia ada di kontrakan di kampung sebelah!”
Kang Edi langsung membuka forum tanpa menunggu aba-aba. Pak RT dan beberapa warga, termasuk saya dan dua teman saya ikut ke kampung sebelah untuk memeriksa kebenaran informasi Kang Edi.
Katanya, Kang Edi mendapat info dari ibu-ibu kampung sebelah. Kira-kira begini rangkumannya:
Tadi malam, si ibu mengingatkan penghuni kontrakan untuk menutup pintu. Siapa tahu ada maling yang lagi cari peruntungan. Namun, setelah beberapa kali memanggil, tidak ada yang keluar dari kontrakan. Penasaran, si ibu memberanikan diri masuk ke rumah kontrakan yang pintunya terbuka itu.
Begitu masuk, si ibu langsung jatuh terduduk. Dia melihat badan manusia tanpa kepala dibaringkan di sebuah dipan di ruang tengah. Si ibu kembali dikejutkan dengan sebuah suara dari laki-laki yang mengusirnya. Tanpa pikir panjang, si ibu langsung lari. Dari kejauhan, si ibu melihat laki-laki itu buru-buru menutup pintu.
Terlambat!
Si ibu tidak langsung melaporkan temuan itu karena campuran rasa takut dan ngeri membuatnya bimbang. Esoknya, dia memberanikan diri melapor ke Pak RT setempat. Dalam perjalanan menuju rumah Pak RT itu, si ibu berpapasan dengan Kang Edi. Kebetulan, keduanya saling kenal. Maka, terjadilah pertukaran informasi perihal kuyang yang menggegerkan kampung saya di Kota Cimahi.
Singkat cerita, Pak RT kampung saya, Pak RT kampung sebelah, ditemani beberapa warga mendatangi rumah kontrakan itu. Namun sayang, ketika rombongan tiba, rumah itu sudah kosong. Tidak ada jejak yang diharapkan ada di sana.
Kedatangan warga kampung saya bersama Pak RT sontak menimbulkan keramaian. Warga setempat yang mendengar cerita dari Kang Edi mulai berani berbicara satu per satu.
Menurut salah satu kesaksian warga, ada dua orang yang tinggal di rumah kontrakan itu. Sosok pertama adalah perempuan cantik dengan rambut sebahu. Ada lesung di pipi sebelah kanan. Sosok kedua adalah laki-laki berkepala botak. Dia selalu mengenakan gamis berwarna hitam.
Aktivitas mereka sehari-hari juga janggal. Si lelaki hampir setiap hari menyembelih ayam menjelang Maghrib tiba. Karena heran, beberapa warga berseloroh bahwa mungkin pasangan itu memang suka sekali makan ayam. Selera makan keduanya, mungkin, sangat besar sehingga setiap kali makan berdua selalu menghabiskan satu ekor ayam.
Kesepakatan
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh warga setelah pasangan janggal itu menghilang. Setelah rapat dua RT disepakati bahwa kami akan meningkatkan penjagaan. Terutama di RT 03 tempat kampung saya berada. Sementara itu, di kampung sebelah, RT 04, kewaspadaan juga ditingkatkan.
Poin kedua adalah beberapa warga dari RT 04 akan ikut berjaga di RT 03. Ide yang langsung disambut dengan tepuk tangan dan anggukan setuju oleh warga RT 03. Mengingat saat itu masih ada satu warga kampung saya yang akan melahirkan. Semakin ramai, pikir saya, semakin bagus. Semakin kuyang itu tidak bisa menembus barikade dan meneror calon ibu.
Poin ketiga yang disepakati adalah masalah kuyang tidak boleh sampai bocor lebih dari ini. Jujur, sebetulnya, saya agak aneh mendengar kesepakatan ketiga ini. Bukankah kalau semakin banyak yang tahu, bala bantuan akan semakin banyak? Tapi entahlah, suara anak kecil yang masih SMA pasti tidak akan didengar.
Sepanjang sisa hari itu, pertanyaan itu terus bergelayut di dalam kepala saya. Tapi, saya tidak punya banyak waktu untuk tenggelam di tengah pertanyaan yang tidak bisa saya temukan jawabannya saat itu juga.
Pilihan saya tidak banyak. Saya, dan semua warga kampung di Kota Cimahi yang akan berjaga, harus segera menyiapkan nyali. Hanya itu. Mengingat kegilaan di jam-jam yang akan datang sungguh tak terbayangkan. Selain itu, kami hanya bisa berdoa….
BACA JUGA Trauma yang Tersimpan di Kota Tangerang (Bagian 1) dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Faisal Syaiful Mustofa
Editor: Yamadipati Seno